Matanya menyala. Tawanya menggema. Rasanya sudah lama sekali nyala mata yang mempesona dan menyuguhkan wibawa itu tak lagi terlihat. Wajahnya yang mulai tirus dan kendur termakan obat-obatan seolah kembali meregang.
Bukan sejenis regangan karena amarah. Tetapi mengencang, seperti beban-beban pikiran yang selama ini menarik kulit wajahnya hingga mengendur, telah lepas. Membuatnya tampak lebih muda dan bertenaga sekaligus begitu santai.
Lama, lama sekali aku tak melihat rona wajah yang menyala penuh kasih itu. Mata yang menyejukkan sekaligus penuh perhatian. Senyum dan tawanya yang sesekali muncul ketika ia menyelipkan guyonan di sela cerita. Walau jujur saja, lebih sering terasa garing.
Ia sebenarnya pria yang bersahabat. Secara alami, setiap orang akan merasa aman dan nyaman didekatnya. Setidaknya, itu yang selama ini aku rasakan.
Tetapi, gempuran masalah demi masalah telah memukulnya secara telak. Membuatnya harus menginap di rumah sakit. Ia terserang jantung koroner. Tak lama ia di sana, hanya seminggu. Tetapi dalam waktu yang singkat itu, mereka telah berhasil menguras lebih dari separuh tenaganya.
Serangan itu datang secara tiba-tiba. Mungkin karena ia terlalu banyak pikiran. Lelaki yang sedang duduk di kursi kayu panjang tanpa sandaran ini, memang seorang pemikir. Ia selalu memikirkan hal-hal kecil yang menimpanya, atau menimpa masyarakat di sekitarnya. Merasa turut bertanggung jawab dan menanggung beban bersamanya.
Ia pribadi yang baik. Atau setidaknya, baik menurut pendapat masyarakat. Banyak orang yang datang kepadanya untuk meminta nasihat atau mendiskusikan masalah-masalah mereka. Terkadang hanya masalah sepele, kadang juga masalah berat yang berhubungan dengan orang banyak. Ia selalu menerima mereka, meski tak selalu memaksakan diri memberikan solusi. Tak jarang, ia menyarankan tamu-tamunya untuk bertanya ke orang lain yang dirasa lebih mampu. Biasanya, ia menyodorkan beberapa nama.
Selain suka menerima tamu, ia juga suka bertamu. Berkunjung ke tetangga atau saudara atau teman-teman seusianya. Tak jarang, ia menghabiskan waktu berjam-jam bersama mereka. Kadang di pagi hari, kadang ketika sore menjelang, tak jarang di malam hari dan pulang ketika pagi sudah mulai dini.
Kini, ia jarang bertamu. Tapi orang-orang masih banyak yang datang. Sekadar berkunjung, jagongan, atau mereka yang ingin berkonsultasi. Tetapi kini wajahnya lebih banyak tegang. Kali ini, ketegangan yang menampakkan keseriusan. Penyerapan beban dari setiap orang yang datang kepadanya. Tegang karena pikirannya yang terus mencerna dan mencerna, tetapi tak punya tempat untuk menyalurkan atau membuangnya.
Ketika sendiri, ia jadi lebih banyak diam. Terkadang tiduran saja sambil memejamkan mata meski tak benar-benar tidur. Sejak dulu, ia memang orang yang pendiam. Terutama ke anak dan istrinya. Ia hanya berbicara jika memang perlu bicara. Sesekali saja ia memulai percakapan ringan dan menyuguhkan cerita-cerita. Ia menjadi lebih serius dan selalu serius ketika berbicara.
Ia juga tak lagi sering berkunjung. Lebih banyak diam di rumah. Tenaganya yang tinggal kurang dari setengah membuatnya sering terengah-engah.
Otot-ototnya pun mengendur. Menggelambir tak bertenaga. Membuatnya nampak lelah dan kesepian. Sebuah reaksi yang wajar, mengingat ia tak lagi bisa bertani atau pun mencari rumput untuk kambing-kambingnya. Berkunjung, bertani dan mencari makan untuk ternak selalu ia anggap sebagai hiburan alih-alih pekerjaan. Hiburan dari segala aktifitas pikirannya yang begitu rakus mencerna. Hiburan yang satu per satu direnggut bersama kesehatannya.
Maka siang ini, ketika matanya kembali menyala, tawanya kembali menggema, dan raut mukanya memancarkan rona bahagia, aku begitu menikmatinya. Ia baru saja menuturkan cerita-cerita. Kisah yang membuat kami berempat turut tertawa.
Terlihat beban-beban yang selama ini mengekangnya mulai terlepas sedikit. Sedikit saja. Tetapi cukup membuatku bernostalgia.
Jarang sekali kami bisa berkumpul, duduk, bercerita, dan membuat percakapan yang santai seperti siang ini. Biasanya, setiap kali ia mengajakku berbicara, selalu dalam intonasi yang kaku, serius. Menegaskan posisinya sebagai orang tua dan aku sebagai anak. Anak pertama yang ia tanggungkan padanya tanggung jawab dan harapan. Anak pertama, yang selama ini selalu membuat kontradiksi. Hasil dari mimpi-mimpinya sendiri dan tuntutan dari pihak-pihak lainnya.
Jika sudah dalam kondisi seperti ini, hubungan kami sama sekali tak demokratis. Berjalan satu arah. Dari Bapak ke anak. Segala sanggahan, bantahan adalah haram hukumnya, dan segala sabda adalah wajib adanya. Aku memahaminya, dan menerima kondisi itu sepenuhnya.
Dalam beberapa hal, kami punya nilai-nilai berkeluarga yang memang struktural. Orang yang lebih tua harus dihormati sepenuhnya. Harus diikuti sepenuhnya.
Hanya, kadang-kadang, jiwa muda dan emosi yang membuncah, membuatku sesekali membantah. Mungkin sanggahanku akan lebih realistis dan logis, tetapi dalam situasi ini menjadi tidak tepat. Benar tapi tak tepat.
Biasanya, Bapak akan diam jika aku sudah begitu. Membuat suasana semakin rikuh dan tegang. Sedetik kemudian, aku akan menyadari kesalahanku, dan hanya bisa menyesalinya. Bahkan untuk menyampaikan maaf pun tak lagi sanggup. Kami sama-sama diam. Aku menyimpan penyesalan, Bapak menyimpan kekesalan.
Hening. Sunyi. Tetapi sangat menyiksa. Seakan duri-duri tajam ditusukkan pelan-pelan ke setiap inci kulitku.
Di lain waktu, kami juga bisa menjadi keluarga yang hangat. Mengisi waktu dengan cerita-cerita, tertawa bersama, bermain bersama, hanya tak pernah brewisata bersama. Satu-satunya wisata yang kami lakukan adalah berkunjung ke keluarga yang ada di luar kota. Atau sesekali ketika ada ziarah wali. Selebihnya, hidup kami berada di rumah. Tentu saja kecuali aku.
Tak terasa, lebih sudah tiga jam kami duduk bersama di ruang dapur ini. Ia mengenakan kaus tipis warna putih dan sarung, masih menceritakan kisah-kisah. Di depannya, dalam sebuah jarak, ibu mendengarkan sambil tangannya sibuk mengaduk irisan tipis pisang yang sedang berenang di dalam minyak penggorengan.
Agak ke kanan, duduk di sebuah ambin tempat barang-barang dapur diletakkan, kakak sepupuku turut menikmati kisah-kisah yang bertebaran sembari sesekali tertawa dan menimpali jika ada cerita yang terlewatkan. Aku, bersandar di pintu dapur, mendengarkan dengan perasaan yang tak bisa kujelaskan.
Sambil ingatanku melayang pada masa-masa yang samar-samar kuingat. Ketika setiap pagi, aku diajaknya ke sekolahan tempat Bapak mengajar. Sesekali diajak jalan-jalan atau membeli jajan oleh beberapa siswanya. Masa, ketika setiap kali aku menangis, menemukan diriku sendirian di rumah, atau ketika ada hal tak mengenakkan yang entah apa menimpaku, aku meneriakkan kata Bapak, berkali–kali, lagi, lagi dan lagi dan tak akan berheneti sebelum Bapak datang menggendongku, atau aku tertidur dalam tangisku.
Pria itu, Bapakku, diusianya yang belum genap enam puluh tahun, harus sudah membatasi dunianya. Kehilangan separuh tenaganya. Dan berpuas diri dengan sepeda ontel tua yang beberapa waktu dipinjamkan padanya, sebagai satu-satunya hiburan yang kuharap, mampu kembali menghidupkan semangat itu, tawa itu dan sorot mata itu.
Oleh : Fathur M Rohman
Cerpenis dan pegiat literasi asal Kediri. Lahir Februari 1994 lalu dan sekarang tinggal di Surabaya