Di sudut kota, tersembunyi sebuah bengkel kecil milik Ki Sukarto, seorang perajin keris terkenal. Setiap hari, tangannya yang terampil membentuk keris-keris indah yang ia jual sebagai hiasan rumah. Namun di balik rutinitas itu, ada sebuah proyek istimewa yang selalu menanti di sudut bengkelnya.
Sudah 322 hari berlalu sejak Ki Sukarto memulai proyek keris impiannya. Setiap malam, setelah pesanan terakhir selesai, ia akan duduk di depan tungku, menatap sebilah logam yang tak kunjung sempurna. Keris ini berbeda; bukan sekadar hiasan, tapi pembuktian akan keahliannya yang tiada tara.
Namun kesempurnaan seolah enggan bersahabat. Ketika ia mengira telah menemukan pola pamor yang tepat, hasilnya selalu mengecewakan. Ukiran pada pesi tak pernah sesuai dengan yang ia bayangkan. Bahkan warangka yang biasanya mudah ia kerjakan, kini terasa begitu menantang.
Ki Sukarto bukan hanya mengandalkan keterampilan tangannya. Setiap malam, ia berdoa, memohon petunjuk. Ia menghabiskan jam-jam sunyi, mencoba mewujudkan ambisinya ke dalam sebilah keris. Namun keris itu, seolah memiliki kehendaknya sendiri, tetap menolak untuk mewujud seperti yang ia inginkan.
Di hari ke-323, saat senja mulai merambat, terdengar ketukan lembut di pintu bengkelnya. Seorang wanita cantik berdiri di sana, senyumnya secerah rembulan.
“Maaf mengganggu, Ki,” ujar wanita itu dengan suara merdu. “Bolehkah saya meminta secangkir teh hangat? Perjalanan saya masih jauh.”
Ki Sukarto, meski heran, mempersilakan tamunya masuk. “Silakan duduk, Nyonya. Saya akan buatkan tehnya.”
Sawitri tak menunggu persetujuan. Ia duduk di lantai, meletakkan tas besar yang entah berisi apa. Sembari menikmati teh, mereka berbincang ringan. Wanita itu memperkenalkan diri sebagai Sawitri, seorang penari.
“Ah, saya lihat ada keris yang belum selesai di sana,” ujar Sawitri, menunjuk pada proyek keris impian Ki Sukarto.
Ki Sukarto menghela napas. “Benar, Nyonya. Sudah hampir setahun saya kerjakan, tapi tak kunjung sempurna.”
Sawitri tersenyum lembut, berdiri, lalu berjalan beberapa langkah. “Bolehkah saya menari untuk Anda, Ki? Saya tidak mampu mengganti teh ini dengan uang. Dompet saya hilang di bus yang saya naiki dari Yogyakarta”
Tanpa menunggu jawaban, Sawitri mulai menari. Gerakannya lembut namun penuh makna, seolah menceritakan kisah penciptaan alam semesta. Ki Sukarto terpaku, terhanyut dalam keindahan tarian itu.
Ia tak berhenti menikmati gerakan itu, dan lekuk tubuh Sawitri. Ia melihat jari-jarinya merapat, menunjukkan kelembutan, mengibas menunjukkan kekuatan. Ikat rambutnya terlepas, membuat rambut panjangnya terurai.
Selesai menari, Sawitri diam berdiri. Mencoba menata nafas. Lalu duduk kembali. “Ki Sukarto,” ujarnya lembut, “maafkan saya. Saya hanya bisa menari untuk membalas budi. Dan maaf pula, tarian tadi bukan gerakan yang sempurna”
Ki Sukarto terdiam sejenak. “Semuanya indah, Nyonya. Tapi saya tak bisa mengatakan mana yang sempurna.”
Sawitri tersenyum, lalu menggapai tasnya. Mengambil cermin kecil, lalu mematut wajah dan mengoleskan lipstik merah.
“Tak ada yang sempurna. Begitu juga tarian saya. Atau saya. Kesejatian tidak terletak pada kesempurnaan, tapi pada proses cipta, karsa, dan rasa. Ambisi untuk menciptakan yang sempurna seringkali justru mengotori niat awal kita.”
Ki Sukarto tercenung. “Tapi bukankah kita harus selalu berusaha mencapai yang terbaik?”
Ia menatap mata Sawitri lekat. Melihat bibir merah.
“Tentu,” jawab Sawitri. “Tapi menari, dan membuat keris, bukanlah tentang pembuktian, melainkan tentang menciptakan kebahagiaan. Baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain yang akan menggunakan atau menikmati keindahannya.”
Ia memandangi keris di tangannya dengan cara yang berbeda. Untuk pertama kalinya, ia melihat keindahan di balik apa yang ia anggap sebagai kekurangan.
Sawitri bangkit, bersiap untuk melanjutkan perjalanannya. Seperti yang sudah-sudah, ia tahu Sukarto berharap lebih.
“Malam ini, saya berbelok di tempat ini karena kehausan. Dan saya menikmati ketulusan teh hangat ini. Itu akan membuat teh dan hati saya lebih hidup, jauh melampaui kesempurnaan yang kadang kita bayangkan.”
Sawitri melangkah pergi.
Ki Sukarto berlari mengejar. Tetapi seperti banyak cerita yang tersaji, Sawitri sudah tak nampak. Langkahnya tak cepat saat meninggalkan tempatnya. Tetapi ia hilang begitu saja.
Sinar rembulan menerangi bengkel, memantulkan kilau lembut pada keris Ki Sukarto.
Solo, Juli 2024