Sudah satu tahun berselang sejak aku memutuskan menjadi penjarah harta orang-orang yang pandangannya kerap dilemahkan oleh ingar bingar stasiun. Saban hari protofon milik petugas keamanan stasiun saling berkecamuk mengabarkan berita kehilangan barang para korban pencurian—namun tak pernah ditemukan. Hingga akhirnya orang-orang menuduh dengan pasrah bahwa pelakunya adalah komplotan makhluk mistis penghuni stasiun yang terkutuk ini.
Bodo amat, gumamku sedikit terbahak dengan gosip konyol itu. Aku setuju bahwa stasiun ini terkutuk, tetapi sebenarnya tak ada campur tangan sosok astral manapun. Tragedi itu adalah hasil payah pekerjaan manusia yang paling hebat. Melebihi para pengendap manapun. Butuh tekad yang tak gentar ketika petugas kemanan itu memburuku—atau para pencuri lain—dari satu peron ke peron lain lalu berkamuflase diantara lautan manusia yang wajahnya mematung tanpa sekilat garis watak apapun.
Dan kupikir mereka seharusnya berterima kasih pada barangnya yang hilang di alam lambung kersang para pencuri stasiun. Karena tersadar bahwa mereka harus menjauhi selamanya stasiun terkutuk menyeramkan ini.
“Mohon perhatian, sesaat lagi kereta berikutnya akan tiba di peron 12, terima kasih.” Gema lantang penyiar stasiun.
Tubuhku segera beringsut dari lamunan. Menderap menuju peron yang didengungkan itu. Peparuku mengunyah udara sedalam-dalamnya kemudian mengambil sikap ancang-ancang. Siap menerkam apa saja untuk melegakan dahaga siang yang terlalu matang ini dalam pusaran maut itu. Yang terpenting bagianku jangan sampai direnggut oleh pencuri lain.
“Pintu telah terbuka, hati-hati melangkah dan perhatikan celah peron saat keluar dan masuk rangkai gerbong. Selamat jalan dan terima kasih.”
Semua penumpang gerbong mulai berhamburan ke segala arah. Dengan leret yang awut-awutan tungkaiku mencoba menongkah arus sampai ke hilir. Aku memindai dengan jeli dari sisi peron, dan telah kutemukan mangsa selanjutnya yang menggiurkan. Seorang perempuan muda yang terlihat lunglai keluar dari gerbong.
Dengan leher yang disampuli sebuah syal bercorak baru saja menelusupkan keping recehnya dalam sebuah tas hitam tentengnya. Aku mulai merapatinya dan merogoh isi tas tersebut. Tetapi sejurus kemudian hal yang paling mencengangkan dalam sejarah pencurianku terjadi, aksiku disergap basah.
“Apakah kau hendak mencuri? Apa yang kau cari dalam tasku ini?” Nadanya memekik siap mencekik identitasku.
Aku bergeming. Meneguk saliva seraya mengepal jemariku yang siap menerjang jika ia berteriak copet atau maling. Namun secara ajaib, detik berikutnya ia menyeruakkan isi tas tersebut kepadaku. Seluruhnya.
“Bawalah semuanya, hanya itu yang aku punya hari ini. Apakah cukup?” Meninggikan lintasan alisnya. Seperti halusinasi yang memangkung kepalaku. Aku mendebat pandanganku berkali-kali pada tas hitam yang diasongkannya itu.
“Tidak kak tidak, aku hanya ingin sedikit picisan itu saja untuk makan hari ini. Yang lainnya silakan bawa saja.” Kataku memelas.
“Namaku Nala, Jika dirimu membutuhkan yang lain temui aku lagi di peron 12 ini esok siang.” Perempuan itu kemudian mendaratkan tasnya di ubin seraya menguap dari hadapanku, menaiki kereta transit lainnya ke arah timur.
Ketika tergemap pada seonggok tas berjejal harta itu, ada sekelebat batin yang melonjak dalam perasaanku. Aku tak peduli lagi dengan isi tas itu walaupun harganya cukup untuk menghidupi peruntungan panjangku di stasiun ini.
Hari ini aku telah terombang-ambing dalam gejolak dahaga yang lain, terasuki asmara yang meletup-letup. Dengan sangat singkat aku telah mencintainya. Sungguh, aku akan menunggunya esok hari dan memelas sesuatu kembali. Agar dapat berlama-lama mencandu fragmen matanya yang seperti kerlap orion memesona itu.
Esok siangnya, perempuan itu benar kembali sesuai janjinya dan memberikan barang apapun yang kuminta, dari yang repih sampai yang mewah. Seminggu kemudian, ia tak lekang berdiri tegap menungguku yang tengah bertengger di ubin peron 12 dengan kelambu mata yang masih terlelap. Sebulan telah menjulur panjang, diantara kami sudah tumbuh benih kecil kelakar seputar stasiun seraya diterpa oleh semerbak gorengan kesukaanku.
Beberapa kali kutanya dengan kikuk dari mana dan kenapa ia selalu datang, tapi timpalnya selalu senada “Hanya sekalian melipir sepulang kerja padamu, masa tak boleh?” Tukasnya. Padahal kukira bukan sekadar jawaban hanya yang terlontar dari kilap bibir merah saganya itu.
Hatiku sudah tak terbendung melegum-legum ingin memandunya kedalam lumbung perasaanku di stasiun ini. Namun aku harus tetap membenamkan rasa kasmaran itu dalam benak dunguku. Aku hanya seorang pencuri kumal tak tahu diri yang ditolong oleh rasa kasihan, bukan cinta. Mustahil terbesit di angan-angannya untuk bertaut dengan gelandangan hina sepertiku. Terlebih tak cocok perangainya yang baik bersanding dengan jiwaku yang beraura jahat. Aku harus mengakhiri sekarang juga bentang kasihku yang semakin memacak dan penuh kebuntuan ini. Setidaknya dengan sepenggal kata terima kasih.
“Nala, Sepertinya esok aku tak bisa menjumpaimu lagi di Peron 12 ini. Aku telah mendapat pekerjaan kantoran di jantung kota sana.” Sepatah kebohonganku terbit untuk berpisah dengannya.
“Benarkah? Kenapa mendadak sekali?” Tanya suara renyahnya dengan wajah mengeras.
“Sungguh aku pun demikian bertanya, tetapi yang pasti suatu saat aku akan membalas jasamu padaku. Terima kasih untuk segalanya.” Kataku datar ingin mengakhiri.
“Tunggu, bolehkah aku bertemu denganmu kembali untuk terakhir kali besok? Aku ingin menyelamatimu dengan hadiah yang telah kupersiapkan untuk momen ini. Boleh ya?”
Sepasang mata Nala merekah lalu berbinar merengkuhku. Aku tak mau menerima apapun lagi darinya. Tetapi rasa yang terus membumbung ini berbisik untuk tak boleh menolaknya. Terlebih tak ada alasan lagi untuk berkilah atas kebaikan perempuan itu.
“Tentu saja. Aku suka sekali hadiah, dimana besok kita akan berjumpa?”
Sambil mendera-dera kecil punggungku, ia menimpali dengan memasang sebaris senyum pemikatnya.
“Sudah jelas bukan? Peron 12 siang hari!”
*
Riuh berdengus-dengus lokomotif dari arah barat telah membangunkan seluruh inderaku yang tengah tertidur di alas kardus terkoyak. Lonceng kedatangan kereta peron 12 telah berlentang pekak mengerubungi hiruk pikuk stasiun.
Aku trengginas menengadahkan tubuh. Kendati tampangku mungkin keruh seperti biasanya, aku akan berusaha menyiapkan air muka terbaik untuknya sebagai hadiah perpisahan yang akan kami tukar siang ini—karena hanya itu yang bisa kuberi. Kaki rem perhentian telah memagut pada mesin baja kereta. Penumpang mulai mengguncang tubuhnya keluar dan masuk gerbong melompati celah peron dengan terburu-buru.
Satu per satu aku menelusur raut meronanya diantara wajah-wajah kusam para penumpang yang berserak. Namun sampai gerbong bersahut sunyi pun, kain syal bercorak favoritnya tak terlihat melambai-lambai. “Mungkin kereta miliknya sedikit terlambat, aku akan menunggunya.” Pikirku memudarkan rasa kecewa yang tiba-tiba naik tempo.
Satu jam, dua jam, lima jam. Tak ada satupun kereta yang menyajikan perempuan itu. Baskara mulai ditarik langit ke ujung barat. Sekawanan awan kelabu tiba-tiba bertandang di atas jemala stasiun. Angin kencang yang berembus meliuk-liuk hendak mencerabuti pilar-pilar stasiun, juga harapku pada pertemuan ini. Tetapi rasa percayaku padanya tetap kokoh.
Tak mungkin ia ingkar janji. Mungkin ia lupa? Mungkin ia sibuk? Tak apa, aku akan tetap menunggunya esok, lusa, atau mungkin sampai dunia kiamat jika harus. Aku sudah terbiasa. Di sela aku termenung oleh ketidakpastian yang makin membiak, dua orang petugas keamanan melintas didepanku. Desir obrolannya menelusupi gendang telingaku sayup-sayup. Aku tergeragap, mataku membeliak berang, lalu bangkit menyambar jalur derap mereka.
“Apakah itu benar? Jangan berdusta dan mengada-ada jika nihil bukti Pak!” Sergahku dengan amarah tak terbilang.
PLAKKK!!! PLAKKK!!!
Tamparan keras telapak kekar seorang petugas itu dilayangkan pada rahang kanan-kiriku dengan telak. Tungkaiku limbung sesaat. Terasa perih tersayat gusiku yang kemudian menderaikan darah segar.
“Hei bocah urakan sok tahu! Kau ingin bukti? Lihat saja sendiri!” Dalam sejurus petugas bengis itu menyodorkan kertas beraksara hitam-putih. Ruas telunjuknya mengarahkan manik mataku pada deretan tulisan raksasa. Meski saraf gerahamku masih berdenyut nyeri seraya darah terus tumpah pada kertas itu, aku berusaha membacanya dengan saksama.
“BERITA HARI INI. BURONAN YANG SANGAT LAMA MERESAHKAN PENDUDUK STASIUN KARENA KASUS PENCURIAN, TELAH DITEMUKAN TEWAS TERTABRAK KERETA SAAT BERKEJARAN DENGAN KEAMANAN STASIUN. TERSANGKA TERLINDAS DENGAN KEADAAN MENGGENGGAM SEBUAH KOTAK BELUDRU MERAH BERISI CINCIN DAN SECARIK KERTAS DIDALAMNYA YANG BERTULISKAN ‘UNTUK YANG TELAH MENCURI HATIKU, AKU MENCINTAIMU’. TERUNGKAP IDENTITAS ASLI TERSANGKA BERNAMA NALA”.
Stasiun terkutuk ini, telah mengutukku. Dan aku, telah mengutuk Nala. [*]
Cerpen ini memenangi AJC 2023 (ALPHA Journalistic Contest 2023) yang digelar Lembaga Pers Mahasiswa Alpha Fakultas MIPA Universitas Jember di Kabupaten Jember, Jawa Timur