Parta duduk di kursi kayu panjang yang menghadap kebun. Kebun yang memberinya banyak cerita, kebun yang mengalirkan pada muara rindu kini dan masa lalu.
Ya, ini cerita tentang Parta, pegawai swasta yang terpaksa pensiun dini gara-gara perusahaan bangkrut.
Padahal usianya masih jauh dari 55 tahun. Tapi gara-gara umur, ia jadi tidak leluasa mencari kerja. Mana ada perusahaan yang mau menerima karyawan baru yang usianya sudah 47 tahun?
Ia hidup sebatang kara. Istrinya meninggal, anak semata wayangnya, Savitri, ikut suami tinggal di Balikpapan sejak satu setengah tahun lalu. Parta ingat, ia pernah berdebat dengan bapaknya di kampung gara-gara menikah muda, “Aku ingin bisa tinggal lebih lama dengan istri dan anakku”
Parta selalu tersenyum setiap mengingatnya. Ucapan yang keliru. Menikah di usia 21, belum lulus kuliah, ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit. Saat Savitri usia lima tahun, istrinya meninggal karena kecelakaan. Sejak saat itu Parta hidup bersama Savitri. Sejak putrinya ikut sang suami, Parta hidup sendiri. Di rumah yang cukup baik, memiliki halaman kecil di belakang rumah.
“Aku ingin punya kebun di belakang rumah,” kata istrinya. Dan Parta seperti tak terkendali. Ia bekerja keras, demi cicilan rumah impian sang istri. Rumah itu mereka tempati. Juga kebun kecil, dan tawa Savitri yang menemani.
Kini, setelah hidup bersebatang kara, Parta merasa memiliki banyak waktu. Tetapi ia memilih duduk di rumah, berkebun, dan menikmati secangkir kopi. Padahal sebagai laki-laki ia terbilang rupawan. Tubuhnya tegap, rambutnya masih hitam tak berkurang. Rahangnya kuat, memberi narasi tentang lelaki yang setiap berjalan mengundang lirikan dari para perempuan.
Parta ingat, saat kerja, ia sering dapat salam dan pesan dari entah siapa. Ia juga pernah mendapat bingkisan kecil di meja kerja. Tapi Parta kelewat mencintai istrinya. Sebagai laki-laki, ia tak mengenal kosakata jamaknya laki-laki, bahwa di luar rumah, ia bisa menjadi milik siapa saja.
Ia memilih untuk pergi bekerja, pulang, lalu bercanda bersama istri dan anaknya. Bagi Parta, ini kemewahan, jawaban sekaligus alasan.
Tapi sejak pensiun setahun lalu, ia memulai cara baru. Menghabiskan uang pesangon, menanam cabe, tomat, dan ketela pohon. Untuk hidup, ia dapat kiriman catering yang biayanya ditanggung Savitri. Makanan ini datang jam 10 pagi, seringnya, makanan ini untuk konsumsi siang hari. Untuk pagi, Parta lebih suka menikmati ketela rebus hasil kebun.
“Simpan uangmu. Untuk tabunganmu, untuk keluargamu,” kata Parta suatu ketika. Savitri menolak. Dan Parta tidak mau memaksa. Ia tahu, ini bukan cara Savitri untuk berbakti. Ia ingin ada dalam hidup Parta, sesederhana itu.
Karena dukungan Savitri, Parta bisa langganan koran. Ia bisa membaca berita kemarin, tentang harga tabung LPG yang disesuaikan, program makanan bergizi gratis, bahkan kiprah para artis di DPR. Hingga suatu hari, ia kedatangan tamu. Perempuan muda yang cantik. Parta meletakkan koran dan langsung menebak, “Kamu teman Savitri?”
Perempuan itu diam, lalu terisak. “Iya, tapi bukan teman dekat. Saya Wilis, teman Savitri di SMA”.
Setelah dia beberapa saat, ia berkata lagi, “Saya malu datang ke sini. Tapi saya harus. Saya tahu bapak selalu mengantar Savitri ke sekolah dengan sepeda motor. Saya selalu melihat dari jauh,” katanya.
“Saya seneng lihat bapak dan Savitri. Saya iri. Saya tidak bisa seperti itu. Wong bapak saya cuman marah-marah, ibu juga. Saya ingin seperti Savitri,” isaknya.
Parta terdiam. Matanya menatap Wilis yang masih terisak. Tetapi di balik itu, ia mulai sibuk menebak-nebak. Sampai pesan singkat itu datang, dari Savitri; Nanti ada teman Savitri datang, namanya Wilis. Katanya mau ke rumah ketemu bapak“. Lalu ada foto Wilis. Wajahnya sama persis dengan perempuan yang kini ada di ruang tamu.
Oke, dugaan kalau ini penipu sudah gugur. Kemungkinan lain?
“Maaf, Pak,” Wilis mengusap air matanya. “Mungkin Bapak bingung kenapa saya tiba-tiba datang. Sebenarnya… sudah lama saya ingin ketemu Bapak. Sejak SMA, saya selalu memperhatikan bagaimana Bapak dengan Savitri. Setiap pagi, Bapak mengantarnya dengan motor butut itu. Kalau hujan, Bapak selalu memayungi Savitri sampai ke gerbang sekolah. Savitri tidak pernah telat, tidak pernah basah kuyup seperti saya.”
Wilis menarik napas dalam. “Di rumah saya, tidak ada yang seperti itu, Pak. Bapak saya pemabuk. Kalau malam sering mukul Ibu. Saya sering sembunyi di kamar, nutup kuping. Pagi-pagi saya harus jalan kaki ke sekolah, hujan atau panas. Kadang saya sengaja berangkat lebih pagi, biar bisa lihat Bapak nganter Savitri. Buat saya… itu seperti nonton film pendek tentang bagaimana seharusnya seorang ayah.”
Parta merasa tenggorokannya tercekat. Ia ingat dulu memang sering melihat seorang siswi yang selalu datang lebih pagi, duduk sendirian di kursi depan sekolah.
“Setelah lulus, saya kerja keras. Kuliah sambil kerja. Masuk bank. Nikah dengan pria yang saya kira bisa memberi keluarga normal. Tapi dia sama saja seperti bapak saya. Pemabuk, kasar. Bedanya, dia pakai jas dan dasi.”
“Setelah cerai tahun lalu, saya depresi berat. Sampai harus terapi. Psikolog bilang, saya perlu menghadapi masa lalu saya. Mencari tahu kenapa saya selalu tertarik pada pria yang salah. Lalu saya lihat bapak. Saya langsung ingat bagaimana dulu, di masa paling gelap dalam hidup saya, melihat Bapak dan Savitri memberi saya harapan bahwa ada cinta yang seperti itu di dunia.”
“Saya mencari alamat Bapak. Akhirnya dapat no WA Savitri di grup WA SMA. Mau ketemu, tapi takut. Hampir tiga bulan saya mengumpulkan keberanian. Setiap hari lewat depan rumah ini, tapi tidak berani masuk. Sampai akhirnya… hari ini.”
“Saya cuma mau bilang terima kasih, Pak. Bapak tidak kenal saya, tapi Bapak dan Savitri sudah memberi saya contoh bahwa cinta yang tulus itu ada. Mungkin terdengar aneh, tapi… melihat Bapak dan Savitri dulu, itu yang membuat saya bertahan sampai sekarang.”
Wilis lalu bercerita, bagaimana ia melawan sepi dengan ingatan-ingatan itu. Sepi yang sedemikian tajam, juga potret kebahagiaan yang sedemikian mahal.
Parta mengangguk. Ia paham benar rasa sepi itu. Setahun terakhir, hanya tanaman-tanamannya yang menjadi teman bicara. “Bapak sekarang berkebun?” tanya Wilis tiba-tiba, matanya melirik ke arah jendela yang memperlihatkan kebun belakang yang rimbun.
“Iya, setiap hari. Mau lihat?”
Wilis mengangguk antusias. Kesedihannya hilang begitu saja. Mereka berjalan ke kebun belakang. Parta menjelaskan tentang berbagai tanaman yang ia tanam, cara merawatnya, dan kesenangannya melihat mereka tumbuh. Wilis mendengarkan dengan penuh minat, sesekali bertanya.
***
Sejak hari itu, Wilis mulai rutin berkunjung. Kadang membawakan kue, kadang hanya duduk di teras sambil bercerita tentang pekerjaannya. Parta tak mau kalah, ia mengajarinya berkebun. Wilis ternyata memiliki tangan yang terampil dengan tanaman. Ia bahkan mulai membawa bibit-bibit baru: kemangi, seledri, bahkan mawar mini.
“Pak,” kata Wilis suatu hari, sambil menyiangi tanaman, “kadang saya berpikir, mungkin hidup tidak selalu seperti yang kita rencanakan. Tapi bisa jadi malah lebih baik.”
Parta menatap Wilis. Di matanya, ia melihat pancaran kehidupan yang dulu sempat redup. “Seperti tanaman ini,” jawabnya, “kita tidak bisa memaksa mereka tumbuh seperti keinginan kita. Yang bisa kita lakukan adalah merawat dengan sabar, memberi air, pupuk, dan biarkan mereka menemukan jalannya sendiri.”
Wilis tersenyum. .
***
Hari-hari berlalu. Hubungan mereka tumbuh seperti tanaman di kebun Parta: tak tergesa, tapi menjalar kemana-mana. Perlahan tapi pasti. Tak ada keraguan, meski tanpa rencana. Bahkan ketika Savitri menelepon dan Parta menceritakan tentang Wilis, putrinya itu hanya tertawa kecil.
“Ayah sudah lama sendiri,” kata Savitri, malah menggoda. “Kalau ayah bahagia, aku juga bahagia.” Parta, herannya tak suka dengan pernyataan ini. “Kamu ini ngomong apa”
“Ayah, seperti yang dulu diomongin ke aku; kebahagiaanku adalah saat kamu bahagia. Itu rasa syukurku,” kata Savitri, kali ini dengan nada sungguh-sungguh.
Suatu malam, Parta dan Savitri duduk di teras menikmati teh dan singkong rebus, Wilis tiba-tiba berbisik lembut, “Pak, bolehkah saya mencintai bapak?”
Parta menatap Savitri, lalu buru-buru melihat jalan depan rumah. Sungguh, ia tak siap dengan pertanyaan ini. Yang jelas ia langsung ingat Savitri, istrinya, juga kemungkinan-kemungkinan itu. Ia memikirkan apa yang akan dikatakan tetangga, apa yang akan dipikirkan orang-orang. Meski ai juga teringat kata-katanya sendiri tentang tanaman yang harus dibiarkan menemukan jalan.
“Aku ingin bersama bapak”
“Wilis. Aku takut menyakitimu. Aku terlalu tua, terlalu biasa. Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik, yang lebih sempurna.” Ah, kalimat yang sangat klasik.
Wilis menggeleng. “Aku tidak mencari kesempurnaan. Aku mencari kedamaian. Dan aku menemukannya bersama bapak. Beberapa waktu terakhir ini, untuk pertama kali aku menemukan banyak hal”
Parta tidak menjawab. Ia bingung harus bagaimana. Wilis menunggu. “Aku keluar sebentar,” kata Parta.
Ia pun melangkah meninggalkan pintu rumah, lalu berjalan. Ia tak tahu harus bagaimana. Melewati beberapa mini market, ia terus saja berjalan. Melihat gedung, langit, dan pepohonan, ia terus saja berjalan. Ini proses yang tak dimengerti. Tentang istrinya yang buru-buru pergi, Savitri yang ikut suaminya, dan Wilis yang mencintai dengan tiba-tiba.
Parta terus berjalan. Tiba-tiba ia marah dan kecewa. Ia marah karena dipaksa sendiri. Kecewa karena menemukan jalan yang timpang dan tak mungkin. Ia meradang. Tapi tak tahu harus bagaimana.
Jelang tengah malam, Parta pulang. Teras rumah sudah kosong, pintu sudah ditutup. Ia hanya melihat secangkir teh yang dingin. Perlahan ia membuka pintu, lalu melangkah masuk. Beberapa saat ia nampak kecewa, karena kembali menemukan rumah yang kosong.
Ternyata tidak, Wilis tertidur di kursi kayu panjang yang menghadap kebun. Begitu rapuh, memeluk bantal erat-erat.
Wonogiri, Desember 2024