Ini kisah tentang Siska, karyawati sebuah perusahaan di Jakarta. Kantornya mentereng di tengah kota. Dan setiap hari, di tengah tumpukan kertas kerja, ia harus tenggelam dalam kesibukan yang hari demi hari selalu sama. Tapi ia tak pernah mengeluh. Jari-jarinya sigap mencerna huruf dan angka, berkutat dengan sebuah PC, monitor, dan printer warna hitam.
Lalu sesudahnya ia menikmati makan siang, mendengar kasak-kusuk tentang pekerjaan, kasus pelecehan, pembicaraan tentang makeup dan cowok ganteng di divisi lain, bahkan ada kisah tentang karyawati yang nekat tebar pesona pada manajer entah siapa.
Siska nyaris tidak punya teman. Ia kelewat pasif. Mau mengiyakan cerita tentang ponsel baru saja enggan. Ia juga tidak tertarik bicara gosip, tidak mau diajak menikmati cappucino di gerai franchise. Lalu saat tiba jam pulang, Siska memilih berjalan tergesa ke halte bus, agar bisa segera tiba di rumah.
Sampai suatu saat ia bertemu Jaka, manajer IT perusahaan lain. Ya, di gedung perkantoran Siska ada beberapa kantor perusahaan. Ada yang kantor pusat. Ada yang kantor cabang. Ada dua hal yang menyatukan mereka, para pekerja. Pertama jam istirahat. Lalu jam pulang.
Jaka sosok yang unik. Lebih banyak diam. Jarang nongkrong dengan teman-teman kerjanya. Jaka bahkan memilih duduk di pojok ruangan kantin. Lebih suka baca buku ketimbang pegang hape. Tidak mau mendengar gosip. Tidak mau bicara tentang trend, fashion, game, dan perempuan-perempuan cantik di gedung ini. Siska tergagap. “Ia mirip bener sama aku”. Ia pun tersenyum, salah tingkah entah karena apa.
Pertemuan pertama mereka terjadi saat hujan deras. Siska yang biasanya langsung pulang, terpaksa berteduh di depan pintu utama. Jaka juga ada di sana, berdiri tak jauh dari dirinya, dengan novel sci-fi di tangan. Siska mulai mengenalinya sebagai ‘si pendiam dari lantai 12’ yang sering ia lihat di kantin.
Hujan semakin deras. Petir menggelegar. Siska berniat balik masuk gedung. Tapi di dalam lobby gedung ada teman-teman kantornya yang pasti sedang sibuk bicara tentang fashion. Atau produk makeup terbaru. Atau manajer ganteng di lantai 3 dan 9.
Siska balik ke tempat semula. Blazernya mulai sedikit basah, terkena percikan hujan. Ia mulai menggigil. Tanpa diduga, Jaka menghampirinya dengan segelas kopi hangat dari mesin minuman. “Sepertinya kamu kedinginan,” katanya singkat, lalu kembali ke tempatnya, dan tenggelam dalam bukunya. Ia berdiri di sela pilar beton, menjauhkan diri dari hujan meski nampak bodoh.
Siska tertegun. Bukan karena kopi hangatnya, tapi karena ini pertama kalinya ada yang memperhatikan tanpa mengharapkan percakapan panjang sebagai balasan. Ia mengamati Jaka dari sudut matanya. Pria itu mengenakan kemeja biru pudar yang terlihat nyaman, bukan kemeja licin yang biasa dipakai para eksekutif muda. Rambutnya sedikit berantakan, tapi bukan gaya berantakan yang disengaja seperti tren anak muda kantoran.
Keesokan harinya, Siska membawa dua novel ke kantor. Satu yang sedang ia baca, satu lagi sebagai ‘senjata’ kalau-kalau bertemu Jaka lagi. Dan benar saja, saat makan siang ia memberanikan diri duduk di pojok kantin, tidak jauh dari tempat Jaka biasa membaca.
Tapi Jaka bahkan tidak mengangkat wajahnya dari buku. Begitu juga hari berikutnya. Dan berikutnya lagi.
Seminggu berlalu. Siska merasa jadi perempuan tolol yang berharap entah apa. Setiap hari ia membawa novel berbeda, berharap salah satunya akan menarik perhatian Jaka. Tapi pria itu tetap tenggelam dalam dunianya sendiri. Kadang Siska berpikir, mungkin kejadian malam itu hanya kebetulan. Mungkin segelas kopi hangat itu tidak berarti apa-apa.
Sampai suatu hari, setelah hampir dua minggu, Siska membawa “The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy”. Ia tidak sengaja menemukannya di tumpukan buku lama. Dan untuk pertama kalinya, Jaka mengangkat wajah dari bukunya.
“The Hitchhiker’s Guide to the Galaxy?” katanya, menunjuk buku Siska. “Aku sudah baca lima kali.”
Siska nyaris tersedak tehnya. “Lima kali?”
“Ya,” Jaka mengangguk. “Setiap kali baca, selalu ada yang baru.”
“Aku baru mulai,” Siska mengaku. “Masih bingung dengan… semuanya.”
“That’s the point,” Jaka tersenyum tipis. “Kebingungan itu bagian dari keseruannya.”
Lalu hening lagi. Jaka kembali ke bukunya. Siska menghela napas dalam hati. Mungkin hanya itu yang akan dia dapatkan hari ini.
Tapi besoknya, Jaka yang memulai pembicaraan. “Sudah sampai mana?”
“Chapter 3,” jawab Siska. “Masih bingung.”
“Bagus,” Jaka mengangguk, lalu diam lagi.
***
Hari-hari berikutnya, percakapan mereka seperti teka-teki yang belum lengkap. Satu-dua kalimat, lalu hening. Sebuah komentar singkat, lalu kembali ke buku masing-masing. Tapi anehnya, Siska mulai menikmati ritme ini. Ada rasa nyaman dalam hening mereka.
Sampai suatu hari, kantor gempar dengan gosip bahwa ada karyawan IT yang menolak promosi karena tidak mau dipindah ke kantor cabang di Surabaya. Sumpah serapah boss di lantai 12 bahkan terdengar sampai lantai 11. Ia juga melempar dokumen dari mejanya.
Lalu Siska mendengar nama Jaka disebut. Ia ingin tahu lebih banyak, tapi tak berani bertanya. Teman kantornya ada yang nyeletuk, “Dia dapat promosi di Surabaya. Jadi pimpinan cabang. Dapat fasilitas rumah di Surabaya Barat sama kendaraan operasional lengkap dengan drivernya. Aneh nggak sih, kayak gitu ditolak”.
“Jadi kamu menolak promosi itu?” tanya Siska saat makan siang, berusaha terdengar biasa saja.
“Hmm,” Jaka mengangkat wajah dari bukunya. “Bagaimana kamu tahu?”
“Gosip di kantor menyebar lebih cepat dari virus,” Siska tersenyum kecut.
“Oh.” Jaka menutup bukunya. “Ya, aku menolak.”
“Kenapa?”
“Karena…” Jaka terdiam sejenak. “Ada novel yang belum selesai kubaca di sini.”
Siska mengerutkan dahi. “Novel?”
***
Pulang kerja, Siska sengaja menunggu. Ia tak terburu menuju halte. Saat Jaka keluar dari pintu utama gedung, ia tak malu berdiri mencegatnya. Dari jauh ia melihat Jaka celingukan, juga teman-teman kerjanya, para karyawati yang ingin tahu.
“Kamu punya novel baru? Judulnya dong. Aku pingin baca juga,” tanya Siska penasaran. Di hati yang paling dalam ia menebak sebuah jawaban. Ini bukan novel beneran, pasti.
Jaka enggan menjawab. Ia memberi kode agar Siska mau berjalan bersama. “Ya, novel yang sangat menarik. Tentang seorang karyawati yang lebih suka membaca buku daripada bergosip. Yang memilih jalan sendiri daripada mengikuti arus. Yang…” Jaka menelan ludah. “Yang membuatku ingin tahu kelanjutan ceritanya.”
Siska merasakan wajahnya memanas. Ia membuang muka, takut Jaka akan melihatnya salah tingkah. Saat trotoar ramai, Siska punya alasan tak mengikuti. Jaka sempat membalikkan badan. Tapi Siska memilih pura-pura tidak tahu.
***
Empat hari setelah pertemuan itu, Siska sering melihat Jaka menunggu di depan kantor. Tapi Siska sengaja menghindar. Sebagai perempuan, ia paham apa yang telah terjadi. Dan sialnya, ia juga paham apa yang akan terjadi.
Esoknya, ia sengaja berjalan di samping Jaka. Meski sempat kaget, Jaka tersenyum senang. Tapi langit Jakarta terlanjur gelap, kelam.
Jaka masih tersenyum, membiarkan malam menenggelamkan gedung-gedung yang berdiri bisu. Ia menarik nafas, mengiringi angin yang bergerak malas. Di kejauhan, cahaya neon berusaha menembus pekatnya langit, namun hanya menjadi kilauan redup yang tertelan gelap. Jakarta masih bernafas, meski dalam warna-warna kusam.
“Kamu tahu,” Siska akhirnya berkata pelan, “aku juga sedang membaca sebuah novel. Tentang pria yang memberikan secangkir kopi hangat di malam hujan. Yang diam-diam memperhatikan. Yang…” ia menarik napas, “yang sayangnya harus tetap jadi novel yang tak bisa kuselesaikan.”
Jaka menatapnya lama. “Kenapa tidak bisa diselesaikan?”
Siska mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan cincin kawin yang selama ini tersembunyi di balik kebiasaannya mengetik dengan sepuluh jari.
Jaka diam sesaat. Lalu mengeluarkan dompetnya. Di dalamnya ada foto seorang wanita cantik dengan dua anak kembar. “Aku mengerti.” Siska langsung merasa waktu bergerak lambat. Mereka terdiam lama. Kali ini, keheningan terasa berbeda.
Dan sesudahnya, hari-hari berkelebat tanpa jejak, seakan waktu hanya sebuah bayangan yang melintas tanpa menyentuh. Matahari tetap terbit di ufuk timur, tapi sinarnya tak lagi menghangatkan, hanya menyinari ruang kosong yang tak berisi.
Setiap detik berlalu tanpa makna, Siska hanya melihat aliran sungai yang tak mengerti ke mana ia bermuara. Segalanya berjalan sebagaimana mestinya, tetapi di dalam diri, ada kehampaan yang tak bisa dijelaskan—sunyi yang tidak berbunyi, tetapi begitu nyata.
Setiap langkahnya, baik saat berangkat maupun pulang kerja, Siska merasakan jejak-jejak. Seperti berjalan di tempat, mengulang hari yang sama dengan wajah yang berbeda.
Tiba di rumah, bertemu suami dan anak-anaknya, ia sesekali melihat jendela. Mendengar suara-suara yang terdengar jauh, meski kenyataannya begitu dekat.
“Kamu sakit?” tanya suaminya. Suara yang selalu teduh. Sejuk. Dan Siska buru-buru menggelengkan kepala. Di kamar mandi ia menangis tanpa suara. Kepalanya penuh dengan riuh, suara kendaraan, langkah-langkah tergesa, tawa yang menggema di kejauhan.
Saat tidur, suaminya memeluk erat. Seperti yang sudah-sudah, kesimpulan yang ia dapat setiap melihat Siska nampak gundah. Tapi malam tetap mengalun tanpa tanda, menggulung langit dalam gelap yang terasa asing, seakan dunia enggan berbagi cahaya.
Ada keinginan untuk mencari sesuatu yang bisa mengisi kekosongan ini, tetapi entah di mana harus mencarinya. Yang tersisa hanya diri sendiri, terperangkap dalam kehampaan yang tak bernama, bertanya-tanya apakah esok akan tetap terasa sama. Lagi-lagi Siska menangis. Tanpa suara.
***
“Jadi,” Siska akhirnya berkata, “kita adalah novel yang tidak akan pernah selesai dibaca satu sama lain?”
“Mungkin begitu lebih baik,” Jaka mengangguk. “Tapi setidaknya… kita pernah membaca beberapa chapter yang indah.”
Sejak hari itu, mereka masih duduk di pojok yang sama di kantin. Masih membaca buku masing-masing. Masih bertukar komentar singkat tentang plot dan karakter.
Pertemuan mereka tak lagi sama. Tapi keduanya tak mampu melawan. Rindu yang datang tak tahu malu, kedamaian dalam kesadaran yang terasa makin pilu. Takdir itu tertulis sederhana, bahwa cerita mereka memang harus seperti ini – sebuah novel yang sengaja ditinggalkan tidak selesai, tanpa kata ‘tamat’.
Keesokan harinya Siska menerima pesan singkat. “Aku akhirnya ke Surabaya”. Siska menghempaskan tubuhnya di kursi, dan ruangan ini tiba-tiba terasa sesak.
“Terima kasih,” jawab Siska. Ia tak berani menambah kalimat-kalimat yang harusnya mewakili perasaannya yang berkeping. Ia tak mampu menulis, apakah ini harus berakhir begitu saja.
Siska tak berpaling dari layar ponselnya. Menunggu. Tapi Jaka tak menulis apa-apa. Ia meletakkan ponsel, menyadarkan diri bahwa novel ini akhirnya berakhir.
Siska menggapai kertas-kertas tugas di atas meja. Tanpa perlu menatap, karena pikirannya terus menggapai langkah Jaka yang menghilang di batas cakrawala, meninggalkan jejak yang akhirnya tak bisa diikuti. Ia menarik nafas panjang.
Semua akan kembali sama, kembali pada takdir yang asing. Sepi. Seperti yang sudah-sudah. ***