Babak Pertama: Pergulatan Batin
Ratna duduk termenung di depan cermin rias, tangannya gemetar memegang lipstik merah yang belum sempat ia poles. Matanya menatap kosong pada refleksi dirinya sendiri. Gaun mewah berwarna navy blue yang ia kenakan terasa mencekik, seolah menjadi simbol kehidupan palsu yang selama ini ia jalani.
Di luar kamar, suaminya, Dani, sedang melakukan wawancara langsung dengan stasiun televisi nasional. Suaranya yang lantang dan penuh keyakinan memenuhi setiap sudut rumah mewah mereka.
“Saya pastikan, program ini akan memberikan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat,” Dani berkata dengan penuh percaya diri. “Tidak ada seorang pun yang akan tertinggal dalam pembangunan kota kita yang tercinta ini.”
Ratna menggigit bibirnya, merasakan rasa pahit familiar yang selalu muncul setiap kali ia mendengar kebohongan suaminya. Ia tahu betul bahwa program yang digembar-gemborkan Dani itu hanyalah kedok untuk mengalihkan dana ke rekening pribadi dan kroni-kroninya. Setiap janji manis yang keluar dari mulut suaminya bagaikan belati yang menusuk hati Ratna.
“Ibu Ratna, apakah Ibu sudah siap?” suara asisten rumah tangga mereka, Siti, terdengar dari balik pintu. “Pak Dani meminta Ibu untuk bergabung dalam wawancara sebentar lagi.”
Ratna menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Ya, Siti. Aku akan keluar sebentar lagi,” jawabnya, suaranya sedikit bergetar.
Ia menatap kembali ke cermin, memaksakan sebuah senyum yang tidak mencapai matanya. Dengan tangan yang masih gemetar, ia mulai memoles lipstik merah ke bibirnya, seolah sedang mengenakan topeng untuk pertunjukan yang akan segera dimulai.
“Sampai kapan aku harus terus berpura-pura?” bisiknya lirih pada dirinya sendiri. Air mata menggenang di pelupuk matanya, namun ia cepat-cepat menyekanya. Tidak boleh ada jejak kesedihan atau keraguan saat ia muncul di depan kamera nanti.
Ratna berdiri, merapikan gaunnya sekali lagi, dan berjalan keluar kamar. Setiap langkahnya terasa berat, seolah ia sedang berjalan menuju panggung eksekusi, bukan ruang tamu rumahnya sendiri. Namun wajahnya telah berubah, menampilkan senyum cerah dan mata yang berbinar-binar, siap menjadi istri sempurna seorang politisi yang sedang naik daun.
Babak Kedua: Pertemuan Tak Terduga
Mentari pagi baru saja mengintip dari ufuk timur ketika Ratna melangkah keluar ke halaman depan rumahnya yang mewah. Udara masih terasa sejuk, membuat Ratna sedikit bergidik dan mengeratkan cardigan yang ia kenakan. Ia mengambil penyiram tanaman dan mulai menyirami deretan bunga-bunga eksotis yang menjadi kebanggaan tukang kebun mereka.
Pikiran Ratna masih berkecamuk, teringat perdebatan sengit yang ia lakukan dengan Dani semalam. Lagi-lagi tentang kebohongan dan manipulasi yang dilakukan suaminya demi menaikkan popularitasnya menjelang pemilihan walikota.
“Kue basah! Kue basah segar!” Sebuah suara riang memecah lamunan Ratna.
Ia menoleh dan melihat seorang wanita paruh baya dengan keranjang di tangannya. Wajahnya berseri-seri meski keringat membasahi kerudung bermotif bunga-bunga yang ia kenakan. Ada sesuatu dari pancaran wajah wanita itu yang membuat Ratna tertegun.
“Mari, Bu. Kuenya masih hangat,” tawar pedagang itu ramah, mendekat ke pagar rumah Ratna.
Entah mengapa, Ratna merasa tertarik. Biasanya, ia tak pernah membeli makanan dari pedagang keliling. Tapi hari ini, ada dorongan aneh yang membuatnya melangkah mendekati si pedagang.
“Boleh saya lihat kuenya?” tanya Ratna sopan.
“Tentu, Bu,” jawab si pedagang dengan senyum lebar. Ia membuka tutup keranjangnya, menampilkan berbagai jenis kue tradisional yang masih mengepul hangat. “Ada klepon, putu ayu, kue lapis, dan nagasari. Semuanya baru matang tadi pagi.”
Aroma manis dan gurih menggelitik hidung Ratna, mengingatkannya pada masa kecil saat ia sering membantu neneknya membuat kue di desa. Tanpa sadar, ia tersenyum tulus untuk pertama kalinya sejak berhari-hari yang lalu.
“Saya ambil masing-masing dua ya,” ujar Ratna, mengeluarkan dompetnya.
Si pedagang terlihat gembira. “Wah, terima kasih banyak, Bu. Oh ya, namaku Yati,” ujarnya memperkenalkan diri sambil menyerahkan bungkusan kue. “Setiap pagi lewat sini, tapi baru kali ini Ibu mau beli.”
Ratna tersenyum, “Saya Ratna. Maaf ya, biasanya saya memang jarang di rumah pagi-pagi begini.”
Mereka pun mengobrol ringan. Ratna terpesona dengan keceriaan dan kejujuran yang terpancar dari setiap kata-kata Yati. Ia menceritakan bagaimana ia sudah berjualan kue selama hampir 20 tahun untuk membiayai sekolah anak-anaknya.
“Alhamdulillah, Bu. Meski cuma jualan kue, tapi bisa menyekolahkan anak sampai kuliah. Yang penting jujur dan berkah,” ujar Yati dengan mata berbinar.
Kata-kata itu menohok hati Ratna. Ia merasa iri dengan kehidupan sederhana namun bahagia yang Yati jalani. Tanpa sadar, air matanya menetes.
“Lho, Ibu kenapa menangis?” tanya Yati khawatir.
Ratna cepat-cepat mengusap air matanya. “Ah, tidak apa-apa. Hanya kelilipan,” dustanya, merasa ironis karena lagi-lagi ia harus berbohong.
Yati tersenyum maklum, seolah bisa membaca kesedihan di balik mata Ratna. “Kalau Ibu butuh teman ngobrol, besok pagi saya lewat sini lagi,” tawarnya tulus.
Ratna mengangguk, merasa sebuah harapan kecil mulai tumbuh di hatinya. “Terima kasih, Yati. Sampai bertemu besok.”
Babak Ketiga: Konfrontasi
Malam itu, rumah mewah keluarga Wirawan yang biasanya tenang, dipenuhi suara teriakan dan bantingan pintu. Ratna, yang selama ini selalu menjaga sikapnya sebagai istri politisi, akhirnya meledak.
“Cukup, Dani! Aku tidak tahan lagi dengan semua kebohonganmu!” teriak Ratna, matanya menyala-nyala penuh amarah.
Dani, yang baru saja pulang setelah menghadiri sebuah debat calon walikota di televisi, terkejut melihat amarah istrinya yang biasanya pendiam dan selalu mendukungnya.
“Apa maksudmu, sayang? Ini semua demi karier kita, demi masa depan kita!” Dani berusaha menenangkan istrinya, tangannya terulur hendak meraih pundak Ratna.
Namun Ratna menepis tangan suaminya dengan kasar. “Masa depan apa? Masa depan yang dibangun di atas kebohongan dan penipuan?” Ratna menatap tajam. “Aku muak berpura-pura, Dani. Aku ingin hidup jujur, seperti Yati.”
“Yati? Siapa Yati?” Dani kebingungan, alisnya berkerut mencoba mengingat nama yang asing di telinganya.
“Seseorang yang menyadarkanku bahwa kebahagiaan tidak diukur dari harta atau kedudukan, tapi dari kejujuran dan ketulusan hati,” jawab Ratna, suaranya bergetar menahan emosi.
“Jangan konyol, Ratna!” bentak Dani. “Kita sudah sejauh ini. Tinggal selangkah lagi aku akan menjadi walikota. Kau mau menghancurkan semua yang sudah kita bangun selama ini?”
Ratna tertawa getir. “Kita? Tidak, Dani. Ini semua ambisimu, bukan ambisiku. Aku sudah lelah hidup dalam kebohongan. Setiap kali kau berbicara di depan umum, setiap janji palsu yang kau ucapkan, aku merasa seperti mati sedikit demi sedikit.”
“Lalu apa maumu? Kau mau aku mengundurkan diri? Membongkar semua rencana kita di depan publik? Kau gila!” Dani mondar-mandir di ruang tamu dengan frustrasi.
“Ya, mungkin aku memang sudah gila. Gila karena terlalu lama hidup dalam kepalsuan,” ujar Ratna lirih. Ia berjalan menuju kamar mereka dan mulai mengeluarkan koper besar.
Dani yang melihat tindakan istrinya, panik. “Apa yang kau lakukan? Kau mau pergi? Jangan konyol, Ratna!”
Tapi Ratna sudah bertekad. Ia memasukkan pakaian dan beberapa barang pribadinya ke dalam koper. “Aku pergi, Dani. Aku tidak bisa lagi hidup seperti ini. Aku ingin menemukan diriku yang dulu, yang jujur dan bahagia meski hidup sederhana.”
“Kau… kau tidak bisa meninggalkanku!” teriak Dani, wajahnya merah padam menahan amarah dan kepanikan. “Apa yang akan dikatakan media? Bagaimana dengan kampanyeku?”
Ratna menatap suaminya dengan tatapan iba. “Itukah yang kau pikirkan? Media dan kampanye? Bukan kehilangan istrimu?” Ia menggeleng sedih. “Kau sudah berubah, Dani. Kita berdua sudah berubah. Dan aku tidak mau berubah lebih jauh lagi.”
Dengan tekad yang bulat, Ratna menyeret kopernya keluar kamar, melewati Dani yang masih terpaku di tempatnya. Ia berhenti sejenak di pintu depan, menoleh untuk terakhir kalinya pada rumah yang selama ini menjadi sangkarnya.
“Selamat tinggal, Dani. Aku harap suatu hari nanti kau akan menemukan arti sesungguhnya dari kebahagiaan dan kejujuran.”
Dengan itu, Ratna melangkah keluar, meninggalkan kehidupan mewah yang selama ini membelenggunya, menuju masa depan yang tidak pasti namun penuh harapan akan kejujuran dan ketulusan.
Babak Keempat: Titik Balik
Pagi itu, kota diguncang oleh headline mengejutkan yang terpampang besar di halaman depan surat kabar: “BREAKING NEWS: Politisi Dani Wirawan Masuk RSJ, Tiga Jam Setelah Pelantikan di Gedung Dewan”
Artikel itu menceritakan dengan rinci bagaimana Dani, yang baru saja dilantik sebagai anggota dewan kota, tiba-tiba mengamuk di tengah rapat perdana. Saksi mata melaporkan bahwa Dani berdiri di atas meja, berteriak-teriak mengakui semua kebohongan dan manipulasi yang ia lakukan selama kampanye.
“Saya pembohong! Semua janji saya palsu!” teriaknya histeris sebelum akhirnya pingsan dan dilarikan ke rumah sakit terdekat. Tersiar kabar, empat hari kemudian ia masuk rumah sakit jiwa.
Berita ini menyebar dengan cepat, mengguncang dunia politik kota dan menjadi bahan perbincangan di setiap sudut. Banyak yang menyayangkan kejadian ini, tapi tak sedikit pula yang menganggap ini sebagai karma atas kebohongan yang selama ini dilakukan Dani.
Sementara itu, jauh dari hiruk pikuk pemberitaan dan gosip kota, di sebuah desa yang tenang di kaki gunung, Ratna tengah memulai lembaran baru hidupnya.
Pagi itu, seperti biasa, Ratna bangun sebelum matahari terbit. Ia menyalakan tungku kayu di dapur sederhana rumah kontrakannya, mulai mengaduk adonan kue yang sudah ia siapkan semalam. Aroma gula dan kelapa parut memenuhi udara, mengingatkannya akan masa kecil yang bahagia.
“Alhamdulillah,” gumam Ratna sambil tersenyum, merasakan kepuasan yang selama ini tak pernah ia rasakan saat hidup bermewah-mewahan.
Tak lama, pintu dapurnya diketuk. “Ratna, sudah siap kuenya?” Yati muncul dengan keranjang kosong di tangannya.
“Sebentar lagi, Yati. Ayo masuk dulu, minum teh,” ajak Ratna.
Banjarnegara, 28 Desember 2023