Belakangan ini, Tiwul binti Mardijoyo sering uring-uringan. Pasalnya, perilaku suaminya, Didin Subaidin, berubah drastis. Perubahan itu dirasakan setelah sekitar satu tahun suaminya menjabat sebagai anggota Badan Perwakilan Desa (BPD), wakil rakyat tingkat desa.
Didin Subaidin, sering pulang larut malam. Tak jarang, subuh baru tiba di rumah. Setiapkali ditanya, alasannya selalu sama, urusan kerja. Lebih menjengkelkan, jarang sekali Didin memberi tahu terlebih dahulu, apalagi minta ijin pada istrinya sebelum pergi. Intensitas keluar kota juga meningkat. Alasannnya kunjungan kerja alias kunker.
”Mami sayang…. Kerja politik itu 24 jam. Ndak kayak kerja kantoran bisa pergi pagi pulang siang atau sore,” jawab Didin sambil merangkul mesra istrinya. “Soyang sayang…Sayangmu palsu!” jawab Tiwul ketus sembari menghindari pelukan. Didin hanya tersenyum meringis. Seperti anak kecil, ia membuntuti kemanapun sang istri melangkah.
Ujung-ujungnya, Didin Subaidin bersimpuh di depan istrinya dan minta maaf. Tak butuh waktu lama, kemarahan Tiwul lumer. Indikatornya, sang istri menawarkan secangkir kopi. Didin sangat fasih menerapkan formula “Lebih baik minta maaf daripada minta ijin” untuk kasus seperti ini.
*
Tiwul, puteri tunggal juragan Mardijoyo. Orang terkaya di Desa Bengawan, dan orang pertama di desa itu yang sudah berhaji. Karena itu, dikenal juga dengan sebutan Wakaji. Kekayaannya berasal dari bisnis tembakau, mini market dan juga sebagai tuan tanah. Jejaringnya sangat luas, di pemerintahan maupun di lembaga wakil rakyat.
Perawakannya tinggi besar. Wajah dihiasi cambang. Kumisnya lebat. Penampilannya semakin “sangar” dengan gelang akar bahar hitam melingkar di kedua lengannya. “Like father like daughter”, perawakan Tiwul seperti bapaknya. Badannya besar, cenderung bongsor dan subur. Berkulit sawo matang. Rambut hitam keriting. Sebagian dicat merah merona. Penampilannya sangat membahana. Kalung emas, gelang dan cincin berlian tak pernah lepas dari tubuhnya. Mirip etalase berjalan.
Didin Subaidin sebaliknya. Terlahir dari keluarga “pas-pasan” secara sosial ekonomi. Bapaknya bekerja untuk keluarga Wakaji. Ibunya pun demikian. Didin sejak kecil sering diajak pergi ke rumah tersebut. Wakaji pun tak keberatan. Kebetulan, usianya sebaya dengan Tiwul. Jadi, Didin diminta menemani anaknya bermain.
Didin pandai bersikap dan pintar mengambil simpati. Ia sering membantu pekerjaan rumah tangga. Menyiram tanaman, potong rumput, cuci mobil dan sebagainya jadi santapan sehari-hari. Sikap ulet dan kemauan keras untuk maju, menumbuhkan simpati tersendiri di mata Wakaji. Selepas SMA, Wakaji mendorongnya melanjutkan kuliah. Seluruh biayanya ditanggung.
Tiwul justru enggan melanjutkan kuliah. Selain daya nalarnya agak “lemot”, ia lebih tertarik menekuni bisnis. Wakaji pun tidak memaksa anak tunggalnya itu melanjutkan kuliah. Selepas SMA, Tiwul diberi tugas menjalankan usaha mini market. Kecakapan menjalankan usaha diwarisi dari ibunya, Marpuah Indiharti.
“Witing tresno jalaran soko kulino”, begitu pepatah Jawa menggambarkan perasaan cinta yang tumbuh senyampang dengan intensitas interaksi dalam kehidupan sehari-hari. Menginjak dewasa, benih-benih cinta tumbuh dalam hati Tiwul. Didin Subaidin semula tak merasakannya. Namun, lama kelamaan, rasa itu bersambut.
Hanya, Didin Subaidin tak kuasa mengungkapkannya. Perbedaan stratifikasi sosial membuat keberaniannya membeku. Namun, Wakaji sebagai orang tua, membaca tanda-tanda itu. Hingga pada akhirnya setelah sering di “ceng-cengin”, Tiwul “curhat” kepada bapaknya tentang perasaannya terhadap Didin Subaidin. “Abah, aku hanya mau nikah sama mas Didin,” kata Tiwul merajuk manja. Wakaji pun hanya tersenyum sembari mengelus-elus kepala anak gadisnya.
Setelah Didin lulus kuliah, mereka pun menikah. Semasa kuliah, Didin sempat melirik wanita lain. Namun, hutang budi dan juga rasa cinta, meskipun tidak 100% kadarnya, membuat Didin tak punya kuasa menolak permintaan Wakaji. Bapaknya ibunya juga menganggap sebagai kehormatan. Apalagi Wakaji menanggung semua biaya. Betul-betul bermodal dengkul!
**
Ijazah sarjana ternyata tidak membuat mudah mencari kerja. Setelah cukup lama menganggur, Wakaji mendorong Didin “nyalon” BPD. Setidaknya, jadi wakil rakyat akan bagus buat status sosial. Wakaji juga menggelontorkan dana untuk biaya politik. Mulai dari sewa konsultan, survey dan pencitraan profil politik. Biaya kampanye, dan tidak lupa, ratusan “amplop” telah disiapkan buat pemilih. Tak heran, meski pendatang baru di arena politik, Didin Subaidin, terpilih dengan suara terbanyak.
Didin mulai kenal dekat dengan wakil rakyat lainnya, seperti Bamin, Widodo, Malik dan Andes. Status sosial yang berubah dan pergaulan dilingkaran elite tersebut, berpengaruh pada Didin Subaidin. Ia bukan lagi pemuda desa lugu sebagaimana dulu sebelum jadi wakil rakyat.
Didin pun berkenalan dengan hiburan malam, dunia cafe dan sejenisnya. Andes dan Bamin, yang selalu membawa gelang mirip tasbih, paling rajin mengajak Didin keluar malam. Lama-kelamaan, Didin pun ketagihan dan menjadikannya sebagai gaya hidup.
Dari para wakil rakyat yang lebih dulu menjabat itu, Didin belajar cara mendapatkan “uang sampingan”, komisi dan sejenisnya dari proyek-proyek pemerintah atau mengatasnamakan konstituen dengan istilah jaring asmara (menjaring aspirasi masyarakat). Akhirnya, Didin punya kemandirian finansial. Tak lagi tergantung pada subsidi mertuanya. Ia pun sangat royal kepada teman-teman dekatnya.
Pada salah satu acara peresmian proyek, Didin berkenalan dengan Mustikatul Qosidah. Biduan muda dengan nama panggung Mustika. Penyanyi jebolan akademi dangdut itu sangat populer, cantik, luwes dan selalu tampil “aduhai” dalam setiap kesempatan. Saat itu, Mustika diundang untuk mengisi sesi hiburan di peresmian tersebut.
Bermula dari kenalan, saling kirim emoji, curhat dan sebagainya, akhirnya hati dan perasaan Didin Subaidin luluhlantak! Ia pun sangat royal pada biduan muda itu. Beragam hadiah mengalir ke tangan sang biduan, mulai dari tas dan jam tangan mewah, perhiasan, tiket perjalanan dan sebagainya.
Perlahan-lahan, Didin melupakan istrinya. Dimatanya, Tiwul terlihat “so yesterday”, penampilan “jadul”, tak terlihat “modern” seperti Mustikatul Qosidah. Kehidupan rumah tangga Didin dan Tiwul pun mulai memanas. Kali ini, Didin berani bersikap beda setiapkali bertengkar dengan istrinya. Ia tidak lagi “mengkeret” seperti dahulu. Tiwul mencium aroma tak sedap. Ia pun tidak tinggal diam. Atas saran dari berbagai pihak, Tiwul mendatangi “orang pinter” bernama Ki Gito Citro Parto.
“Hmm…..Dek Tiwul, dikau harus rajin poles penampilan. Rambut dibikin model kekinian. Jangan pake baju kedonbrangan.. Dan resep terakhir, nanti bawa air dari Aak Gito buat diminum suaminya,” kata Ki Gito, sangat “pede” menyebut dirinya Aak. Suaranya serak agar terlihat berwibawa, Namun tetap tidak bisa menutupi kegenitannya. Sorot matanya menyapu seluruh tubuh Tiwul, sembari mengusap kumis tipisnya yang mirip kumis kucing.
*
Hari berganti, minggu berlalu dan bulan berubah, Didin tetap tidak berubah. Bahkan jika ditegur, Didin semakin berani melawan. Ia mulai jarang pulang ke rumah. Rasa pedih dan luka menyelimuti hati Tiwul. Ia pun beberapakali pergi ke rumah Ki Gito untuk berkonsultasi. Terakhir kali, Tiwul diberi segalon air.
Namun, perubahan yang diharapkan tak kunjung datang. Puncak kesabaran Tiwul pun habis sudah! Saat kejengkelannya memuncah, air dari Ki Gito, diminumnya sendiri.
Selepas itu, lama kelamaan, Tiwul merasakan luka hatinya sembuh. Perasaan terhadap suaminya menjadi tawar, tanpa emosi. Disisi lain, ia merasakan keanehan. Kini, hampir setiap waktu, wajah Ki Gito selalu terbayang-bayang. Ia merasakan kegundahan mendalam. Perasaan tersiksa itu baru terobati manakala bertemu dengan Ki Gito Citro Parto. Lelaki setengah baya itu pun dengan tangan terbuka memberikan sandaran hati buat perempuan muda yang terluka.
Didin Subaidin tidak menyadari perubahan istrinya. Ia masih tetap jumawa dan berlagak seperti “Don Juan”. Hingga pada suatu hari, saat ia pulang ke rumah istrinya, didapatinya pintu pagar tertutup rapat. Kunci yang dibawanya tidak lagi bisa digunakan.
Di pagar tergantung tas punggung miliknya. Perlahan tas itu dibukanya. Isinya berupa barang-barang pribadi yang dibawanya saat menikah dan pindah ke rumah itu. Di kantung depan terdapat secarik kertas dengan tulisan tangan istrinya, “Selamat berpisah dan hidup di jalan masing-masing”.
Didin Subaidin merasa lemas. Tak kuasa berdiri. Ia hanya bisa berjongkok di depan pagar, meratapi nasibnya. Hatinya terasa diiris sembilu. Pedih dan pilu. Istrinya memilih pergi bersama orang lain. Pada saat yang sama, Mustika tak lagi bisa dikontaknya. Biduan muda itu hilang tanpa jejak.
Lengkap sudah derita dan nestapa Subaidin. Di hari itu, Dewan Kehormatan BPD memberhentikannya sebagai wakil rakyat dengan tuduhan pelanggaran etik. Ia tak menyangka karena anggota dewan kehormatan itu terdiri dari orang-orang yang dikenalnya, seperti Bamin dan Andes. Didin tak menyadari, dibalik keputusan itu, tangan-tangan Wakaji bekerja dengan sigapnya! (Ichwan Arifin)
Port Moresby, July 2024
Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Penulis opini dan cerpen. Tinggal di Port Moresby, PNG. Kumpulan cerpen yang sudah diterbitkan, “Darah Juang: Ode untuk Alexandra”.