Udara Jakarta terasa lebih pengap dari biasanya . Beberapa kali Arman menyeka keringat yang mengalir di dahinya. Langkahnya tegas saat memasuki sebuah ruko di kawasan Mangga Dua. Matanya tajam, mengawasi setiap sudut ruangan, mencari sosok yang sudah tiga bulan menghindari tagihan. Ini adalah rutinitas yang sudah dijalaninya selama sepuluh tahun terakhir—mengejar, menakut-nakuti, dan akhirnya memaksa mereka membayar dengan cara apapun.
Di balik sosoknya yang dingin, Arman adalah cara. Ia bukan debt collector biasa yang mengandalkan otot dan gertakan. Arman adalah seniman dalam profesinya. Ia tahu kapan harus menggunakan ancaman halus, kapan harus memainkan kartu psikologis, dan kapan harus mengerahkan tekanan yang lebih kreatif.
Ia pernah membuat seorang pengusaha rental mobil meringkuk dan menangis setelah menghindar selama enam bulan. Pengusaha ini punya utang Rp 192 juta. Baru bayar Rp 87 juta, lalu menghilang begitu saja. Sayang, ia meninggalkan jejak yang kelewat gampang dipegang. Ia punya kekasih gelap. Dari perempuan itu Arman menapaki arah tempat tinggal si pengusaha rental.
Ia datang tanpa banyak kata. Ia cukup melempar foto; si pengusaha sedang duduk mesra dengan kekasihnya. Ia lupa, istrinya di Kalimantan adalah anak pejabat yang sangat berkuasa. Ia juga lupa, jika hubungan gelapnya terbongkar, si pejabat cukup menjentikkan jari untuk mendatangkan tukang pukul dan menghabisi si pengusaha mobil rental dengan cara tak biasa. Ketakutan berujung pembayaran. Dan Arman dapat tambahan Rp 10 juta agar bungkam.
Ya, setiap target memiliki kelemahannya masing-masing, dan Arman adalah ahli dalam menemukan dan memanfaatkan kelemahan.
Hari itu, setelah berhasil mengumpulkan tiga tagihan sekaligus, ponselnya bergetar. Sebuah pesan WhatsApp dari Rahma, adiknya di Medan. “Bang, Mama masuk rumah sakit. Dokter bilang stroke. Mama nanyain Abang terus.”
Arman terdiam di mobilnya, tangannya menggenggam erat kemudi. Sudah lima tahun ia tidak pulang ke Medan, terlalu sibuk membangun reputasi gelap di Jakarta. Setiap bulan ia memang mengirim uang, untuk mengganti kehadirannya dengan sederet angka. Cara yang menurut dia selalu bisa diterima.
Pergulatan batin Arman tidak berlangsung lama. Besok ada empat target besar yang harus ia selesaikan. Klien-klien premium yang tidak bisa ditunda.
Dengan getir, ia mengirim sejumlah uang pada Rahma dan berjanji akan pulang secepatnya. Malam itu, untuk meredam gejolak dalam hatinya, Arman menenggelamkan diri dalam rutinitas yang sudah ia kenal—menghabiskan malam di tempat karaoke bersama Vivi, lady companion yang telah menjadi pelariannya selama enam bulan terakhir.
Vivi berbeda dari wanita-wanita lain yang pernah Arman kenal. Di balik pekerjaannya sebagai LC, ia memiliki cara berpikir yang tidak terduga. Ia bukan LC di level strata tertinggi, bukan yang paling cantik, bukan yang paling seksi. Tapi Arman selalu mengagumi Vivi. Ia tak pernah mau mengganti Vivi dengan LC yang lain. Momen di ruang karaoke adalah eksplorasi Arman pada cara berpikir. Tentang sebab-akibat. Dan tentu saja, tentang bibir Vivi yang selalu merah.
Malam itu, sambil menuangkan Jack Daniel’s ke gelas Arman, Vivi bercerita tentang mimpinya membuka sebuah toko bunga. “Setiap bunga punya ceritanya sendiri,” katanya dengan mata berbinar, “seperti kita. Setiap orang punya alasan?”
Kalimat itu menohok Arman lebih dalam dari yang ia duga. Selama ini, ia selalu melihat para pengutang sebagai target, bukan manusia dengan cerita. Malam itu, Vivi kembali memberi arti. Di bawah pengaruh alkohol dan kata-kata, Arman berjalan sempoyongan ke mobil. “Tidur di rumahku aja, lebih dekat. Kamu nggak mungkin bisa pulang kalau mabuk gini. Ini tumben banget sampai kayak gini,” canda Vivi.
Arman menggeleng. Ia tetap ngotot masuk mobil, lalu melaju ke apartemennya.
Keesokan pagi, dengan kepala yang masih berdenyut, Arman menerima pesan yang mengubah segalanya. Rahma memberitahu, ibu mereka telah pergi. Dunia Arman seketika gelap. Ia bahkan tidak sempat mengucapkan selamat tinggal pada orang yang melahirkan dirinya.
Kepalanya penuh suara-suara. Orkestra luka, nyanyian pilu. Dengan tangan gemetar, Arman menghadap Pak Herman, boss-nya, untuk meminjam uang. Kata Arman, hanya Rp 75 juta, untuk mengganti biaya pemakaman dan bantuan keluarga. Pak Herman, yang selama ini memandang Arman sebagai aset berharga memberi respon yang tak terduga. “Ambil saja dari brankas. Anggap sebagai bonus atas kerja kerasmu selama ini. Tapi dengan satu syarat—kamu harus membersihkan semua berkas tagihan yang ada di mejaku dalam sebulan.”
Tumpukan berkas di meja Pak Herman adalah kasus-kasus yang bahkan debt collector senior pun enggan menyentuh. Namun Arman tidak punya pilihan.
Hari itu ia mendatangi mereka satu-satu. Mulai dari caleg gagal yang utang hampir Rp 1 miliar untuk berburu suara. Hingga perempuan cantik istri orang penting di Jakarta, yang diam-diam suka berburu brondong dan narkoba. Dan keesokan harinya, ia meluncur ke Bandung, Bogor, lalu Tasikmalaya. Jelang tengah malam, ia kembali ke Jakarta.
Arman tak butuh satu bulan. Ia hanya butuh waktu lima hari. Ia bekerja seperti kesetanan, mengejar target demi target, lalu memasukkan hasil tagihannya dalam beberapa tas. Ia juga menyimpan bukti transfer, skrinsut transaksi online, dan lembar-lembar copy tanda terima. Semua tersimpan rapi.
Di setiap tempat, ia mendengar suara mengaduh, tangis, dan cerita-cerita. Tapi gelap matanya lebih berujung pada golok, kunci inggris, dan ancaman-ancaman. Entah berapa kali bajunya terciprat darah. Ia tak peduli. Di akhir petualangannya, ia mendapat pesan singkat di ponsel. Dari Vivi; aku hamil.
Usai menyelesaikan semua tagihan ia menemui Pak Herman. Menyerahkan berkas laporan, lalu tas-tas berisi uang. Pak Herman girang bukan kepalang. Ia menyuruh dua sekretarisnya menghitung uang dalam tas. Tak kenal jeda, begitu tangkas. Di akhir, mereka serempak berkata, “Pas”.
****
Senja, Arman terkapar di pinggir kota. Bajunya lusuh dan kotor. Ia mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Tak banyak, tapi ia tahu pasti. Setelah menerima uang, Pak Herman mengajaknya makan malam. Arman duduk di depan, sementara Pak Herman diapit dua pengawal. Sepanjang jalan mereka berbicara. Arman ingat, ia sempat mengaku akan menikah. Ia bercerita tentang harapan, hingga toko bunga. Tapi ia tak mau bercerita tentang Vivi.
Bukannya berbelok ke resto, mobil mereka meluncur ke kawasan sepi di pinggiran kota. Arman mulai curiga, lalu pukulan keras itu menghantam kepalanya. Saat bangun, Arman menyadari. Ia telah dikhianati. Ia menggapai ponsel, lalu menghubungi Vivi. “Aku bisa minta tolong?”
“Ada apa? Kamu kenapa. Suaramu kayak orang sakit”
Arman menyembunyikan batuknya. “Dengar baik-baik. Aku minta tolong, pergi ke apartemenku. Passwordnya ulang tahun kamu. Di lemari kamar, ada ATM-ku. Pin-nya juga ulang tahun kamu”
Vivi mulai gusar. “Kamu kenapa?”
Arman merintih, terbatuk, lalu memegangi perutnya yang luka parah. Darah tak berhenti, seperti sesalnya yang datang gara-gara nekat membuat kesepakatan dengan Pak Herman. “Dengar. Aku minta tolong. Di buku coklat ada nomor rekening Rahma, adikku. Tolong kirim Rp 75 juta ke dia. Kamu bisa dengar aku kan?”.
Vivi mulai memaksa. “Kamu dimana?”
Arman kembali menyembunyikan batuknya. “Uang di rekeningku, sisanya kamu pakai. Tambahan buat toko bunga. Nggak banyak, tapi lumayan”
Vivi makin memaksa. “Kamu dimana?”
Arman menutup ponsel, lalu lepas terlentang. Menarik nafas dengan berat. lalu sayup ia mendengar ponselnya berbunyi, tak tahu panggilan dari siapa. Dari Rahma, mungkin juga dari Vivi. Selebihnya gelap dan sepi. ***