Pukul 4.30 pagi, alarm berbunyi di kamar Hendra. Ia mengerang pelan, meraih ponselnya, dan membaca notifikasi yang masuk: tiga email dari supplier pakan, dua pesan dari pelanggan kafe, dan satu meme lucu di grup “Eks Programmer Jadi Peternak” – grup WhatsApp yang entah bagaimana ia temukan setelah kembali ke kampung.
“Selamat pagi, Yang Mulia Ayam-Ayam,” gumamnya sambil mengenakan sepatu boot. Panggilan itu adalah lelucon pribadi, mengingat bagaimana dulu ia begitu membenci ide menjadi ‘budak’ ayam-ayam ini. Sekarang? Yah, setidaknya ia sudah bisa tertawa tentang hal itu.
Lima belas tahun yang lalu, Hendra adalah mahasiswa teknik informatika yang ambisius di Jakarta. Anak desa yang berhasil masuk universitas top dengan beasiswa penuh. Saat teman-teman seangkatannya memamerkan laptop gaming, ia diam-diam menyembunyikan fakta bahwa uang saku bulanannya berasal dari penjualan telur ayam.
“Bau kandang ayam masih menempel, Hen?” ledek Rudi, teman sekelasnya, suatu hari setelah ia baru pulang dari kampung.
“Nggak lah, ini parfum Chanel,” balas Hendra dengan poker face. “Chanel Kandang Limited Edition.”
Tawa pertama tentang latar belakangnya itu ternyata menjadi titik balik. Hendra mulai belajar menggunakan humor untuk menghadapi aib sebagai anak peternak ayam. Tapi dalam hati, ia bertekad: apapun yang terjadi, ia tidak akan kembali mengurus ayam.
Lulus cumlaude, Hendra langsung diterima di perusahaan IT multinasional. Orangtuanya datang ke wisuda, Bapak masih dengan kemeja yang sama yang ia pakai saat mengantar Hendra pertama kali ke Jakarta. Ibunya menangis terharu, tapi Bapak hanya tersenyum tipis.
“Sudah siap pulang bantu Bapak di kandang?” tanya Bapak, setengah bercanda.
“Bapak bercanda? Hendra kan mau jadi CEO startup!” sahut Ibu sebelum Hendra sempat menjawab.
Bapak hanya mengangguk. “Ya sudah, semoga sukses. Tapi ingat Hen, ayam-ayam itu lebih setia dari investor.”
Kalimat itu menghantuinya bertahun-tahun kemudian.
Tiga tahun di perusahaan IT, Hendra mulai merasa hampa. Jari-jarinya yang dulu lincah coding sekarang lebih sering mengetik email politik kantor. Suatu malam, scrolling Instagram, ia melihat iklan franchise ayam goreng.
“EUREKA!” teriaknya, membuat kucing tetangga terjatuh dari jendela apartemen.
Lahirlah brand Ay@m Krispi dengan tagline yang ia pikir jenius: “Dari Keluarga Peternak Turun Temurun”. Hendra mendesain logo ayam bergaya hipster, lengkap dengan kacamata dan dasi kupu-kupu. Ia bahkan membuat seragam dengan tulisan “Tech Guy Gone Culinary” di punggungnya.
Sayangnya, menggoreng ayam ternyata tidak semudah memeliharanya. Setelah enam bulan dan tiga kali ganti kepala koki, Krispy Chick gulung tikar. Pelanggan terakhirnya adalah gerombolan mahasiswa yang meninggalkan review pedas: “Ayamnya keras seperti keyboard programmer.”
Tidak menyerah, Hendra beralih ke bisnis web hosting. Dari teman-teman kuliah, ia dapat akses membuat layanan hosting. Ia pun kembali menyiapkan tagline dahsyat; Hosting Secepat Ayam Dikejar Anjing. Departemen marketing-nya protes keras dengan tagline ini, tapi Hendra bersikeras. Katanya, ini adalah personal branding.
Selama setahun, bisnis berjalan lancar. Sampai suatu malam, serangan DDoS masif melumpuhkan servernya. Ratusan klien murka. Forum teknologi langsung dipenuhi meme tentang hosting ayam. Seseorang bahkan membuat website khusus, www.hendrasihostingnyaampas.com.
Depresi, Hendra melamar ke bank. Karirnya di divisi IT perbankan menanjak cepat. “Akhirnya,” pikirnya, “aku benar-benar lepas dari dunia ayam.”
Takdir berkata lain. Kasus korupsi yang nyaris menyeretnya membuatnya trauma. Yang lebih ironis? Rekan yang mengkhianatinya ternyata sesama anak peternak ayam yang waktu itu bilang, “Aku ingin sukses di kota”.
Usaha terakhirnya: startup pertanian, FarmConnect. Pitching deck-nya penuh grafik naik dan buzzword teknologi. Investor tertarik, terutama dengan jargon Revolutionizing Traditional Farming with Blockchain. (Hendra sendiri tidak yakin apa hubungan blockchain dengan ayam, tapi semua startup sepertinya harus pakai blockchain)
Dua tahun dan tujuh putaran pendanaan kemudian, kompetitor besar masuk pasar. FarmConnect terpaksa tutup. Kantor yang dulu ramai dengan engineer berbaju hipster kini sunyi. Hanya tersisa stiker di dinding: “Keep Calm and Disrupt Agriculture.”
Kepulangan ke kampung untuk pemakaman Bapak mengubah segalanya. Di kamar lamanya, ia menemukan buku catatan Bapak. Halaman demi halaman berisi perhitungan teliti tentang pakan, jadwal vaksin, dan analisis pasar telur yang akan membuat analis Wall Street terkesan.
“Heh,” Hendra tertawa getir, “ternyata Bapak lebih jago data analytics daripada aku.”
Kini, dua tahun sejak kepulangannya, Hendra sudah bisa tertawa lepas tentang masa lalunya. Peternakan ayamnya tidak besar, tapi stabil. Ia mengintegrasikan sistem pencatatan digital, hasil belajar dari kegagalan masa lalu. Telur ayam kampungnya kini menjadi favorit kafe-kafe di kota, dengan kemasan ramah lingkungan berlabel “From Failed Startup Guy with Love.”
Pagi ini, seperti biasa, Dimas membantunya di kandang. Bocah lima belas tahun itu terobsesi dengan programming, mengingatkannya akan dirinya dulu.
“Om Hendra,” tanya Dimas suatu hari, “kenapa sih om gagal terus waktu coba bisnis lain?”
Hendra tersenyum, menatap deretan kandang ayam yang bersih dan teratur. “Mungkin,” katanya bijak, “karena hidup itu seperti ayam bertelur, Dim. Tidak bisa dipaksa. Ada waktunya sendiri.”
“Tapi katanya om dulu benci jadi peternak ayam?”
“Yah, namanya juga anak muda. Dulu om pikir jadi peternak ayam itu ketinggalan zaman. Ternyata…” Hendra terkekeh, “…malah coding yang bikin stress. Setidaknya ayam tidak pernah protes kalau telurnya ada bug.”
Di dinding ruang kerjanya yang baru, Hendra menggantung semua plakat dan piagam lamanya. Di tengahnya, dengan bingkai paling besar, terpampang foto dirinya dengan seragam Ay@m Krispi yang norak. Di bawahnya, ia menulis dengan spidol: “Kadang kita harus tersesat dulu, baru tahu jalan pulang.”
Malam hari, setelah semua pekerjaan selesai, Hendra sering duduk di beranda, laptop di pangkuan, mengerjakan sistem pencatatan ternak digitalnya. Kadang ia tersenyum sendiri membayangkan reaksi teman-teman programmer-nya dulu jika tahu ia sekarang menggunakan skill coding untuk menghitung produksi telur.
“Yang penting bahagia, Hen?” suara Ibu mengagetkannya.
“Iya, Bu. Ternyata memang sudah takdirnya jadi peternak ayam biasa.” Hendra nyengir. “Tapi setidaknya peternak ayam yang bisa coding.”
Ibu tertawa, menepuk pundaknya. “Bapakmu pasti bangga. Dulu dia selalu bilang: yang namanya takdir itu seperti telur. Mau dipecahin dari mana aja, isinya tetap kuning di tengah.”
Hendra mengangguk, matanya menerawang ke langit malam yang penuh bintang. Empat kali ia mencoba lari dari takdirnya, empat kali pula ia gagal. Tapi dari setiap kegagalan itu, ia membawa pulang pelajaran berharga – dan lebih penting lagi, cerita lucu untuk dibagikan di grup “Eks Programmer Jadi Peternak.”
Besok pagi, seperti biasa, ia akan bangun sebelum matahari terbit. Ritual yang sama akan terulang: sepatu boot, topi lusuh, dan sapaan pada “Yang Mulia Ayam-Ayam.” Tapi kali ini dengan hati yang damai, menyadari bahwa kadang takdir terbaik kita adalah apa yang sejak awal kita coba hindari.
Dan jika ada yang bertanya apa rahasia kesuksesannya sebagai peternak ayam?
“Simple,” jawabnya dengan senyum miring. “Treat your chickens like your programmer friends: beri mereka makanan yang baik, lingkungan yang nyaman, dan jangan terlalu banyak protes kalau mereka berisik.”
Dan hari itu, ia melihat ada yang berbeda. Ada perempuan cantik duduk di kursi bagian keuangan. Ia langsung menyahut bahu Dimas. “Siapa?”
Dimas tertawa lebar. “Dia Mbak Titik. Dia kan yang dulu dijodohin sama Om Hendra. Trus Om Hendra buru-buru kabur bikin resto ayam krispi di kota. Masih jomlo dianya sih”.
Hendra menganggukkan kepala sambil tersenyum. Penuh arti. ****