Telaga itu berkilau seperti permata di dalam kegelapan, seperti tempat yang diciptakan oleh keheningan. Airnya sebening kaca, memantulkan bayangan pepohonan yang melingkarinya. Pepohonan tua dan kering berdiri diam, akar-akarnya menjulur seperti tangan yang mencengkeram tanah dengan putus asa. Di atasnya, kabut tipis menggantung seperti tirai yang tak ingin terbuka, memantulkan langit malam yang kelam, di mana bulan bersembunyi di balik awan tipis, seolah takut untuk menyaksikan kesedihan yang terjadi di tempat ini.
Udara dingin menyentuh kulitku, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang perlahan membusuk. Setiap langkah yang kuambil terasa berat, membawa kenangan yang telah lama menyesakkan dada. Semakin mendekati telaga, aku selalu merasa seperti memasuki sebuah dimensi yang tak kukenal. Seperti melangkah ke dalam mimpi yang tak sepenuhnya kau pahami.
Aku berdiri di tepiannya, telanjang di hadapan kenangan yang tak pernah kubiarkan mati. Angin malam menggigit, namun hatiku lebih beku dari itu. Aku kembali ke tempat ini, tempat di mana aku kehilanganmu, berharap menemukan apa yang sudah lama hilang— atau setidaknya, serpihannya.
Telaga ini adalah tempat kita dulu berjanji, tempat di mana aku terakhir kali menggenggam tanganmu. Dan kini, di tepi airnya yang bening dan dingin, aku berdiri sendiri, menggenggam bayangan yang tak pernah benar-benar pudar. Angin malam mengelus wajahku, dinginnya menusuk, tapi itu tak sebanding dengan dingin yang merayap di dalam hatiku.
Lalu aku melihatnya. Seekor kupu-kupu biru, besar dan bercahaya, muncul dari dalam telaga. Sayapnya berkilauan, seperti membawa pecahan-pecahan kecil cahaya bulan yang redup. Sayapnya mengepak lembut, membawa bayang-bayang memori yang tak pernah pudar. Ia muncul dari tengah telaga, dari dalam air yang beriak tenang. Ia melayang mendekat, perlahan, hingga hanya ada jarak sejangkauan tangan di antara kami. Saat aku menatapnya, jantungku sejenak berhenti.
“Itu kau,” bisikku.
“Apa kau mencariku?” Suara itu lembut, seperti bisikan angin di malam yang sunyi. Itu adalah suaramu—suara yang masih sering menghantuiku dalam mimpi, yang selalu kurindukan setiap aku membuka mata.
“Kau… berubah,” kataku pelan.
Kupu-kupu itu tertawa kecil. Suara tawa yang begitu kukenal, tetapi kini terasa asing. “Waktu mengubah segalanya, bukan? Aku adalah apa yang tersisa dari diriku yang dulu. Dan kau… kau adalah seseorang yang masih terjebak di masa lalu.”
“Kenapa?” Tanyanya, suaranya lembut tapi penuh dengan sesuatu yang menusuk. “Apa yang kau cari dari diriku yang sudah tiada?”
Air mata menggenang di mataku. “Karena aku tak bisa melupakan. Karena aku takut jika aku melupakanmu, maka semua tentangmu akan hilang. Aku hanya ingin kau tetap di sini, bersamaku.”
Kupu-kupu itu melayang lebih dekat. Sayapnya yang bercahaya menyentuh pipiku, seperti sentuhan lembut yang tak nyata. “Aku tidak bisa selalu di sini,” katanya pelan. “Kehadiranku di sini hanya membuatmu terus terluka. Kau tidak hidup. Kau hanya menunggu.”
Aku ingin menjawab, tetapi kata-kataku terhenti ketika sebuah suara memotong keheningan. Langkah kaki terdengar di belakangku, gemerisik daun dan ranting dipecahkan oleh seseorang yang datang dengan terburu-buru.
“Ranti…”
Ia berdiri di sana, tubuhnya gemetar. Entah oleh amarah atau dinginnya malam. Wajahnya memerah, tetapi matanya basah. Aku tahu, sejak lama, ia membawa luka yang kubuat sendiri. Tapi malam ini, aku melihat luka itu terbuka sepenuhnya. Ia melangkah mendekat, tatapannya beralih antara aku dan kupu-kupu biru di hadapanku.
“Jadi ini alasannya?” Katanya. “Kau masih di sini, bersamanya.
“Jadi ini sebabnya,” suaranya bergetar, nyaris berbisik. “Ini sebabnya kau selalu datang ke tempat ini. Bukan untukku. Selalu untuknya.”
Aku mencoba menjelaskan, tapi suaraku tersangkut di tenggorokan. “Ranti, ini bukan seperti yang kau pikirkan.”
Ranti tertawa kecil, tetapi tawa itu penuh kepahitan. “Bukan seperti yang kupikirkan? Lalu apa? Kau terus datang ke sini, mencari seseorang yang bahkan sudah mati. Dan aku di sini, hidup. Apa artinya itu untukmu?”
Aku mencoba mendekatinya, tapi ia mengangkat tangannya, menghentikanku. “Jangan,” katanya tajam. “Aku sudah lelah, aku sudah terlalu sering berharap. Kau tak pernah benar-benar melihatku. Kau hanya melihat dia.”
Ranti menoleh pada kupu-kupu biru itu, matanya penuh dengan kemarahan dan kesedihan yang tak tertahankan. “Dan kau,” katanya lirih, suaranya bergetar. ” Kau seharusnya mati, bersama kenangan itu. Kenapa kau masih di sini? Kenapa kau terus datang memanggilnya? Bukankah sudah cukup?”
Kupu-kupu biru itu tak bergerak, hanya melayang di udara, menatap Ranti dengan tatapan lembut. Ia juga tak terganggu oleh kata-kata Ranti. “Aku tidak memanggilnya, ia yang memanggilku.” Jawabnya dengan suara lembut. “Aku adalah bagian dari dirinya yang belum selesai, bagian yang ia takut untuk lepaskan.”
Air mata Ranti mengalir. “Dia tidak akan pernah melepaskanmu. Kau tahu itu, kan? Tidak peduli berapa lama aku menunggu, aku selalu kalah dari bayanganmu.”
Aku ingin bicara, ingin memohon agar Ranti tidak pergi, tapi suaraku hilang, tenggelam dalam rasa bersalah yang menyesakkan. Aku melihatnya perlahan mundur, menjauh dariku.
“Jika kau tidak bisa melepaskannya, aku yang akan pergi,” katanya pelan, tapi suaranya terdengar seperti sesuatu yang retak, hancur berkeping-keping. “Aku tidak bisa terus hidup seperti ini.”
Ia berbalik, langkahnya berat, tetapi pasti. Aku ingin mengejarnya, ingin memintanya bertahan. Tapi kupu-kupu biru itu terbang di depanku, menghalangi jalanku.
“Kau harus memilih,” katanya lembut, suaranya bergetar seperti embun yang jatuh. “Aku tidak bisa ada di sini selamanya. Dia juga tidak.”
Air mataku jatuh. “Aku tidak tahu bagaimana cara melupakanmu,” bisikku. “Aku tidak tahu bagaimana caranya hidup tanpamu.”
Kupu-kupu itu hinggap di bahuku, sentuhannya seperti pelukan yang tak nyata. “Kau harus membiarkanku pergi dan berhenti memanggilku. Kau tidak perlu melupakan. Namun kau harus melepaskan. Biarkan aku menjadi bagian dari masa lalumu, bukan penjara bagimu.”
“Aku akan selalu ada di sini,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar. “Tapi kau harus pergi. Temukan dia sebelum terlambat.” Cahaya biru itu perlahan memudar kemudian lenyap, menjadi debu cahaya yang menyatu dengan kabut. Telaga itu kembali sunyi, seperti mengunci semua rahasia yang baru saja terjadi.
Aku berdiri di tepi telaga sampai fajar merekah, menatap airnya yang kini tenang. Kenangan itu masih ada, tapi rasanya tak lagi menyakitkan. Aku tahu apa yang harus kulakukan: menemukan Ranti, meminta maaf, memberitahu bahwa aku memilihnya, kemudian aku akan berusaha mencintainya sepenuh hati.
Malam itu, aku juga tahu bahwa bagian dari diriku akan selalu tinggal di telaga ini, bersama bayanganmu, menjelma kupu-kupu biru yang abadi, terbang di antara batas mimpi dan kenyataan.
***
Cerpen ini dibuat dengan bantuan AI di aplikasi chatgpt. Tentu telah melalui proses editing untuk penyempurnaan.
Lahir di Nganjuk, 1988. Menulis cerpen dan puisi. Buku solo puisi pertamanya berjudul Denting Rasa (2019). Beberapa karyanya dimuat dalam Antologi bersama teman-teman FLP Surabaya, diantaranya: Sebelas (Kumpulan Puisi, 2018), Hadiah untuk Mamah (Cerita Anak, 2021), Memeluk Cermin (Kumpulan Prosa, 2022), Kesempatan Kedua (Kumpulan Cerpen, 2022). Saat ini bermukim di Surabaya dan aktif di komunitas FLP Surabaya. Penulis bisa dihubungi di Instagram @madyasta01 dan surel: [email protected].