Rina menatap kosong ke luar jendela kereta. Pemandangan berubah cepat di hadapannya, namun pikirannya jauh menerawang. Sudah hampir sebulan ia meninggalkan Jakarta, melarikan diri dari kenyataan yang menghancurkan dunianya.
Suaminya, Adi, telah pergi selamanya. Namun bukan hanya kematiannya yang meninggalkan luka, melainkan rahasia yang terkuak setelahnya. Perselingkuhan. Sebuah kata yang tak pernah ia sangka akan mewarnai kisah cintanya.
Kereta melaju menembus perbatasan negara. Rina, 35 tahun, memilih perjalanan panjang ini untuk melupakan semuanya. Namun, semakin jauh ia pergi, semakin dekat ia dengan kenangan.
Setiap stasiun yang disinggahi mengingatkannya pada ayahnya. Sosok pria yang selalu setia, mencintai dengan tulus hingga akhir hayatnya. Betapa ia merindukan pelukan hangat sang ayah saat ini.
Di Paris, Rina menghabiskan waktu di Café de Flore. Aroma kopi yang menguar mengingatkannya akan pagi-pagi di rumah, saat ayahnya menyeduh kopi hitam favoritnya. Ia ingat bagaimana ayahnya selalu bangun pagi-pagi sekali, bahkan di hari libur, hanya untuk memastikan secangkir kopi hangat sudah tersedia saat Rina terbangun.
“Kopi ini, Nak,” kata ayahnya dulu, “bukan hanya tentang rasa. Tapi tentang meluangkan waktu untuk diri sendiri dan orang-orang yang kita cintai.”
Rina menyesap kopinya perlahan, membiarkan kenangan itu memenuhi benaknya.
Dari jendela kafe, ia bisa melihat orang-orang berlalu lalang di trotoar. Seorang ayah menggendong putri kecilnya di pundak, tertawa riang. Pemandangan itu membawanya kembali ke masa kecil, saat ayahnya membawanya ke Taman Impian Jaya Ancol setiap ulang tahunnya.
“Lihat, Rina! Itu Istana Boneka!” seru ayahnya dengan antusias yang sama setiap tahun, seolah-olah itu adalah kali pertama mereka melihatnya.
Air mata Rina menggenang. Ia cepat-cepat menghapusnya, takut pelayan kafe melihatnya.
Keesokan harinya, Rina mengunjungi Museum Louvre. Di hadapan lukisan Mona Lisa yang terkenal, ia teringat akan koleksi buku seni ayahnya. Setiap malam Minggu, mereka akan duduk bersama di ruang keluarga, membuka-buka buku-buku itu.
“Lihat, Rina,” kata ayahnya sambil menunjuk reproduksi Mona Lisa di buku, “Lihatlah senyumnya. Apa menurutmu dia bahagia?”
Rina kecil menggeleng. “Dia terlihat sedih, Yah.”
Ayahnya tersenyum. “Itulah keindahan seni, Sayang. Setiap orang bisa melihat sesuatu yang berbeda. Tidak ada yang benar atau salah.”
Kini, berdiri di hadapan lukisan aslinya, Rina masih melihat kesedihan yang sama di mata Mona Lisa. Mungkin karena kini ia sendiri yang membawa kesedihan itu.
Sore harinya, Rina berjalan-jalan di Taman Tuileries. Suara tawa anak-anak yang bermain menggema, mengingatkannya akan piknik keluarga di Kebun Raya Bogor. Ayahnya selalu membawa kamera tua, mengabadikan setiap momen bahagia mereka.
“Ayo tersenyum, Rina!” seru ayahnya dari balik lensa. “Suatu hari nanti, kau akan merindukan saat-saat ini.”
Betapa benarnya kata-kata itu. Kini, jauh dari rumah dan keluarga, Rina merindukan momen-momen sederhana itu lebih dari apapun.
Di sebuah bangku taman, Rina duduk dan mengeluarkan buku sketsa pemberian ayahnya. Ia mulai menggambar pemandangan di hadapannya – pohon-pohon rindang, air mancur yang berkilauan, dan orang-orang yang menikmati sore yang cerah.
“Gambarmu semakin bagus, Nak,” Rina bisa membayangkan ayahnya berkata, seperti yang selalu ia lakukan setiap kali Rina menunjukkan hasil karyanya.
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Rina melanjutkan perjalanannya, dari satu kota ke kota lain. Namun, di setiap tempat yang ia kunjungi, kenangan akan ayahnya selalu mengikuti.
Di Roma, saat ia berdiri di depan Air Mancur Trevi, ia teringat akan cerita ayahnya tentang koin yang dilempar ke dalam air mancur.
“Jika kau melempar satu koin, kau akan kembali ke Roma. Jika dua koin, kau akan jatuh cinta dengan orang Italia. Jika tiga koin, kau akan menikah dengan orang yang kau temui di Roma,” kata ayahnya dulu, membacakan dari buku panduan wisata.
Rina tersenyum pahit. Ia melemparkan satu koin ke dalam air mancur. Bukan untuk kembali ke Roma, tapi untuk kembali ke masa di mana cinta masih terasa sederhana dan tulus, seperti cinta ayahnya.
Di Wina, ia menghabiskan sore di Taman Stadtpark, mendengarkan konser musik klasik outdoor. Ayahnya sangat menyukai musik klasik, terutama karya-karya Mozart.
“Dengarkan, Rina,” kata ayahnya dulu saat mereka mendengarkan Symphony No. 40 di radio tua mereka. “Mozart bisa mengekspresikan seluruh spektrum emosi manusia hanya dengan nada-nada.”
Kini, mendengarkan melodi yang sama di bawah langit Wina, Rina merasa seolah-olah ayahnya ada di sampingnya, mengangguk-anggukkan kepala mengikuti irama musik.
Satu bulan berlalu. Rina masih belum menemukan apa yang ia cari. Kedamaian? Pengampunan? Atau mungkin kekuatan untuk melupakan?
Suatu sore, saat kereta kembali melaju menembus senja, ponselnya bergetar. Sebuah pesan singkat muncul di layar, “Pulanglah”
Satu kata. Namun cukup untuk membuat pertahanannya runtuh. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya tumpah. Isakan lirih lolos dari bibirnya, melebur dengan deru kereta.
Mengapa ia menangis? Rina sendiri tak mengerti. Mungkin karena rindu rumah yang tiba-tiba menyergap. Mungkin karena ia lelah berlari. Atau mungkin, jauh di lubuk hatinya, ia tahu bahwa sudah waktunya untuk menghadapi kenyataan dan memulai lembaran baru.
Rina menghapus air matanya, lalu memandang keluar jendela. Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, mengingatkannya akan kata-kata terakhir ayahnya.
“Rina,” kata ayahnya lemah dari ranjang rumah sakit, “hidup ini seperti matahari terbenam. Kadang indah, kadang menyakitkan karena menandakan berakhirnya satu hari. Tapi ingatlah, setelah malam yang paling gelap sekalipun, matahari akan selalu terbit kembali.”
Besok, ia akan turun di stasiun berikutnya dan membeli tiket pulang. Perjalanan sunyinya telah berakhir. Kini saatnya untuk pulang, menghadapi kenyataan, dan menemukan dirinya kembali. Seperti matahari yang akan terbit esok hari, Rina tahu ia pun akan menemukan awal yang baru.
Jakarta, 1 Desember 2023