Maaf, ini memang cerita tentang cinta. Mungkin kamu tidak terlalu tertarik, tapi aku tak mau tahu. Karena aku ingin bercerita.
1. Pertemuan Pertama
Stasiun ini selalu ramai di jam pulang kantor, tapi sore itu berbeda. Hujan rintik membuat orang-orang bergegas mencari tempat berteduh, termasuk aku yang baru saja kehilangan presentasi penting karena laptop yang tertinggal di kantor. Berlari dengan kemeja yang sudah setengah basah, aku menabrak seseorang – kamu.
Map biru di tanganmu jatuh, menyebarkan sketsa-sketsa arsitektur ke lantai stasiun yang basah. Tanpa pikir panjang, aku membantumu mengumpulkannya, mencoba menyelamatkan hasil kerjamu dari air hujan yang mulai merembes.
“Maaf, aku benar-benar tidak memperhatikan jalan,” kataku sambil menyerahkan sketsa terakhir.
Kamu tersenyum, sebuah senyum yang kemudian akan kuingat selama bertahun-tahun. “Tidak apa-apa. Untung kertas gambarnya pakai kertas tahan air.”
Kereta yang seharusnya kukejar sudah lama pergi. Tapi entah mengapa, aku merasa bersyukur karena keterlambatan ini. Kita berakhir di Starbucks stasiun, berbagi cerita tentang pekerjaanmu sebagai arsitek muda dan kegagalanku hari itu.
“Jadi kamu harus kembali ke kantor sekarang? Di tengah hujan begini?” tanyamu sambil menyesap vanilla latte.
“Sepertinya begitu. Presentasi besok pagi tidak bisa ditunda.”
“Aku bawa payung. Kantormu di daerah Sudirman kan? Kebetulan aku juga mau ke sana, mengantar revisi desain untuk klien.”
2. Yang Tak Terelakkan
Setahun berlalu begitu cepat. Hubungan kita berkembang dari pertemuan-pertemuan tidak sengaja menjadi kencan yang direncanakan, dari obrolan ringan menjadi diskusi tentang masa depan. Sampai suatu malam, di sebuah restoran Italia kesukaanmu, kamu menyampaikan berita itu.
“Aku dapat beasiswa S2 di TU Delft,” katamu pelan, mata tertuju pada pasta yang hampir tidak tersentuh.
Hatiku mencelos. TU Delft – universitas impianmu di Belanda. Dua tahun bukan waktu yang sebentar untuk sebuah hubungan jarak jauh.
“Kapan?” Suaraku terdengar serak.
“Tiga bulan lagi.”
Tiga bulan terakhir kita lewati dengan mencoba membuat setiap momen berarti. Weekend trip ke Bandung, foto-foto di tempat favorit kita, dan janji-janji yang dalam hati kita tahu akan sulit ditepati.
Di bandara, kamu memberiku sebuah amplop. “Jangan dibuka sampai aku take off,” bisikmu di sela isakan. Di dalamnya, aku menemukan sketsa stasiun tempat kita pertama bertemu, dengan tulisan kecil di sudutnya: “Di sini semua bermula, dan di sini aku akan selalu menunggumu.”
3. Pertemuan yang Keliru
Jakarta, 2023. Aku tidak menyangka akan melihatmu di sana, apalagi sebagai salah satu pembicara utama. Tujuh tahun berlalu, dan kamu semakin bersinar. Di sampingmu berdiri seorang pria tinggi – dari biodatamu yang terpampang di layar, aku tahu dia Mark, partner di firma arsitekturmu di Amsterdam.
Aku duduk di barisan tengah, tanganku digenggam erat oleh Sarah, istri yang sudah menemaniku selama dua tahun. Matamu menemukan mataku saat sesi tanya jawab, dan untuk sesaat, waktu seolah berhenti.
“Terima kasih atas pertanyaannya,” kamu menjawab pertanyaanku tentang sustainable architecture dengan profesional. Tapi aku tahu, dan kamu tahu, ada getaran lain dalam suara itu.
Di coffee break, kita berpapasan. “Hai,” sapamu lembut. “Sudah lama ya.”
“Ya, sudah lama.” Aku memperkenalkan Sarah, kamu memperkenalkan Mark. Obrolan basa-basi yang menyakitkan, tentang karir, tentang kehidupan, tentang segala hal kecuali masa lalu kita.
****
Lima tahun kemudian, sebuah email singkat darimu mengejutkanku: “Aku kembali ke Jakarta. Untuk selamanya. Mark dan aku… sudah berakhir.”
Aku membacanya berulang kali di apartemenku yang sepi.
Kita bertemu di Stasiun, tempat yang menyimpan begitu banyak kenangan. Kamu masih secantik dulu, meski ada kedewasaan baru dalam caramu membawa diri. Aku masih melihat kilau yang sama di matamu, meski ada gurat-gurat lelah yang tak bisa disembunyikan.
“Masih ingat tempat ini?” tanyamu, memandang spot di mana dulu kita bertabrakan.
“Bagaimana mungkin aku lupa?”
Kita duduk di kursi panjang, lalu memesan minuman yang sama. Seperti dulu. “Kamu tidak pesan apa-apa? Emang boleh?” Lalu tertawa, sesuatu yang selalu aku rindukan.
Ia merasa tak ada yang terburu. Tidak ada kereta yang harus dikejar, tidak ada meeting yang harus dihadiri. Hanya ada kita, dan semua waktu di dunia.
“Aku masih menyimpan sketsamu,” akuku. “Yang kamu berikan di bandara.”
“Aku tidak pernah berhenti menggambar tempat ini. Di setiap kota yang kukunjungi, somehow, aku selalu membayangkan kita di sini.”
Di luar hujan gerimis, seperti hari itu. Dan semua hanya butuh 22 menit. Kami berpisah. Ia berpesan, agar aku menghubungi dia kapan saja. Aku tersenyum, menatapnya berlari kecil menghampiri taksi.
Aku berjalan, masuk di sebuah minimarket. Lalu suara itu menyapa, “Aku cari kamu. Kupikir nggak jadi jemput. Hapemu lagi silence?”.
Aku meraih tangan Sarah, “Kita pulang”, lalu tersenyum. ***