Yudha menatap bayangannya di cermin yang retak. Mata lelahnya menyiratkan beban 37 tahun kehidupan. Jemarinya yang kasar menyusuri garis-garis wajahnya, mengikuti alur bekas luka yang telah lama mengering. Setiap goresan, setiap bekas luka, menceritakan kisah pertarungan panjang yang telah ia lalui.
Ia menghela napas panjang, mengisi paru-parunya dengan aroma familiar ruang ganti yang pengap—campuran keringat, liniment, dan harapan yang telah lama pudar. Malam ini adalah malam terakhirnya di atas ring. Sebuah akhir dari perjalanan panjang yang telah membuatnya dikenal sebagai ‘Si Tak Terkalahkan’.
Pikiran Yudha melayang ke masa lalu. Ia ingat hari pertama ia melangkahkan kaki ke gym ini, seorang bocah kurus berusia 17 tahun dengan mimpi setinggi langit. Ia juga ingat saat memasuki ring untuk pertama kali, satu tahun kemudian. Kaki dan tangannya yang mengayun cepat, kepala yang lincah menghindari pukulan. Dan musuhnya yang kemudian terjungkal.
Kini, setelah dua dekade berlalu, ia telah menjadi legenda hidup. Namun, di balik gelar dan kemasyhuran, Yudha merasakan kekosongan yang tak pernah bisa ia jelaskan.
Empat pukulan. Hanya empat pukulan yang dibutuhkan Yudha untuk menjatuhkan lawannya. Satu demi satu, mereka tumbang di hadapannya. Jutaan penonton bersorak, promotor berjubel menawarkan kontrak gemuk, namun Yudha tak pernah merasa puas. Setiap kemenangan hanya membuat lubang di hatinya semakin menganga.
Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. “Lima menit lagi, Champ,” ujar manajernya dari balik pintu. Yudha mengangguk pada kekosongan. Ia bangkit, otot-ototnya yang kekar bergerak di bawah kulit yang mulai menua. Untuk terakhir kalinya, ia mengenakan jubah bertuliskan namanya—jubah yang telah menemaninya dalam ratusan pertarungan.
Langkahnya berat ketika ia menyusuri lorong menuju arena. Sorakan penonton terdengar bagai gemuruh badai di kejauhan. Namun kini, di ambang pertarungan terakhir, Yudha merasakan keraguan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.
Kata-kata itu menghantam Yudha lebih keras dari tinju manapun yang pernah ia terima. Ia melihat ke sekeliling ring, mencari jawaban
Lampu-lampu arena padam. Kegelapan pekat menyelimuti ring. Yudha melangkah maju, mencari sosok lawannya dalam gulita. Keheningan yang mencekam menggantikan hiruk-pikuk penonton. Ia bisa merasakan jantungnya berdegup kencang, menghitung detik-detik menuju konfrontasi final.
Namun yang ia temukan bukanlah lawan yang ia duga. Di sudut ring yang lain, berdiri seorang pemuda. Wajahnya dingin, tatapannya tajam menusuk. Yudha tersentak. Ia mengenali wajah itu. Wajah yang ia lihat setiap hari di cermin, 17 tahun yang lalu.
Pemuda itu adalah dirinya sendiri. Yudha muda, berusia 18 tahun, penuh ambisi dan mimpi yang belum ternoda oleh realita dunia tinju. Mata pemuda itu berkilat-kilat dengan api yang telah lama padam dalam diri Yudha yang sekarang.
“Siapa kau?” tanya Yudha, suaranya bergetar.
“Aku adalah kau,” jawab sosok muda itu. “Kau yang belum kehilangan tujuan. Kau yang masih percaya bahwa tinju adalah seni, bukan hanya cara untuk menghasilkan uang.”
Kata-kata itu menghantam Yudha lebih keras dari tinju manapun yang pernah ia terima. Ia melihat ke sekeliling ring, mencari jawaban, namun yang ia temukan hanyalah kegelapan dan sosok dirinya yang muda.
“Apa yang terjadi pada kita?” tanya sosok muda itu lagi. “Mengapa kita berhenti bermimpi?”
Yudha terdiam. Pertanyaan itu mengoyak selubung kebohongan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun. Ia telah lama berhenti bertarung untuk mimpinya, dan mulai bertarung hanya untuk mempertahankan gelarnya.
Mereka berhadapan. Dua Yudha dari masa yang berbeda. Satu dengan kepalan tangan yang telah merasakan ribuan kemenangan, satu lagi dengan kepalan yang masih haus akan pembuktian.
Ronde pertama dimulai.
Yudha tua mengangkat tinjunya, bersiap untuk empat pukulan mautnya. Namun kali ini, ia tahu. Pertarungan ini bukan melawan lawan di hadapannya. Ini adalah pertarungan melawan dirinya sendiri. Melawan waktu. Melawan usia yang tak bisa ia kalahkan. Melawan penyesalan dan mimpi-mimpi yang telah ia kubur.
Untuk beberapa saat ia ingat pesan kakaknya di ponsel, saat ibu sakit, dan ia justru memilih untuk bertarung di ring.
“Kau bisa mengakhiri dia di satu ronde. Lalu pergilah ke kampung,” kata pelatih tua yang setia menemani perjalannnya.
Dan benar, hanya satu ronde.
Suara penonton menggema mengelukan namanya, hingga Yudha masuk di ruang ganti. Sendiri. Ia menangis, meraung, meringkuk melepas malu. Berkali-kali ia membaca pesan di ponsel, “Ibu meninggal”
Tetapi ia menolak untuk pulang ke kampung, memilih tenggelam dalam pesta kecil di apartemen mewahnya bersama beberapa kolega dan perempuan-perempuan cantik. Ia melupakan jalan berbatu di depan rumah ibu, lalu tenggelam dalam bibir basah tanpa malu.
“Kau keterlaluan. Kau harus pulang!” kata pelatih. Yudha hanya tertawa. Membiarkan perempuan-perempuan yang menggila di leher dan selangkangannya.
Kini, di atas ring itu, untuk pertama kalinya Yudha merasa takut akan kekalahan.
Sosok muda itu melangkah maju, tidak gentar menghadapi reputasi Yudha yang legendaris. “Apakah kau masih ingat mengapa kita mulai bertinju?” tanyanya.
Yudha tersentak. Ingatan masa kecilnya membanjir—ayahnya yang pemabuk, ibunya yang bekerja keras, dan dirinya yang bersumpah untuk mengubah nasib keluarganya. Tinju bukan hanya olahraga baginya; itu adalah jalan keluar, sebuah harapan.
Ketika tinju pertama dilancarkan, Yudha tua terhuyung. Bukan karena kekuatan pukulan itu, tapi karena kekuatan kenangan yang dibangkitkannya. Setiap pukulan yang ia terima dari dirinya yang muda membawanya kembali ke masa lalu—ke saat-saat ia masih bertinju dengan hati, bukan hanya dengan otot.
Pertarungan berlanjut, setiap pukulan adalah sebuah pelajaran, setiap tangkisan adalah sebuah pengingat. Yudha mulai memahami bahwa lawannya bukanlah sosok di hadapannya, melainkan ketakutan dan keraguannya sendiri.
Ketika putaran terakhir hampir berakhir, Yudha tua akhirnya memahami.
Ia menurunkan tinjunya dan menatap mata dirinya yang muda. “Terima kasih,” bisiknya. “Kau telah mengingatkanku pada apa yang benar-benar penting.”
Tepat saat gong terakhir berbunyi, kegelapan mulai memudar. Lampu-lampu arena kembali menyala, membutakan Yudha untuk sesaat. Ketika penglihatannya kembali, ia mendapati dirinya sendirian di atas ring. Sosok mudanya telah menghilang, namun Yudha bisa merasakan semangatnya kembali berkobar dalam dirinya.
Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling arena. Penonton bersorak-sorai, mengira telah menyaksikan pertarungan hebat. Namun Yudha tahu, pertarungan sesungguhnya telah terjadi di dalam dirinya.
Saat ia melangkah turun dari ring untuk terakhir kalinya, Yudha tersenyum. Mungkin ini adalah akhir dari karirnya sebagai petinju, tapi ia tahu ini adalah awal dari sesuatu yang baru. Sebuah kesempatan untuk kembali pada alasan mengapa ia mulai bertinju—untuk membuat perbedaan.
Yudha meninggalkan arena malam itu, bukan sebagai “Si Tak Terkalahkan”, tapi sebagai seseorang yang telah menemukan kembali tujuan hidupnya. Dan baginya, itu adalah kemenangan terbesar yang pernah ia raih.
Tiga hari berlalu.
Yudha duduk di dekat makam ibu. Hingga hari kelima, ia tetap duduk di tempat itu. Hingar bingar kota menenggelamkan kejayaan Yudha.
“Ayo kembali,” kata pelatihnya perlahan.
“Tidak. Kau bisa katakan pada mereka. Yudha telah mati”
Salatiga, 12 Desember 2023