Aku ingin pulang. Aku ingin melihat lagi rumah kayu tua itu. Rumah kayu berdinding bambu yang hingga kini tak pernah lekang digerus waktu.
Betapa rumah itu telah memberi begitu banyak warna indah, pada tiap lapis masa kecil kami. Aku, adikku serta kakak sepupu kami. Bertiga kami melewati masa-masa indah di sana. Seandainya tiap lapis kenangan itupun dikupas dan dibuang, maka ingatan akan masa kecil di rumah kayu takkan pernah habis. Seperti udara yang terus mengisi rongga paru kami.
Seperti sebuah permen manis yang tak akan pernah habis rasa manisnya meski terus menerus dihisap. Seperti sebuah batu berkilau yang akan tersimpan dalam ceruk masa lalu kami yang permanen. Untuk kemudian seiring dengan berlalunya waktu, batu itu akan terus kami asah hingga menjadi berlian yang makin berkilau dan terus bersinar dalam hidup kami. Masa kecil di rumah kayu seperti titik tumpu dalam timbangan kehidupan kami. Yang membawa kami pada satu titik keseimbangan kala kami merasa goyah. Kadang saat penat, rumah kayu dan segala kenangannya seolah mampu menghadirkan kembali kesejukan dan energi baru dalam hidup kami.
Aku tak akan pernah lupa, ketika pagi mulai menyapa dan sinar matahari masuk melalui celah-celah dinding bambu, maka itu berarti kami akan memulai hari yang menyenangkan. Menemukan telur-telur ayam dalam kuali (sejenis periuk dari tanah liat), menertawakan katak yang terperangkap dalam lumpang batu di belakang rumah, hingga bermain di sungai.
Aku juga suka sekali mengamati asap yang membumbung dari tungku batu di dapur saat nenek memasak. Asap itu akan terus terbang melesat ke atas, lurus menerobos genteng kaca dapur tepat di atas tungku. Putih dan sesekali ditingkah titik-titik biru dan merah. Seumpama jalan sutra yang menuju ke arah langit. Jauh…..jauh sekali hingga tak jelas lagi ujungnya.
Tak hanya itu. Jika tiba musim bertelur bagi ayam-ayam, maka kakek dengan sabar akan mempersiapkan kuali yang telah dialasi kain-kain perca untuk tempat ayam mengerami telur-telurnya. Kakek juga begitu telaten membersihkan kandang, memandikan ayam-ayam hingga menggiring mereka masuk kandang kembali kala petang menjelang.
Jika malam tiba, kakek akan bersantai sambil mendengarkan radio transistor. Tak lupa dengan balutan jaket hijau tua ala tentara, yang sudah mulai pudar warnanya dan lepas satu kancingnya. Kakek sering bercerita jika jaket itu telah menemani perjalanan kakek selama masa perjuangan. Sepanjang malam radio itu akan terus didekap kakek sambil dielus hingga terkantuk-kantuk. Kakek dan jaket tuanya serta radio yang tak jelas lagi suaranya.
Pemandangan malam yang tak mungkin hilang terlindas waktu. Dan belum lagi setengah perjalanan acara siaran, Kakek selalu tertidur. Begitu pulas. Sementara radio tuanya masih saja mengumandangkan kemerasak siaran pedesaan RRI. Nafasnya naik turun. Pelan dan berat. Semakin lama semakin panjang. Nafas Kakek beradu dengan suara radio. Memecah sunyi membelah dingin. Membelah pekat malam.