Belakangan aku Lelah mendengarkan orang-orang mengeluhkan tingginya biaya masuk kuliah. Di warung, di pasar, di rumah nasabah, dan bahkan di rumahku ketika aku menyalakan televisi. Aku heran mengapa mereka ngotot sekali berkuliah kalau memang tak mampu. Apa dengan berkuliah akan memperbaiki hidup orang-orang?
Lima tahun lalu, ketika masih bekerja di salah satu Bank plat merah, aku memiliki seorang teman yang bisa dibilang tak berguna. Kami semua tahu dia pintar dan merupakan lulusan kampus ternama, tapi kepintarannya sama sekali tak berkontribusi bagi pekerjaan kami.
Suatu hari dia berkata padaku, “Negara ini tidak butuh pemikir. Perusahaan lebih suka orang yang bisa melaksanakan perintah daripada sekadar berpikir,” dan itu adalah obrolan berat pertamaku dengannya, setelah sekian lama aku ikut-ikutan mengucilkannya.
Asih masuk ke kantor kami pada pertengahan bulan puasa tahun 2016. Kami mengucilkannya ketika tahu dia adalah sarjana di antara para lulusan SMA. Hal-hal kecil begitu ternyata menjadi bahan persaingan di antara kacung-kacung di lapangan seperti kami. Sebagai karyawan lama, aku dan beberapa Sales lain mendapat tugas untuk mengajarinya cara mendapatkan nasabah, melakukan pembinaan dan pekerjaan lainnya. Semua sales yang bertugas membimbingnya kewalahan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, sehingga ketika istirahat tiba, kami meninggalkannya di mess untuk pergi ke warung makan Bu Tri, menjadi markas besar Sales area Bangilan.
“Hari ini siapa yang diikuti anak baru?” Daripada sekadar pertanyaan, ini lebih cocok disebut sebagai kunci pembuka bahan obrolan. Sejak beberapa waktu lalu, tema pembicaraan kami selalu sama. Asih.
“Aku. Capek banget jawab pertanyaannya. Ini ditanyain kenapa, itu ditanyain kenapa. Kayak dia nggak paham kalau itu udah aturannya begitu.”
“Sama. Pas ikut aku juga begitu. Ribet banget. Apa-apa harus ada penjelasannya.”
Sebetulnya jika dipikir-pikir lagi, pertanyaan yang diajukan Asih kala itu adalah hal yang wajar, tapi karena kami terlanjur menganggapnya saingan, maka itu terdengar intimidatif. Bukan saja para sales lapangan yang merasa demikian, bahkan manajer kami pun merasa terintimidasi. Belum ada 3 bulan Asih bekerja, ia sudah mengajukan protes terkait gaji kepada Manajer. Dia bilang bahwa gaji yang diterima tak sama dengan kontrak yang ditandatangani. Hal itu lantas memantik api perselisihan yang abunya memercik kemana-mana, tak terkecuali para sales. Kami semua harus menanggung dengan mendengarkan ceramah satu jam penuh akibat ulah Asih.
“Begini ya, teman-teman. Kalian boleh protes soal gaji setelah kerja kalian itu kelihatan hasilnya. Makanya banyak kerja, jangan banyak protes aja,” ucap manajer kami dengan nada menyindir. Kami semua paham kemana arah sindiran itu ditujukan.
Tidak ada yang menyangka bahwa jam pulang kami akan lebih mundur, karena Asih menanggapi apa yang dikatakan Manajer dalam meeting sore.
“Apa saya boleh izin ngomong?”
“Boleh. Monggo.”
“Daripada dibilang protes, saya lebih suka menyebut itu pertanyaan. Saya kira nggak perlu diam-diam soal gaji, karena pekerjaan yang saya lakukan sama dengan teman-teman. Ketika diterima kerja dulu, saya menandatangani kontrak dengan gaji 1,7 juta, tapi nominal yang saya terima ternyata tidak sesuai dengan kontrak yang saya tandatangani. Tidak ada slip gaji yang diberikan, jumlah masuk tidak sesuai, dan itu di bawah UMR Kabupaten Tuban. Sehingga saya menanyakan, mengapa demikian? Alih-alih menyebut protes, saya lebih suka diberi penjelasan.”
“Ya memang gaji di Kecamatan Bangilan berbeda dengan kecamatan lain, Mbak. Kamu harus paham itu.”
“Kenapa begitu?”
Sore itu kami semua geregetan dengan ulah Asih. Berkatnya kami harus selesai meeting tepat sebelum adzan isya’. Belum lagi kami semua harus berebut kamar mandi sebelum tulang-tulang kami menggigil, karena mandi terlalu malam. Apa yang dilakukan Asih saat itu? Dia membuka laptop dan membuat aduan kepada Disnaker Kabupaten Tuban. Itu membuat dongkol hati semua sales yang tinggal di mess Bangilan. Kami mendiamkannya selama beberapa hari, sebelum kami menerima gaji di tanggal 25.
Pagi itu kami semua kaget menerima sms dari m-banking. Gaji yang biasanya kami terima sejumlah 1,4 juta naik menjadi 1,7 juta. Manajer baru, setelah manajer lama dimutasi akibat perselisihannya dengan Asih, menjelaskan bahwa adanya protes membuat kantor pusat akhirnya memeriksa kesalahan data di lapangan. Sales di area Bangilan menerima gaji 1,4juta karena ada kesalahan dalam penginputan data daerah. Rupanya, area Bangilan tercatat masuk di Kabupaten Bojonegoro, bukannya Kabupaten Tuban. Itu kali pertama aku tahu bahwa di Bojonegoro ada juga daerah bernama Bangilan. Antara malu dan merasa berterima kasih, kami mengajak ngobrol kembali Asih.
Meski begitu, di antara sales lain kinerja Asih lah yang paling buruk. Pembinaan sentra yang dia lakukan memakan waktu yang lebih lama, karena ia benar-benar memeriksa usaha nasabah dan membacakan akad dengan jelas. Kami tidak melakukannya, karena ada terlalu banyak sentra yang harus dibina dan tugas lain yang harus dilakukan.
Penambahan jumlah nasabahnya juga tergolong paling kecil, karena dia benar-benar melakukan survei daripada sekadar menambah nasabah dan membuat sentra baru. Yang paling menyebalkan adalah nasabah menunggaknya bertambah, karena dia tak tega menagih dengan ancaman. Yang dilakukan hanya bernegosiasi dengan nasabah bandel, padahal kami semua paham bahwa itu adalah akal-akalan nasabah berwatak buruk yang tak mau bayar hutang.
Asih adalah manusia paling buruk dalam memahami karakter manusia. Ia selalu bisa terkecoh dengan cerita sedih, lalu pulang dengan memberikan kelonggaran pada nasabah bandel. Ia juga paling bisa dibohongi dengan dalih menurunnya omset nasabah, padahal semua sales lain tahu bahwa para nasabah itu lebih mengutamakan cicilan di bank lain, karena petugasnya yang lebih kejam. Asih tidak bisa membentak atau berdebat, tapi dia bisa mendengarkan keluh-kesah nasabah sepanjang hari.
Sebagai manusia, kami mengakui bahwa Asih paling manusiawi di antara kami semua. Namun sebagai sales, dia adalah beban bagi kami. Betapa tidak, kami terpaksa mengambil alih tugas penagihan miliknya, supaya nasabah mau mengusahakan membayar. Belum lagi jumlah kenaikan nasabah barunya tak banyak, sehingga target masing-masing sales bertambah. Kami semua membenci, tapi juga berhutang budi padanya.
Suatu sore aku melihatnya pergi ke arah persawahan di Desa Ngrojo. Jam kerja memang sudah habis, tapi kami semua masih harus bekerja sampai manajer kami menyuruh para sales kembali ke mess untuk meeting sore. Dia berhenti di pinggir jalan, memarkirkan motornya, dan berteduh di bawah pohon asem. Kupikir dia akan tidur, sebagaimana sales lain memilih musala untuk mencuri waktu tidur. Dia mengeluarkan buku dari dalam tasnya dan membaca. Ini juga sering dilakukan saat sales lain mempersiapkan dokumen nasabah di malam hari. Dia memilih beristirahat atau membaca buku.
Waktu itu kami mengira bahwa mungkin saja dia kaya, untuk itu tak butuh insentif. Mungkin saja dia keturunan sultan, yang tak takut jika dikenakan sanksi. Ketika dinasehati oleh salah satu sales, dia dengan santai menjawab, “perusahaan menggaji untuk kerjaku dari jam 08.00 sampai jam 16.30. Lagi pula besok juga masih ada hari.” Siapa yang tak marah mendengar jawaban seperti itu? Kami semua marah meski tahu bahwa itu benar.
Suatu hari Asih kembali terlihat mengendarai motor ke arah Ngrojo. Aku membuntutinya dari belakang, berniat hendak melaporkannya pada manajer, tapi dia tiba-tiba berhenti pada seorang kakek yang berjalan di area persawahan dan berakhir mengetahui bahwa aku di belakangnya. Niat burukku untuk membuntutinya gagal ketika dia tiba-tiba memanggilku. Mampus aku!
“Siti! Bantuin nganter mbah ini ke sana dong!” pintanya separuh berteriak, karena anginnya kencang.
Area persawahan Ngrojo adalah yang terpanjang setelah desa Tawun. Persawahan yang panjang itu dibelah oleh jalan raya yang kami lewati saat itu. Di sepanjang persawahan ini memang tidak ada rumah, tidak ada kendaraan umum lewat, atau gubug untuk berteduh. Kakek yang dicegat Asih ini sudah amat tua, berjalan dengan sandal, dan pakaiannya terlihat lusuh. Sebetulnya itu pemandangan yang wajar, karena di lingkungan persawahan, banyak buruh tani pulang setelah seharian bekerja. Tapi kakek itu berjalan kaki dan aku paham kenapa Asih menawarkan diri untuk mengantarkan.
Aku membantu kakek itu naik di motor Asih, karena tampaknya si kakek tak pernah naik motor. Tubuhnya kaku sekali ketika diminta naik dan terlihat amat canggung. Giginya sudah ompong, untuk itu kami memaklumi jika bicaranya tidak jelas dan juga tidak nyambung. Mungkin pendengarannya memburuk, mungkin juga pikun, atau bisa jadi keduanya.
Aku hampir tertawa ketika hendak membantu kakek itu naik ke atas motor. Dia tiba-tiba melepas sandalnya, tapi rasa geli itu kutahan, karena takut tak sopan. Lha, ngapain dilepas segala?
Ketika sandal jepit itu dilepas, aku melihat telapak kakinya tebal sekali, kapalan. Kuku-kukunya panjang, tak terawat. Membuatku ikut prihatin.
“Diantar ke mana, Mbah?” tanya Asih.
Kakek itu hanya menunjuk arah menuju jalan raya Bangilan-Senori. Aku naik motor di belakang mereka sembari memastikan bahwa kakek itu tak jatuh. Siapa tahu karena tak pernah naik motor, kakek itu tiba-tiba loncat atau kaget dan jatuh. Sejujurnya aku agak takut dia pingsan sebelum sampai, karena telah berjalan jauh.
Begitu sampai perkampungan, beberapa orang melihat kami dan berteriak tak jelas. Aku bingung dan sejujurnya ada perasaan was-was. Takut apabila disangka menculik si kakek. Lagian, Asih aneh-aneh saja menolong orang yang nggak dikenal. Kusalip Asih sambil bilang, “heh! Cepetan, takut dikira mau culik orang!”
“Oh, oke oke.” Asih tancap gas lebih kencang.
Kami kembali menanyai si Mbah, “rumahnya sebelah mana, Mbah?” Kakek itu masih menunjuk arah lurus, sehingga kami mengikuti saja. Sampai di pertigaan, aku menyarankan Asih untuk bertanya kepada warga sekitar, karena sepertinya si Mbah juga lupa alamat rumahnya.
Kami berhenti di pangkalan ojek untuk bertanya. Namun ada yang aneh dari tatapan orang-orang di sana. Mereka semua tertawa melihat kami. Entah karena ingin menggoda kami sebagaimana yang dilakukan pada perempuan yang lewat atau karena ada sesuatu yang lain.
“Permisi, mau tanya. Pak, apa ada yang tahu alamat mbah ini? Dari tadi berjalan di sawah-sawah.”
Salah satu dari bapak-bapak di pengkolan ojek itu menjawab, “mbak, itu tuh orang gila. Ngapain sampeyan boncengin? Kerjaannya tuh jalan ke sana-sini.” Mereka semua tertawa melihat kami.
Asih menatapku dengan raut mukanya yang bete. Aku pun demikian. Jadi, itulah alasan orang-orang di jalan meneriaki kami. Sales mana yang dengan bodohnya memberikan tumpangan kepada orang gila, kalau bukan kami? Lagi pula, kenapa juga aku berpikir bahwa orang akan mengira kami menculik orang tua. Jika pun dijual sebagai buruh juga tak akan mampu bekerja. Apalagi jika dijual organnya, pasti sudah banyak yang tak berfungsi maksimal. Memikirkannya saja membuatku ingin tertawa.
Akhirnya aku dan Asih memutuskan membeli es di warung pinggir jalan sambil melihat orang gila tadi berjalan, dari Ngrojo ke arah Senori. Keseluruhan hariku yang menyebalkan akibat nasabah menunggak rasanya tak ada apa-apanya dibanding rasa malu yang harus ditanggung Asih. Aku berniat menertawakannya, tapi tidak jadi.
Pertanyaannya padaku sore itu adalah salah satu yang membuatku ingin memukulnya sekaligus hormat padanya.
“Kira-kira kenapa dia bisa gila ya?” tanyanya masih sembari melihat orang gila itu berjalan ke arah senori.
“Mana aku tahu! Lagian, ngapain sih pakai acara boncengin orang segala?” Pertanyaan retoris yang tak memerlukan jawaban.
“Mungkin berjalan itu membantunya mengatasi rasa sakit atau menenangkan kecamuk di pikirannya.” Matanya belum lepas dari kakek tadi. Aku tak paham apakah itu ekspresi terpukul atau ekspresi keheranan. Meski begitu, aku tidak yakin Asih bicara padaku, tapi karena hanya ada aku di situ, maka kuladenin obrolan itu sekenanya.
“Terus?”
“Aktivitas fisik biasanya bisa membantu mengurangi aktivitas otak. Ada beberapa kondisi yang dialami manusia sehingga nggak bisa bedain sakit mental dan sakit fisik.”
“Terus?”
“Dia udah makan belum ya?”
“Bentar! Kenapa tiba-tiba jadi bahas makan?”
“Jalan kan juga butuh tenaga.” Asih menoleh kearahku, lalu menyeruput es dalam plastic yang dipegangnya.
Sejak saat itu aku selalu mengikuti Asih. Mendengarkannya bicara soal hal-hal yang lebih sering tak kupahami. Kadang-kadang kutanya, kenapa orang sepintar dia tak bekerja di tempat yang lebih layak dan mendapatkan gaji yang lebih layak.
“Negara ini tidak butuh pemikir. Perusahaan lebih suka orang yang bisa melaksanakan perintah daripada sekadar berpikir. Aku punya riwayat terlibat demo di kampus dan masuk catatan polisi.”
“Bentar! Kamu pernah ditahan?”
“Nggah sih. Ditahan kok terdengar kriminil banget. Cuma pernah ditangkap dan nginep beberapa jam di kantor polisi aja.”
“Karena demo?”
“Karena demo.”
“Kamu ngapain sih demo segala?”
“Kalau bukan aku dan kawan-kawan yang demo, siapa yang bakal memperjuangkan kesejahteraan buruh dan hak-hak mereka yang dirampas oleh perusahaan? Kita bukan sapi yang digiring ke sawah untuk bekerja dan dipecuti. Bahkan sapi aja harus dikasih makan supaya bisa bekerja. Tapi manusia bukan sapi. Kebutuhannya lebih dari sekadar pangan dan papan. Kita butuh akses untuk pendidikan, gaji yang layak, hak untuk cuti, jaminan kesehatan, dan banyak lainnya.”
Dia bicara dengan sangat serius. “Harus ada intelektual penggerak yang memperjuangkan nasib mereka dan berdiri melampaui kelompoknya sendiri. Dan itu semua harus diperjuangkan, Sit.”
Dari bicara soal membangun kesadaran kelas sampai dengan menghancurkan dominasi, aku benar-benar tak bisa mencerna apa yang dikatakannya. Siapa nama-nama yang disebut pun aku tak tahu. Tapi rasa kagumku pada Asih selalu tak berlangsung lama. Ketika kembali ke mess, aku akan kembali pada pengetahuan umum kalau dia adalah manusia paling tidak berguna. Hanya dia yang tidak tahu cara mengganti tabung gas dan memperbaiki mesin fotokopi yang macet. Dia juga satu-satunya sales yang tidak bisa bicara menggunakan kromo inggil, sehingga perlu bantuan kami untuk menerjemahkan maksud nasabah. Jika musim pencairan tiba dan kami harus menghitung uang nasabah tepat di depan mereka, Asih adalah satu-satunya yang paling lama. Dia tak bisa menghitung uang dengan teknik 5 jari, sehingga kami harus rela menunggu atau mengambil alih tugasnya. Tak jarang aku mendengar sales lain mengejeknya, “apa gunanya pintar dan lulusan kampus bagus, kalau kerja saja tak becus!”
Aku jadi mempertanyakan, apakah anak-anak pintar yang berkuliah di kampus-kampus ternama itu sama tak becus bekerja seperti Asih? Atau memang cuma Asih saja? Kadang-kadang aku melihatnya berkutat dengan stempel begitu lama, ternyata karena tak mengerti pengetahuan sederhana untuk mengisi tinta atau membuka tutup galon dengan kunci. Pendidikan tersier rupanya tak menjamin manusia bisa menguasai basic skill untuk bertahan hidup. (Chusnul Chotimmah)
Penulis adalah Tendik UNAIR dan Mahasiswa S3 Ilmu Sosial kelahiran Bojonegoro, tinggal di Surabaya