Santoso menatap layar komputer di hadapannya, jemarinya menari lincah di atas keyboard. Angka-angka dan kode-kode rumit memenuhi layar, membentuk labirin digital yang hanya bisa ia pahami. Di usianya yang ke-40, Santoso telah menjadi pilar penting dalam tim IT bank swasta tempatnya bekerja.
Ruang kerjanya berada di sudut lantai 9, berdekatan dengan ruang server yang selalu dingin. Suara dengungan pelan dari mesin-mesin canggih menjadi musik latar kehidupan sehari-harinya. Santoso menyukai ketenangan ini; ia merasa nyaman dalam dunia yang teratur dan logis.
Pagi-pagi sekali, Santoso sudah tiba di kantor. Ia selalu menjadi yang pertama masuk dan terakhir pulang. Rutinitas hariannya dimulai dengan memeriksa log server, memastikan tidak ada aktivitas mencurigakan selama malam. Kemudian, ia akan memperbaiki bug-bug kecil yang dilaporkan oleh departemen lain, meningkatkan keamanan firewall, dan sesekali mengadakan rapat tim untuk membahas proyek-proyek baru.
Meski karirnya cemerlang, Santoso tetap rendah hati. Ia memiliki apartemen mewah di Jakarta Timur, portfolio kripto yang mengesankan, dan 52 persen saham sebuah kafe di Magelang yang dikelola adiknya. Namun, semua pencapaian itu tak mampu mengisi kekosongan dalam hidupnya.
Di kantor, Santoso adalah sosok yang dikagumi. Para karyawati sering mencuri pandang ke arahnya, terpesona oleh kombinasi ketampanan dan kesuksesannya. Namun, Santoso, si jomblo berkualitas, seolah kebal terhadap pesona mereka. Ia tenggelam dalam pekerjaannya, menghindari interaksi sosial yang tidak perlu.
Saat istirahat makan siang, mereka memilih makan bekal dari rumah lalu menikmati game online. Mereka juga lebih menikmati cola daripada teh bahkan kopi.
Sebagian dari lantai sembilan diisi oleh staf IT. Santoso dapat privilege satu ruangan khusus. Di ruang lain, dalam divisi ini, ada 21 orang dengan tugas yang hampir sama. Dan mereka rata-rata memiliki problem sama; tak peduli. Saat istirahat makan siang, mereka memilih makan bekal dari rumah lalu menikmati game online. Mereka juga lebih menikmati cola daripada teh bahkan kopi.
Suatu malam, saat Santoso sedang larut dalam lautan kode, sebuah notifikasi WhatsApp muncul di layar ponselnya. Ia hanya melirik. Tapi tetap tergoda untuk membuka. Sebuah pesan singkat. “Malam ini di Cafe Blabla”.
Entah dorongan apa yang membuatnya memutuskan untuk pergi. Pesan dari nomor tak dikenal. Ia juga tidak pernah mendengar nama Cafe Blabla. Tapi malam itu Santoso tetap mengemudikan Toyota Rush-nya menuju alamat yang tertera.
Cafe Blabla ternyata adalah sebuah tempat yang nyaman dan elegan. Dinding bata ekspos dihiasi lukisan-lukisan abstrak, lampu-lampu gantung vintage memberikan pencahayaan hangat, dan aroma kopi yang menggoda memenuhi udara. Santoso memilih meja di sudut, jauh dari panggung kecil tempat seorang penyanyi wanita sedang membawakan lagu I Started a Joke, lagu lama Bee Gees yang pernah dinyanyikan Faith No More.
Penyanyi ini langsung memikat perhatian Santoso. Rambutnya yang hitam panjang jatuh lembut di bahu. Ia selalu ekspresif di tiap bait lagu, membiarkan pundaknya terbuka, sedemikian larut dalam lirik. Ia terus bernyanyi meski tanpa aplaus dari pengunjung cafe. Suaranya tetap merdu, meski tak ada yang peduli.
Besoknya ia kembali datang. Kali ini dengan kemeja dan celana jeans yang rapi. Di dalam mobil, ia sempat mematut rambut dan wajahnya di depan spion. Ia juga memakai parfum.
Ya, sejak malam itu, Santoso menjadi pengunjung setia Cafe Blabla. Ia datang hampir setiap malam, duduk di tempat yang sama, memesan latte yang sama, dan mendengarkan perempuan itu bernyanyi. Kadang-kadang mata mereka bertemu. Bukan sesuatu hal yang luar biasa. Tapi Santoso senang bukan kepalang.
Suatu hari, mereka berpapasan di sebuah toko buku. Dari rak yang berjajar, ia melihat Shanti melintas. Ia pun mengejar hingga di ujung ruangan toko.
Perempuan itu agak kaget melihat Santoso yang tiba-tiba menghampiri. Tetapi ia langsung mengenali Santoso. Ia pun menyapa dengan ramah. Dari tegur sapa, mereka pun mengobrol singkat. Dan tiba-tiba sudah ada pembicaraan musik dan buku. Wajah Santoso berseri, untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, Santoso merasa hidup.
Pertemuan demi pertemuan berlanjut. Setelah Shanti selesai bernyanyi, mereka akan duduk bersama, berbincang tentang segala hal. Santoso menceritakan tentang pekerjaannya (meski ia tak menyebut nama bank tempatnya bekerja), dan Shanti bercerita tentang mimpinya menjadi penyanyi terkenal.
Jalan yang dilalui Santoso hanya dilalui beberapa kendaraan. Lampu tepi jalan masih menyala terang, pun gedung-gedung kota. Semua serempak memberi irama.
Mereka tertawa bersama, berbagi kesunyian yang nyaman, dan perlahan-lahan, Santoso merasakan dinding yang selama ini ia bangun mulai runtuh. Ia mulai membayangkan masa depan yang berbeda, masa depan di mana ia tidak sendirian.
Malam itu Santoso nekat mengundang Shanti datang ke apartemennya. Meski sempat ragu, Shanti akhirnya bersedia.
Malam ini Jakarta terasa sunyi. Jalan yang dilalui Santoso hanya dilalui beberapa kendaraan. Lampu tepi jalan masih menyala terang, pun gedung-gedung kota. Semua serempak memberi irama. Mengiringi hati Santoso yang berbunga, tentang laju kendaraan mereka yang meluncur pasti.
Dalam aprtemen, Santoso mempersilahkan Shanti duduk. Tetapi perempuan itu lebih suka melihat koleksi buku yang berjajar rapi di rak besar. Ia juga melihat foto-foto, keluarga Santoso. Wajahnya nampak senang. Dan saat Santoso berdiri di meja dapur, menyiapkan lemontea hangat, ia memeluk Santoso.
Tak ada penolakan. Mereka pun berhadapan, dan membiarkan semua terjadi begitu saja. Dua gelas lemon tea terabaikan begitu saja.
Dalam pelukannya, Shanti berbisik lirih, “Habis ini aku pulang”
“Kau harus tinggal. Ini sudah malam”
Shanti mencium tangan Santoso. “Aku harus pulang,” katanya.
Santoso tak mampu mencegah. Matanya terlanjur berat.
Keesokan harinya, Santoso bekerja dengan penuh semangat. Beberapa teman kantor menatapnya heran. Tetapi ia tak peduli. Di depan PC ia sempat melihat kalender. Ternyata sudah sebulan sejak pesan singkat WA itu datang tiba-tiba. Sudah sebulan pula ia mengenal Shanti.
Setelah tugasnya selesai, ia berdiri dan bersiap pulang. Rekan kerjanya melongo. Dari balik monitor PC, mereka melihat Santoso berjalan cepat, benar-benar keluar dari ruangan. Prinsip nine to five tiba-tiba jadi pegangan Santoso. Jam lima sore, saatnya pulang!
Kendaraan Santoso melaju. Lalu berbelok di Cafe Blabla. Hari ini pengunjung nampak sepi. Selebihnya tak ada yang berubah. “Ah, mengapa harus berubah?” gumam Santoso merasa konyol.
Namun malam itu, panggung kosong. Tak ada Shanti, tak ada musik live. “Kami sudah empat bulan tak menampilkan live music,” kata pemilik kafe saat Santoso bertanya. Sisi logis Santoso langsung membaca kemungkinan-kemungkinan. Dia tidak mau berdebat, karena ia langsung mengerti, ada yang keliru di sini.
Besoknya ia kembali datang. Dan benar-benar tak ada musik, tak ada Shanti. Dunia Santoso seketika runtuh. Empat bulan? Bukankah dalam satu bulan terakhir ia mendengar Shanti bernyanyi setiap malam? Bukankah mereka berbincang, tertawa, dan berbagi cerita?
Ia menatap kosong ke arah panggung yang hampa. Perlahan, ia mengakui kebodohannya. Sejak awal, ini sebuah kesalahan.
Realitas menghantam Santoso dengan kejam. Selama empat bulan terakhir, ia telah hidup dalam dunia khayalan, atau entah apa. Shanti, obrolan mereka, semua hanya ada dalam imajinasinya. Di sudut cafe, tempat ia duduk bersama Shanti, ia mencari pesan WA itu. Ia langsung menelpon nomor tak tersimpan yang berkirim pesan.
Tak ada jawaban. Ia buru-buru menyimpan nomor itu. Lalu melakukan panggilan reguler. Lirih terdengar sebuah lagu. I Started a Joke. Selebihnya tak ada suara.
Santoso terduduk lemas di kursinya. Ia menatap kosong ke arah panggung yang hampa. Perlahan, ia mengakui kebodohannya. Sejak awal, ini sebuah kesalahan.
Bertahun-tahun ia telah mengasingkan diri dalam dunia digital yang aman dan terkendali. Ketika kesepian akhirnya tak tertahankan, pikirannya menciptakan ilusi sempurna: seorang wanita cantik yang memahaminya, sebuah hubungan yang ideal.
Malam itu, Santoso pulang ke apartemennya dengan langkah gontai. Ruangan itu, tiba-tiba terasa sangat besar, terasa sunyi.
Jakarta, Februari 2024