Lelaki itu duduk terdiam di sudut ruangan kedai kopi. Sorot matanya tajam, namun keriput di wajahnya mengungkap cerita hidup yang tak lagi muda. Kacamata tua bertengger di hidungnya, membantu mata yang kini tak setajam dulu. Wajahnya tampak kuyu, lelah, seakan memikul beban bertahun-tahun. Tubuhnya kurus, dibalut baju lusuh. Rambut yang dulu hitam gondrong, kini mulai memutih dan menipis. Seperti pohon tua yang mulai meranggas.
Kepulan asap rokok kretek perlahan bergulung-gulung dari bibirnya, mengepul lamat-lamat. Di tangannya, secangkir kopi hitam pekat menjadi satu-satunya yang hangat menemaninya ditengah dunia yang terus berlari meninggalkannya di belakang.
Di dekatnya, beberapa mahasiswa baru duduk melingkar. Tekun mendengarkan setiap kata yang keluar dari bibirnya, seakan lelaki itu adalah perawi kisah yang tak boleh terlewat. Ia membuka kalimat, “Dulu, tempat ini menjadi rumah bagi diskusi panjang tentang demokrasi, ruang bagi pemikiran liar namun penuh harapan,’ katanya membuka kisah.
Ia ingat, pemilik kedai itu menyediakan ruang khusus – sebuah sudut kecil terpisah, jauh dari hiruk pikuk pengunjung lain, tempat dirinya dan para aktivis mahasiswa lainnya berbisik tentang rencana aksi dan cita-cita yang diperjuangkan. Tempat mereka berkumpul dan menghindar dari para punggawa rejim yang gemar mengendus jejak para aktivis pro-demokrasi.
Kedai ini berlokasi dekat kampus. Pemiliknya tak pernah memberi nama resmi. Namun, para aktivis pada masa itu sepakat memberi julukan: “Hasta Siempre”. Nama itu diambil sebuah lagu revolusi, “Hasta Siempre, Comandante”. Sebuah ode untuk Che Guevara, digubah oleh Carlos Puebla. Lagu itu menyuarakan perpisahan Che, meninggalkan Kuba untuk melanjutkan perjuangannya melawan kolonialisme-imperialisme di Bolivia, mengejar revolusi yang ia yakini. Di mata para aktivis, Che Guevara adalah simbol, impsirasi bagi mereka yang merindukan kebebasan.
Lelaki itu tersenum mengenang, “Dulu di kedai ini, ada kawan yang piawai memetik gitar, menyanyikan lagu itu, hingga ruangan terasa penuh oleh semangat perlawanan.” Ia berhenti sejenak, matanya menerawang, seolah ingin menangkap kembali bayangan masa silam. “Kedai kopi ini adalah altar bagi mimpi-mimpi tentang kebebasan, tempat merawat api perlawan yang tak boleh padam.”
*
Lelaki itu bernama Andes. Bertahun-tahun silam, ia dikenal sebagai pemimpin organisasi mahasiswa yang gigih melawan tirani. Andes tak hanya rajin membangun jejaring perlawanan, ia juga setia mendampingi para mahasiswa baru, membedah pemikiran-pemikiran besar dan ideologi di dunia, serta menyemai benih-benih pikiran kritis dalam diri mereka.
Di tahun 1998, ia turut mengawal perubahan besar yang mengguncang negeri ini. Andes bukanlah aktivis instan yang hanya muncul di momentum itu. Jauh sebelumnya, ia telah bergumul bersama penderitaan rakyat, melewati hari-hari penuh resiko. Panggilan interogasi dari aparat keamanan hampir menjadi jadwal tetap dalam hidupnya.
Perubahan itu menengelamkan orde baru. Kemudian, sebagian kawan-kawan seperjuangannya merapat dalam kekuasaan. Andes merasa perlawanannya belum usai. Baginya reformasi yang kompromistis tidak cukup memotong pengaruh rezim lama, yang kini berkamuflase dalam wajah-wajah baru.
Maka, ia memilih jalan sunyi, tetap berdedikasi pada masyarakat yang terpinggirkan. Meskipun tidak jarang itelikung kawan sendiri, komitmennya pada perjuangan dan ideologi tidak pernah luntur.
Andes tersenyum getir setiap kali melihat kawan-kawan lamanya – yang dulu sama-sama mengenyam pahit getirnya pergerakan – setelah menjadi bagian dari kekuasaan, berperilaku sama seperti rezim yang dulu mereka lawan. “Ideologi tidak bisa kasih makan anak istri, kawan!” begitu kata mereka ketika Andes mengajak mengingat kembali cita-cita lama. Mereka memandang Andes sebagai sosok yang terperangkap dalam nostalgia, tak mampu beradaptasi dengan zaman.
**
Andes masih sering bertandang ke kedai kopi ini, Meski kini sebagian ruangan telah berubah – dilengkapi pendingin udara, dengan kaca transparan, wifi gratis dan meja kursi kekinian – pemilik kedai masih menyisakan sudut ruangan itu seperti di tahun 90-an. Tempat itu, kini lebih sekedar nostalgia bagi sebagian aktivis yang sudah mapan dalam bisnis atau kekuasaan, tidak lebih dari kenangan masa lalu. Andes masih meneruskan kisahnya.
Di sudut lainnya, para mahasiswa sibuk dengan dunianya masing-masing. Menggerayangi ponsel, atau bercanda tawa, tak peduli dengan jejak sejarah yang bergetar di ruangan itu.
Pandangan Andes tiba-tiba terpaku pada di layar televisi di ruangan itu. Presiden tengah mengumumkan susunan kabinet barunya. Diantara puluhan wajah para menteri, Andes mengenali sosok-sosok ang dulu pernah bersama-sama dalam pergerakan.
Saat itu juga, seorang mahasiswa memutar lagu “Hasta Simpre” dari ponselnya. “Aprendimos a quererte, desde la histórica altura, donde el Sol de tu bravura, le puso cerco a la muerte, eguiremos adelante, como junto a tí seguimos, y con Fidel te decimos, Hasta siempre, Comandante!..” lagu itu menelusup ke seluruh ruangan.
Mahasiswa lain yang penasaran mencari terjemahan lirik itu dari google,” Kami belajar untuk mencintaimu, dari bukit bersejarah, di mana matahari keberanianmu mengepung kematian, Kami akan terus seperti kami mengikutimu, dan bersama Fidel, kami katakan padamu: Sampai selamanya, Komandan!”
Bagi Andes, Hasta Siempre adalah janji yang tak pernah lapuk. Tempat itu adalah saksi sejarah, altar yang merekam langkah-langkah aktivis di era 90-an. Ruang dimana harapan dan mimpi tersulam menjadi satu. Saat semangat perlawanan berkobar melawan tirani yang seolah tak tergoyahkan.
Penulis adalah alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Penulis kolom dan cerpen, tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).