Di sudut sebuah kafe, seorang wanita tengah duduk sendiri. Melamun tanpa tujuan dalam keremangan. Matanya menerawang jauh ke luar kafe.
Di luar udara begitu dingin. Hujan deras masih saja mengguyur tanpa henti. Kota kecil ini benar-benar terasa mati. Ketika penduduknya memilih untuk tidur atau di rumah saja berdiam diri.
Tapi wanita itu tetap nekad pergi ke kafe itu seorang diri. Menunggu kekasihnya barangkali. Atau suaminya, atau teman dekatnya, atau mantan kekasihnya, atau mantan suaminya, atau selingkuhannya, atau…entah. Pelayan datang membawa pesanan. Segelas cappuchino hangat dengan choco granule diatasnya.
Selalu itu saja yang dipesan wanita itu setiap kali datang ke kafe. Ini memang bukan pertama kalinya dia datang sendiri ke kafe itu. Selalu saja sendiri. Entah siapa yang ditunggunya. Tak pernah jelas. Duduk, memesan minuman, dan melamun. Selalu seperti itu. Seperti malam ini. Setelah pesanan datang, pasti dia akan melamun sambil menikmati secangkir cappuccino. Selalu saja sendiri. Selalu saja melamun. Entah apa yang ada di benaknya. Entah apa yang dilamunkannya.
Sudah cukup lama aku mengamati wanita itu. Hanya mengamati saja, tanpa bermaksud untuk tahu lebih banyak. Apalagi saling kenal dan lantas saling bercerita dan lantas saling jatuh cinta. Tidak. Tidak perlu sampai sejauh itu. Aku sudah cukup puas dengan bisa memandanginya saja dari sudut kafe yang lain. Tepat di seberang sudut yang selalu ditempati wanita itu. Dia memang wanita yang cukup cantik dan tidak menjadi sesuatu yang membosankan jika dipandang terus menerus saja. Rambut ikal tergerai, kulit bersih yang selalu tertimpa cahaya lampu sudut kafe, kian menambah pesonanya.
Tak pernah aku mengurungkan niat untuk sejenak saja mengalihkan perhatian daripadanya. Seharusnya mungkin tak cukup pantas aku memandanginya terus menerus seperti itu. Namun karena yang dipandang tak juga bergeming, bahkan sekedar tahu keberadaanku pun tidak, maka aku tenang-tenang saja menikmati semuanya. Semuanya yang selalu saja sama. Duduk sendiri di sana, di tempat yang selalu sama. Dengan pesanan yang sama, tingkah laku yang sama, bahkan waktu yang sama. Entah apa yang dipikirkannya. Tidakkah wanita itu merasa bosan dengan apa yang dilakukannya. Hampir setiap malam seperti itu. Bahkan di tengah hujan lebat sekalipun, ketika aku mampir ke kafe ini untuk berteduh. Wanita itu sudah ada di sana.
Kafe ini memang tak terlalu ramai pengunjung. Bahkan kalau diamati, kadang pengunjungnya tak banyak berubah. Itu- itu saja. Sebagian kuingat sering pula datang bersamaan denganku. Sekedar melepas penat atau mengusir kejenuhan. Live music yang disajikan cukup menghibur pengunjung kafe, meski lagu yang dimainkan bukan lagu-lagu top 40. Malah seringkali lagu-lagu nostalgia macam Daniel Sahuleka. Tak jadi soal.
Seperti malam ini, pianist tengah menghibur pengunjung dengan lagu-lagu memori tua. Semakin menambah dingin suasana. Di luar hujan masih saja turun dengan deras. Kota kecil ini terasa mati. Begitu sepi. Jarang sekali kendaraan melintas, apalagi pejalan kaki. Hampir tak ada samasekali. Aku berlari-lari menghindari guyuran air hujan dan segera masuk ke kafe. Hampir basah kuyup seluruh tubuhku. Segera saja udara malam yang dingin tergantikan dinginnya penyejuk udara di dalam kafe. Aku semakin mengigil. Secangkir teh hijau dengan gula merah bubuk tak lama kemudian dihidangkan pelayan. Sambil menikmati teh, aku mengalihkan pandanganku ke sudut, tepat di seberang tempat dudukku. Meja itu sudah ditempati penghuninya.
Seperti biasa. Wanita cantik berambut ikal yang selalu sendiri saja. Menikmati cappucino sambil melamun menatap hujan di luar kafe. Matanya menerawang menembus pekatnya malam. Jauh. Kosong. Sepi. Entah sedang mengembara kemana. Raganya memang ada di sana, di sudut kafe. Tapi siapa yang tahu jiwanya berada di mana. Melayang terbang mengarungi malam. Menembus hujan. Membelah pekat. Menyeruak dalam dingin. Pelan namun pasti, berkelana mencari sang pujaan hati. Tiba-tiba saja seperti tersadar, wanita itu meraih telepon genggamnya. Menelepon seseorang. Sayup-sayup aku bisa mendengar suaranya dan lantas iseng menduga-duga siapa yang dihubunginya. Aku mencoba membaca gerak bibirnya.
“Kamu akan datang, kan? Malam ini kamu akan datang untukku, kan? Berjanjilah kau akan datang. Aku menunggumu di sini”. Benar saja. Berarti wanita itu memang tengah menunggu seseorang. Pacarnya, suaminya, kekasih gelapnya, atau seseorang yang lebih penting dari semua itu.
Aku penasaran. Siapa gerangan yang selalu ditunggunya setiap malam di sudut kafe ini. Aku benar-benar ingin tahu siapa orang itu. Waktu berlalu. Berputar dengan lambat dalam kegelisahan. Aku terus menunggu seperti wanita itu. Setiap orang yang masuk melalui pintu tak luput dari pandanganku. Namun hingga lelah mataku, tak kunjung datang juga tamu istimewa itu. Sudah penat aku. Hujan di luar tak juga menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Kafe ini sudah akan tutup. Tiba-tiba wanita itu berdiri dan berlalu begitu saja di depanku. Melangkah keluar menembus pekatnya malam. Menerabas dalam guyuran hujan. Aku diam terpaku. Di kafe ini sendiri. Penantian yang sia-sia.
***
Malam ini aku kembali ke kafe. Dan wanita itu sudah berada di sana. Duduk di kafe seorang diri. Dengan secangkir cappucino yang sudah tinggal separuh isinya. Memandang rintik hujan yang mulai turun. Seharian kota ini memang belum diguyur hujan. Wanita itu terus saja memandang keluar. Apakah malam ini dia kembali membuat janji untuk bertemu dengan sang pujaan hati.
Aku hanya bisa menanti dan mengamati dari sini. Di sudut kafe yang lain yang berada tepat di seberang meja wanita itu. Meski aku selalu saja datang setiap kali dia datang, namun wanita itu tak pernah menyadari keberadaanku di kafe ini. Atau barangkali juga dia tak pernah menyadari keberadaan siapapun di sini kecuali dirinya sendiri. Seorang wanita yang selalu saja sendiri.
Duduk melamun dalam sepi. Tak berapa lama, wanita itu mulai mengeluarkan telepon genggamnya. Dia mulai menelepon. Tampaknya yang ditunggu belum juga datang, atau barangkali tidak pernah akan datang. Padahal sudah berpuluh malam wanita itu menanti di sini. Di pojok kafe yang berada persis di sudut kota kecil ini. Menanti dalam sepi dengan segala rasa kesepian dalam suasana kafe yang benar-benar sepi. Sesepi-sepinya malam sepi. Malam ini memang begitu sepi.
Kafe hanya berisi tiga orang pengunjung dan dua orang pelayan serta pianist tua yang selalu memainkan lagu-lagu memori tua. Barangkali kafe ini juga sudah tua seumuran pianist itu. Ah aku tak peduli. Aku sedang sibuk mengamati gerak bibir wanita itu. Dalam remang suasana kafe yang diterangi lampu sudut, di meja itu, dia kembali berharap pujaan hatinya akan datang.
“Kamu akan datang, kan? Pasti datang untukku, kan? Datanglah, aku sudah sangat kesepian menunggumu di sini. Sudahlah, jangan pernah mengatakan cinta lagi kalau kamu tak datang malam ini”.
Waktu kembali berputar dalam sepi. Udara begitu dingin. Wanita itu terus menatap pekatnya malam di luar sana. Mungkin berharap kekasihnya akan datang bersama hujan menembus dinginnya malam. Dan benar saja, hujan mulai mengguyur dengan derasnya. Tapi hujan hanya datang sendiri.
Aku mulai melirik ke arah pintu. Apakah tamu istimewa itu akan datang malam ini. Aku tak yakin. Isi cangkirku sudah hampir habis begitu juga dengan setangkup roti lapis makan malamku. Kali ini aku tak terlalu berharap akan kedatangan tamu istimewa itu. Barangkali saja dia tidak akan pernah datang. Atau jangan-jangan kekasih hati itu tidak pernah ada. Atau hanya sekedar sosok imajinasi seorang wanita yang selalu duduk sendiri dalam sepi di sudut kafe ini. Barangkali saja. Aku mulai dirundung rasa ragu. Lebih baik aku tak lagi menghabiskan sisa malamku di sini.
Aku mulai beranjak akan pergi, ketika wanita itu tiba-tiba melirikku. Dia tahu keberadaanku. Seakan mampu membaca keraguanku, dia terus saja memandangku. Apa yang ada di benaknya, aku mencoba untuk menerka. Aku mengurungkan niat untuk beranjak dari situ. Mata wanita itu seakan menelanku bulat-bulat. Aku tak kuasa menatap sorot mata itu. Begitu sepi, sunyi, sendiri dan nanar. Atau sekedar tatapan nyasar. Ditengah kekalutanku, wanita itu mengalihkan pandang. Kembali menatap dalam gelap. Meraih cangkir cappucinonya dan meneguk habis seluruh isinya. Lantas tak berapa lama, wanita itu berlalu di hadapanku. Pergi menembus pekatnya malam. Dan tinggallah aku dengan segala kebimbangan dalam suasana hati yang mendadak kelam.
***
Bulan berikutnya aku kembali ke kafe ini. Sejak malam itu, wanita itu tak pernah kembali lagi. Sejak matanya menatapku beberapa waktu lalu, ia tak pernah lagi duduk di sudut kafe. Wanita kesepian itu tak pernah muncul lagi. Kemana dia. Apakah pergi ke kafe lain dan menunggu kekasihnya di sana. Aku tak pernah menemukan jawabannya. Pianist tua itu kembali memainkan lagu memori.
Kenapa selalu lagu sepi dan bukannya top fourty. Suasana kafe ini benar-benar berubah. Tak ada lagi wanita yang selalu sendiri duduk menunggu kekasih hati. Melamun dalam sepi sambil menatap hujan yang tak pernah berhenti. Dalam keremangan lampu kafe dan siluet diri, wanita itu selalu mencoba menanti. Meski yang dinanti tak kunjung hadir di sini. Di sudut kafe ini.
Aku mulai merasa ada yang hilang. Dalam hujan dan gelapnya malam, biasanya kami sama-sama duduk sendiri. Sama-sama menikmati malam di sudut yang berbeda, sambil menikmati lagu yang dimainkan si pianist tua. Makan malamku terasa hambar. Aku sama sekali tak ingin menyentuhnya. Bahkan sekedar menikmati secuil roti lapis mentega. Sungguh aneh rasanya. Apakah aku mulai jatuh cinta? Ah, mungkin saja.
Meski aku sama sekali tak mengenal dia, tapi aku tetap saja manusia. Yang mudah juga terpesona oleh daya pikat wanita. Meski dia hanya duduk dan melamun saja, namun terasa begitu bersahaja. Benar, kan? Aku mulai merindukannya. Sebagai teman melewati sepi, meski kami tak pernah saling berbagi. Namun rasanya kami sudah saling mengisi dalam sunyi. Berbicara dalam diam dan hanya berujar melalui kata hati. Melalui angin malam dan rintik hujan, yang seolah hampir tak pernah berhenti menemani malam-malam kami.
Dimanakah dia. Dimanakah wanitaku yang selalu duduk sendiri di kafe ini. Yang selalu melamun menatap gelapnya malam pekat. Yang selalu datang dan pergi dalam hujan. Yang selalu memesan secangkir cappucino dan lantas membiarkannya hingga dingin, sebelum akhirnya melangkah pergi setelah melalui penantian yang selalu sia-sia.
Wanitaku yang setiap malam hanya ditemani lagu-lagu yang dimainkan piano tua milik si pianist yang sudah lebih separuh abad usianya. Wanitaku yang tak pernah berhenti merajut waktu menanti kekasihnya yang berada entah dimana. Wanitaku yang selalu setia menunggu dalam malam-malam pekat seorang diri di sudut kafe ini. Dimanakah wanitaku. Aku mulai bimbang.
Aku mulai cemas. Aku mulai kalut. Aku mulai rindu. Dan akhirnya aku mulai memutuskan untuk menunggu. Menunggu saja di situ. Tempat dimana wanita itu biasa diam membisu. Menunggu tanpa kepastian dan penuh rasa ragu. Akankah dia kembali ke kafe ini. Akankah dia masih mengenalku jika aku menunggunya di situ. Hanya waktu yang tahu. Aku memutuskan untuk menunggu saja.
Ya, aku akan menunggunya setiap malam di kafe ini. Siapa tahu, wanitaku tiba-tiba akan datang menghampiriku. Datang penuh cinta dan kasih hanya untukku. Hanya untukku saja. Pelayan kafe datang menghampiri. Dengan penuh keyakinan dan pasti aku memilih menu di baris pertama. Secangkir cappuchino dengan taburan choco granule di atasnya.