Slamet sangat bangga saat diminta Suryadirja mendampinginya mengunjungi desa-desa di sekitar tempat tinggalnya, bahkan juga desa-desa lain di kabupaten itu. Sebagai “wong cilik” ia merasa dihargai dan diangkat martabatnya. Dalam pandangannya, Surjadirja sosok terpandang dan memiliki hubungan dekat dengan para pejabat yang menentukan nasib rakyat kebanyakan seperti dirinya.
Dalam pergaulannya, Suryadirja tidak membuat jarak dengan masyarakat kebanyakan. Ia pun lebih suka dipanggil Dirja. Nama yang pendek, mudah diingat dan tidak “keningrat-ningratan”. Suatu hal yang lekat dengan feodalisme.
Dalam setiap pertemuan itu, tokoh-tokoh masyarakat senantiasa menyambut dengan hormat. Tutur kata Dirja sangat tegas. Kelebihannya, dia mampu menjelaskan hal rumit menjadi mudah dipahami. Saat berbicara di depan massa, suaranya menggelegar membelah langit. Diksi yang dipilih juga mampu membius perhatian audience sekaligus membangkitkan semangatnya.
Slamet belum lama mengenalnya. Awal mula bertemu di balai desa. Slamet tinggal di desa di ujung timur Jawa. Jauh dari pusat kekuasaan di Jakarta. Desanya cukup terpencil. Pada masa itu, infrastruktur yang mendukung koneksitas antar wilayah juga masih terbatas. Masyarakat mengakses informasi hanya melalui siaran radio. Itu pun tidak banyak yang memilikinya.
Kehidupan Slamet sangat sederhana. Bekerja serabutan. Semua hal dikerjakan asal mendatangkan uang. Kadang diminta membersihkan rumah tetangga, jadi buruh tani saat musim panen dan sebagainya. Termasuk sering diminta Pak Lurah memotong rumput di halaman balai desa. Pak Lurah sudah biasa menggunakan jasa Slamet untuk bersih-bersih kantor desa, pendopo termasuk halamannya.
Saat sedang memotong rumput itulah, tiba-tiba Dirja menghampiri dan menepuk bahunya sembari mengenalkan diri. Tak lupa menawarkan rokok. Slamet tak menyangka ada priyayi yang menaruh perhatian padanya. Ia hanya bisa bilang “inggih” setiap kali ditanya.
*
“Met, istirahat dulu. Nikmati rokok ini,” kata Dirja. Tanpa sungkan ia duduk di rumput dan mengajaknya berbicang-bincang. Dirja juga marah jika Slamet berbicara dengannya memakai “kromo inggil”. Ia selalu bilang,”Aku bukan priyayi, Met! Ngomong biasa saja,” tegasnya.
Slamet mengangguk dan tersenyum. Mulutnya menghisap rokok pemberian Dirja dengan pelan supaya awet. Maklum, sepanjang hidupnya, hanya mengenal rokok “tingwe (linting dewe)” alias dibikin sendiri secara manual.
Asap tebal keluar dari mulut Dirja sembari terus bercerita. Ia ditugaskan oleh pimpinannya berkeliling desa menemui lurah dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Banyak hal yang diceritakan tapi tak semuanya dipahami Slamet. Namun ada beberapa hal yang terbenam diingatannya. Dirja bicara tentang susahnya kehidupan rakyat. Mulai dari harga yang membumbung tinggi, cengkeraman lintah darat dan penguasaan tanah-tanah desa yang hanya dimiliki segelintir orang.
Slamet merasakan hal-hal yang disampaikan Dirja itu mewakili nasibnya. Pemuda desa yang tidak punya pekerjaan tetap, berpendidikan rendah, terlahir dari keluarga buruh tani dan kehidupannya juga tidak lepas dari urusan dengan rentenir. Sementara disisi lainnya, segelintir orang menguasai sebagian besar tanah-tanah di desanya serta mendominasi kegiatan ekonomi.
**
Pada awalnya, Slamet menerima itu sebagai takdir yang harus diterimanya sebagai rakyat kecil. Namun sejak perbincangannya dengan Dirja, ia berubah pikiran. Itu adalah ketidakadilan yang harus diubah dengan perjuangan. “Keadilan itu tidak datang dari langit. Tidak pula diberikan oleh penguasa. Namun harus diwujudkan oleh kita sendiri!” tegas Dirja.
Ketertarikan terhadap gagasan Dirja mendorong Slamet intensif bertemu dengannya. Pertemuan-peremuan dengan beberapa pemuda desa lainnya juga diikutinya. Dirja juga memperkenalkan dengan teman-temannya seperti Suripto, Klewang dan beberapa tokoh pemuda lainnya. Pekerjaan mereka beragam. Dirja bekerja sebagai wartawan di sebuah media lokal. Suripto masih mahasiswa sembari berdagang sedangkan Klewang selepas sekolah menengah atas bekerja sebagai buruh pabrik di kota kabupaten. Usia mereka relatif sama.
Slamet juga dikenalkan dengan Hamidah, perempuan muda selain sebagai guru juga aktif dalam satu organisasi dengan Dirja. Perempuan itu juga pandai menari dan menyanyi. Ia sering mengajar tarian kepada para gadis desa dan anak-anak sekolah. Dalam pertemuan-pertemuan yang berskala massif, Hamidah dan murid-muridnya menampilkan tarian-tarian tradisional dan lagu-lagu yang liriknya menggambarkan realitas sosial pada masa itu.
Slamet melihat diantara mereka juga sering berdebat keras. Kadang sambil menggebrak meja. Biasanya jika suasana sudah memanas, Banyubiru yang kemudian menengahi perdebatan itu. Pemuda ini paling disegani diantara mereka. Pembawaannya lebih kalem dan santun. Setelah beberapa lama Slamet baru tahu, Banyubiru juga pimpinan tertinggi organisasi itu di tingkat kabupaten.
Slamet tidak terlibat dalam banyak diskusi. Dalam benaknya, sudah cukup beruntung mendengarkan orang-orang pandai itu saling bertukar pikiran. Tugasnya hanya satu, mendampingi Dirja kemanapun pergi. Sesekali ia juga diminta mengawal Banyubiru bertemu dengan para buruh tani, buruh pabrik dan kalangan rakyat jelata lainnya.
Dalam kesempatan itu, Banyubiru menjelaskan program-program dari organisasi yang dipimpinnya. Ia juga menjabarkan hasil penelitian dari pimpinan pusat yang menyimpulkan adanya “7 setan desa” sebagai musuh rakyat. Mereka adalah tuan tanah jahat, lintah darat, tukang ijon, kapitalis birokrat (kabir), tengkulak jahat, bandit desa dan penguasa jahat.
Dirja biasanya bersuara keras mendorong para pemuda dan buruh untuk melawan para setan desa tersebut, khususnya rentenir dan tuan tanah dengan cara menolak bayar bunga hutang dan merebut lahan-lahan yang dikuasai para tuan tanah. Propaganda Dirja itu tidak jarang membuahkan gesekan sosial dan konflik fisik ditengah masyarakat.
Banyubiru sebenarnya tidak suka jalan kekerasan. Ia lebih memilih meningkatkan kesadaran kolektif massa rakyat melalui kursus-kursus politik, menguatkan basis ideologi dan basis ekonomi. Ia juga meyakini bahwa revolusi sosialis dapat dilakukan dengan cara damai. Banyubiru lebih sejalan dengan pemikiran Tan Malaka, khususnya tentang “putch”. Perebutan kekuasaan yang dilakukan segerombolan kecil yang bergerak diam-diam dan tak berhubungan dengan rakyat banyak, bukan cara yang baik. Tan Malaka merujuk pemberontakan PKI 1926 terhadap pemerintah kolonial Hindia Belanda sebagai putch.
Namun, arus utama di organisasi lebih banyak berpihak pada pendekatan dan program kerja yang dinilai lebih revolusioner. “Kawan, kau terlalu lama bergaul dengan kaum kabir sehingga jadi lembek,” komentar Dirja saat Banyubiru mengkritik aksi agitasi dan propaganda yang dilakukan Dirja.
Bahkan bagi lawan-lawan politiknya dalam satu organisasi, Banyubiru dilabeli sebagai “Marxis revionis” atau bagian dari kaum sosial demokrat. Label yang berkonotasi negatif, khususnya dalam perspektif pengikut Stalin yang percaya bahwa revisi itu tidak butuhkan dan mengkhianati prinsip fundamental Marxisme. Karena itu bagi Marxis orthodox, mereka dianggap murtad.
Posisi politik Dirja dalam organisasi semakin kuat karena mendapat dukungan dari pejabat organisasi diatasnya Banyubiru. Instruksi organisasi dari pusat kadang terlambat sampai di tangan Banyubiru. Disisi lain, Dirja sudah mendapatkannya terlebih dahulu dan menyampaikan secara informal kepada para kader. Secara tidak langsung, tindakan ini menggerus kepemimpinan Banyubiru dan kendalinya terhadap organisasi.
Rumor berkembang bahwa committee central organisasi atau pengurus pusat berencana melakukan evaluasi terhadap kepemimpinan Banyubiru. Suripto sempat mengingatkan Banyubiru,” Kawan, hati-hati bertindak dan bersikap. Aku dengar committee akan mengevaluasi posisimu,” katanya.
Gaya komunikasi Dirja juga lebih disukai para kader muda. Situasi ini membuat Banyubiru tercepit. Ia melihat adanya pelanggaran terhadap disiplin organisasi, namun ia tidak mau berbuat lebih jauh. Keutuhan organisasi jauh lebih penting daripada kepentingan pribadinya.
Disisi lain, Hamidah semakin intensif berinteraksi dengan Slamet. Peremuan muda itu sangat menyukai sikap Slamet yang memiliki kemauan keras untuk belajar. Meski berpendidikan lebih tinggi, namun Hamidah tidak memandang sebelah mata pada Slamet. Pembawaan Slamet yang kalem, dewasa dan simpatik dengan kesederhanaannya menjadi daya tarik tersendiri.
Namun sejalan dengan hal itu, Slamet juga merasakan perubahan sikap pada diri Dirja. Sikapnya tidak lagi seperti dulu. Ia mulai menjaga jarak. Lebih formal dalam gaya komunikasi dan interaksinya dengan dirinya. Layaknya pimpinan organisasi terhadap bawahannya. Namun dalam benak Slamet, perubahan sikap Dirja itu disebabkan oleh intensitas aktivitas organisasi yang semakin meningkat dan beban pekerjaan yang ditanganinya.
*
Hari-hari itu, mendekati tahun 1965, situasi politik nasional semakin memanas. Ditingkat rakyat meletus berbagai konflik horizontal yang tak jarang memunculkan darah dan korban nyawa. Di Banyuwangi muncul perisiwa yang dikenal dengan sebutan “Cemethuk”. Di Kediri, muncul “Peristiwa Kanigoro”. Kejadian serupa juga terjadi di Solo, Boyolali dan daerah lainnya. Tidak jarang muncul korban jiwa dalam peristiwa-peristiwa itu yang sering disebut sebagai aksi sepihak kaum komunis.
Slamet meski tidak mengetahui beragam peristiwa tersebut namun merasakan adanya ketegangan sosial yang tinggi di wilayahnya. Beberapakali kelompok pemuda yang dipimpin Dirja menyerbut kelompok pemuda lainnya. Sebaliknya, rapat-rapat umum yang didatangi Banyubiru dan Dirja atau pagelaran seni yang digelar Hamidah juga dibubarkan secara paksa sekelompok pemuda karena dianggap menghasut masyarakat.
Dalam peristiwa itu, perhatian Slamet hanya fokus melindungi keselamatan Dirja, Banyubiru dan juga Hamidah. Mereka yang biasanya menjadi sasaran massa yang berbeda pandangan politik atau yang terprovokasi oleh gerakan-gerakan yang dilakukan Dirja.
Beberapakali Slamet menyelamatkan mereka dari serbuan massa. Badannya yang tegap, besar dan tenaga kuat banyak membantu tugas tersebut. Meski sebenarnya, dalam hatinya Slamet merasakan tekanan batin juga karena sebagian orang-orang itu juga dikenalnya sebagai tetangga di desanya.
Dalam kesederhanaan pemikirannya, kedua orang tuanya mengingatkan untuk tidak lagi terlibat dalam organisasi itu. Namun Slamet punya pandangan berbeda. Ia berpikir organisasi pemuda itu dapat menerjemahkan kegelisahan sosial yang dirasakannya. Mampu menyuarakan apa yang dirasakannya namun dirinya sendiri tak punya kuasa untuk bicara. Selama ini, Slamet juga merasa telah diangkat derajat sosialnya setelah banyak bergaul dengan para aktivis organisasi itu.
Tidak lama setelah itu, akhir September 1965 terjadi peristiwa politik berdarah di Jakarta. Dimulai dari penculikan sejumlah jenderal angkatan darat yang kemudian ditemukan tewas di lubang buaya. Dilanjutkan dengan pengumuman adanya Dewan Revolusi yang menyelamatkan kepemimpinan nasional dari ancaman kudeta Dewan Jenderal. Hingga arus balik terhadap gerakan itu yang kemudian mengubah lanskap politik dan kekuasaan di Indonesia.
Beberapa bulan setelah G30S, pada akhirnya imbas peristiwa itu berlanjut ke daerah-daerah. Gerakan pembersihan kaum komunis, termasuk organisasi yang dianggap “onderbouw”nya terjadi di semua daerah. Meski jauh dari Jakarta, desa tempat tinggal Slamet tak luput pula dari gerakan tersebut.
Samar-samar dalam ingatannya kembali mengulang momentum pada dinihari itu. Fajar belum merekah saat sekelompok orang bersenjata lengkap mengepung rumahnya. Pada saat itu, ia merasakan sebagian tetangga dan warga desa lainnya ikut menonton. Bahkan terdengar teriakan lantang diantara mereka menyerukan membunuhnya.
Dengan mata tertutup ia dibawah ke rumah tahanan (rutan) yang berada di kota kabupaten. Ternyata sudah banyak orang yang ditahan dalam rutan tersebut. Sebagian besar dikenalnya sebagai aktivis organisasi pemuda yang dipimpin Banyubiru, Dirja dan sebagainya. Rutan itu dijaga ketat oleh aparat keamanan. Dari cerita teman satu sel, ia mendapatkan informasi bahwa banyak juga yang tidak sempat dibawa ke rutan, karena keburu dibunuh oleh sekelompok orang. Mungkin didorong motif balas dendam terhadap provokasi kaum komunis di masa lalu.
Teman satu sel itu juga bercerita bahwa Banyubiru, Dirja, Suripto dan juga Hamidah ditahan di tempat tersebut. Namun dengan nada kesal ia mengungkapkan bahwa Dirja berperan banyak atas ditangkapnya banyak tokoh pemuda dan warga masyarakat lainnya. Dirja lah yang menunjukkan pada aparat keamanan siapa-siapa yang perlu ditangkap. Karena itu, dalam kompleks rutan itu, Dirja terkesan mendapat keistimewaan. Ia tidak harus mendekam terus dalam sel. Bahkan dengan bebas dapat keluar masuk ruang penjaga.
Slamet tak mampu lagi menghitung hari-harinya dalam rutan. Ia memperhatikan, sebagian orang dibawa keluar dan tak kembali. Tidak tahu apakah mereka dilepaskan, dibawa ke lokasi lain atau menerima nasib yang berbeda. Kabar burung menyatakan sebagian diantaranya di eksekusi. Temasuk Banyubiru dan Hamidah.
Namun banyak pula orang-orang baru yang dimasukkan dalam tahanan. Dari berbagai sumber, Slamet mendapatkan cerita bahwa dalam pemeriksaan oleh petugas, Banyubiru menyatakan bertanggungjawab penuh atas kegiatan organisasi pemuda itu di tingkat kabupaten. Ia mencoba menyelematkan orang-orang yang tidak tahu banyak dan tidak sepantasnya menerima beban dan dampak dari peristiwa politik ini. Namun Dirja berbeda sikap. Dirja pula yang menuliskan nama Slamet dalam daftar tersebut.
Mendengar cerita itu, Slamet hanya terdiam dan pasrah terhadap apa yang akan terjadi pada dirinya. Bahkan seandainya maut merenggutnya dengan paksa, ia juga merasa tak punya sesuatu yang berharga untuk dipertahankan.
**
Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro. Disela-sela kesibukan bekerja di satu perusahaan migas, masih intens menulis. Diantaranya buku “Meretas Jalan Pembaruan” dan “Sketsa Pergolakan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia”. Beragam tulisan fiksi dan nonfiksi juga telah dimuat di berbagai media massa.