Kuharap bisa menahan diriku dari serangkaian kejadian aneh yang telah yang membuatku tertekan sebulan lalu. Aku tahu, tentu saja, bahwa tetangga sedang bergunjing; aku bahkan mendengar hal-hal tak benar menyebar di distrikku – desas-desus, harus kusebut begitu, yang mana tak ada kebenaran di dalamnya. Bagaimanapun, harapanku untuk memiliki momen privasi telah sirna kemarin, dengan datangnya dua anggota dari Fourth Estate yang memastikan tentang sebuah kisah, atau sebaiknya disebut sebuah desas-desus, telah menyebar melampaui arondisemen-ku.[1]
Untuk pemberitaan ke depan, kupikir adil untuk mengungkapkan secara detail peristiwa yang sedang terjadi, yang disebut sebagai Kejanggalan di 7 rue de M –, agar tak ada omong-kosong yang ditambah-tambahkan hanya untuk mengarang cerita, yang sebetulnya tak pernah ada jika tanpa bizarrerie, keanehan, di dalamnya. Biar kuatur pemberitaannya seolah desas-desus tak pernah ada, dengan demikian masyarakat bisa menilai situasi yang terjadi.
Saat awal musim panas aku membawa keluargaku ke Paris dan tinggal di sebuah rumah kecil yang cantik, tepatnya di 7 rue de M–, bangunan yang di masa sebelumnya merupakan kandang kuda dari rumah yang amat besar di sampingnya. Properti di dalamnya sekarang dimiliki dan sebagian dihuni oleh keluarga bangsawan dari Perancis pada masanya, dan kaum puritan yang anggotanya masih menganggap bahwa Bourbons tak dapat diterima sebagai pihak yang menuntut tahta Kerajaan Perancis.
Sedikit perubahan kecil di tiga lantai kamar, di atas sebuah tanah yang beraspal, di situlah kubawa keluarga kecilku, yang terdiri dari istri, tiga anakku (dua laki-laki kecil dan seorang remaja perempuan), dan tentu saja diriku sendiri. Pembantu kami yang, katakana saja, selain dari yang disediakan di rumah ini, terdiri dari: seorang juru masak Perancis yang handal, seorang pembantu berkebangsaan Spanyol, dan sekretaris pribadiku, yaitu gadis berkebangsaan Swiss yang memiliki capaian-capaian hebat dan ambisi besarnya hanya bisa disamai oleh moralnya yang agung. Mereka inilah keluarga kecil kami ketika peristiwa, yang akan kusampaikan kronologinya, dimulai.
Jika orang harus punya perantara dalam kasus ini, maka tak dapat kutemukan jawaban lain, bukan untuk menempatkannya pada posisi yang bersalah melainkan asal dari semua kejadian janggal ini, meski ia tak bersalah, adalah pada anakku, John, yang saat ini baru menginjak usianya yang ke-8 tahun, anak lincah yang begitu menawan dengan giginya yang ompong.
Laki-laki muda ini, sejak beberapa tahun terakhir di Amerika, tak lagi kecanduan mengunyah permen karet sebagaimana anak-anak fanatisan yang begitu aneh di Amerika, dan salah satu aspek menyenangkan dari awal musim panas kami di Paris adalah mengetahui kenyataan bahwa Cadet John tak membawa permen mengerikan itu dari Amerika. Cara bicara anak itu menjadi jelas dan tak lagi gagap, serta ekspresi mengagumkan terpancar dari matanya.
Sayangnya, situasi menyenangkan itu tak berlangsung lama, sebuah keluarga dari teman lama yang sedang berkeliling Eropa membawa lebih lebih dari cukup permen karet sebagai hadiah untuk anak-anak, pikirnya untuk menyenangkan hati anak-anak.
Setelahnya keadaan yang telah familiar kembali dengan sendirinya. Kata-kata yang diucapkan bercampur dengan suara celepuk permen karet dan bunyi kecapan. Rahangnya bergerak secara terus-menerus, dan membuat ekspresi wajah kesakitan, matanya berkaca-kaca seperti seekor babi sekarat yang uratnya baru saja terputus. Karena aku tak bisa mengabaikan tingkah anak-anakku, kuputuskan untuk mengakhiri musim panas yang tenang seperti harapanku semula.
Untuk sebuah alasan, kuabaikan hal-hal yang menjadi fokusku mengenai hak azasi manusia. Ketika kususun materi untuk sebuah buku atau permainan atau esai yang membutuhkan konsentrasi penuh, aku cenderung menerapkan aturan tirani untuk membuatku nyaman dan bekerja dengan efektif. Salah satu yang menjadi aturannya adalah orang tidak diperbolehkan mengunyah ataupun bergumam ketika aku sedang mencoba berkonsentrasi. Aturan ini dipahami oleh Cadet John, yang menerimanya sebagai hukum alam dan dia pun tak menentang atau menghindari aturan. Adalah kemauannya sendiri dan merupakan hiburan baginya untuk datang ke ruang kerjaku, duduk diam di sampingku sesaat. Dia tahu bahwa dia harus diam dan apabila dia telah tinggal dan berdiam untuk waktu yang cukup lama, sebagaimana biasanya, dia pergi keluar, membiarkan kami berdua dihubungkan oleh keheningan.
Dua minggu lalu di sebuah sore, aku duduk menyusun sebuah esai pendek untuk Figaro Litteraire, sebuah esai yang kemudian memunculkan kontroversi ketika telah dicetak dengan judul ‘Sartre Resartus’. Aku telah sampai pada fokusku pada pengemasan yang pantas untuk menjiwainya, ketika kemudian dengan heran dan kecewa kudengar suara celepuk yang lirih dari gelembung permen karet yang meletus. Kupelototi anakku dan melihatnya mengunyah sambil berlalu. Pipinya memerah jengah dan urat di rahangnya nampak dengan jelas.
‘Kamu tahu aturannya, Kan?” ucapku dengan dingin.
Aku heran, air matanya keluar ketika rahangnya masih mengunyah, suara tak jelas terpaksa keluar dari mulutnya yang juga masih mengunyah permen karet di mulut. “Aku tak melakukannya!”
“Apa maksudmu tak melakukannya?” tanyaku dengan marah. “Aku dengan jelas mendengarnya dan sekarang aku melihatnya sendiri.”
“Ayaaah!” dia mengerang. “aku benar-benar tak melakukannya. Aku tidak mengunyahnya, Ayah. Permen ini mengunyahku.”
Untuk beberapa saat kuperiksa anakku dari dekat. Dia adalah anak kecil yang jujur, hanya tekanan luar biasa yang bisa memaksanya berbohong. Aku terpikirkan hal-hal mengerikan bahwa permen karet itu punya caranya sendiri dan membuat anakku menjadi goyah. Jika memang begitu lebih baik memperlakukannya dengan lembut. Dengan pelan kuletakkan tanganku di depannya, “taruh di sini,” kataku baik-baik.
Anakku sebisa mungkin melepaskan permen karet dari rahangnya. “Permen ini tak mau keluar!” Ucapnya tergagap.
“Buka mulutmu,” kataku dan kemudian memasukkan jariku ke dalam mulutnya. Aku memegang gumpalan permen karet dan berusaha mengeluarkannya setelah berkali-kali sifatnya yang licin membuat jariku tergelincir, kuatur untuk memaksanya keluar dan menaruh gumpalan menjijikkan itu di atas mejaku, di atas sepotong kertas putih.
Untuk beberapa saat, permen itu terlihat seperti gumpalan menjijikkan di atas kertas, dan lama-lama mulai bergelombang, mengembang dan mengempis seperti sedang dikunyah, ketika kusaksikan sendiri dengan mata kepalaku bersama anakku.
Cukup lama kami mengamatinya, sedang aku memikirkan sebuah alasan yang bisa menjelaskan situasi. Bisa jadi aku sedang bermimpi, atau sebuah alasan yang belum diketahui telah membuat permen karet itu berdenyut di atas meja.
Aku bukanlah orang yang bodoh saat mempertimbangkan hal-hal yang tak sepatutnya, seratus pemikiran kecil dan secercah pemahaman melintas di kepalaku. Akhirnya aku bertanya, “sudah berapa lama permen ini telah mengunyahmu?”
“Sejak malam kemarin,” dia menjawab.
“Dan kapan kau pertama kali sadar, permen ini, menjadi seperti ini?”
Dia berbicara dengan sikap terus terang yang sempurna, “kuminta kau untuk percaya padaku, Ayah,” katanya. “Semalam sebelum pergi tidur, aku meletakkannya di bawah kasurku seperti biasanya. Malamnya aku terbangun untuk melihat apa yang ada di dalam mulutku. Kuletakkan lagi di bawah bantalku, dan pagi ini, permen ini lagi-lagi ada di mulutku, ada begitu saja.
Entah bagaimana ketika aku terbangun, aku menyadari ada gerakan kecil dan sesaat setelahnya aku menjadi sadar bahwa aku tak lagi mengendalikan permen itu. Permen itu mengendalikan dirinya sendiri. Aku mencoba membuangnya, Ayah, tapi tak bisa.
Kau sendiri lihat betapa susah melepaskan permen itu dengan tenagamu. Aku datang kemari untuk menunggu sampai kau luang karena ingin memberitahumu masalah yang kuhadap. Ayah, apa menurutmu yang sedang terjadi?”
Gumpalan yang berdenyut itu menyita penuh perhatianku.
“Harus kupikirkan,” kataku. Ini adalah sesuatu yang sedikit tak biasa, dan aku tak akan membiarkannya begitu saja tanpa menyelidiki.”
Saat aku sedang berbicara, ada perubahan pada permen karet itu. Permen itu berhenti berdenyut dengan sendirinya dan terlihat beistirahat untuk sementara, dan kemudian bergerak, mencair, mengalir seperti hewan monoseluler dari orde Paramesium, permen karet itu berpindah ke seberang meja dan mengarah pada anakku.
Untuk beberapa saat aku tercengang dan bahkan dalam waktu yang lama, aku gagal memahami maksudnya. Permen itu jatuh di lutut anakku, bergerak naik ke kaos bagian depan. Setelahnya baru aku mengerti. Permen itu mencoba untuk kembali ke mulutnya. Anakku melihat ke bawah dengan muka pucatnya yang ketakutan.
“Hentikan!” teriakku saat menyadari bahwa anak ketigaku sedang dalam bahaya dan saat itu juga aku bisa melakukan kekerasan yang mengarah pada pembunuhan. Kutarik moster itu dari dagunya dan menyingkirkannya dari meja kerjaku, memasuki ruang keluarga, membuka jendela dan melemparkannya ke keramaian di rue de M –.
Aku percaya bahwa sudah menjadi tugas orangtua untuk menjauhkan hal-hal mengerikan yang bisa menyebabkan mimpi buruk atau trauma pada anaknya. Aku kembali ke ruang kerjaku untuk melihat si kecil John yang sedang duduk saat kutinggalkan tadi. Dia memandang ke atas langit. Ada masalah yang terlihat dari garis alisnya.
“Nak,” panggilku, “kau dan aku telah menyaksikan suatu hal yang telah usai, susah untuk dijelaskan agar orang lain bisa mengerti. Aku memintamu untuk membayangkan apa yang terjadi jika harus menceritakannya pada anggota keluarga yang lain. Aku sangat takut jika kita akan ditertawakan di luar rumah.”
“Ya, Ayah.” Dia menjawab dengan pasrah.
“Karena itu, aku akan meminta padamu, Anakku, untuk menyimpan kisah itu jauh di dalam ingatan kita dan tak akan pernah menyebutkannya kepada orang lain seumur hidup.” Aku menunggu dia menyetujuiku dan hal itu tak kunjung terjadi, aku menengadah dan menatapnya untuk melihat kekacauan yang disebabkan oleh rasa takut.
Pandangan matanya kosong. Aku melihat ke arahnya memandang, ke bawah pintu. Di sana terdapat selembar kertas kusut, yang telah dilempar keluar sebelumnya, berubah menjadi gumpalan abu-abu dan merayap di atas permadani, berdenyut dan memamah. Setelah beberapa waktu, benda itu bergerak lagi dengan gerakan pseupodia[2] mengarah pada anakku.
Dengan panik, kupukul benda itu sesegera mungkin. Kuambil benda itu dan melemparnya ke atas mejaku, dan menyambar Africa War Club di antara tropi yang berjejer di dinding, benda mengerikan yang dilapisi kuningan. Kupukuli permen karet itu sekuat tenaga hingga aku kehabisan nafas dan membuatnya seperti potongan plastik yang robek.
Ketika aku berhenti memukul, benda itu menggumpal kembali dengan sendirinya, dan dalam beberapa saat bergerak dengan sangat cepat, seperti menertawakan ketidakberdayaanku, dan bergerak dengan tak terkendali ke arah anakku, yang pada waktu itu sedang berjongkok, dan menjerit histeris.
Sekarang aku berkeringat dingin. Kuambil benda kotor itu dan membungkusnya dengan sapu tanganku, membawanya keluar rumah, aku berjalan 3 blok ke Seine dan melempar sapu tanganku ke dalam arus yang bergerak perlahan. Kuhabiskan siang untuk menenangkan putraku dan mencoba meyakinkannya bahwa ketakutannya telah berakhir. Tapi, rasa cemas membuatku harus memberikan dia obat penenang agar bisa tidur nyenyak malam itu, sementara istriku menawarkan untuk memanggil dokter. Aku, saat itu, tak berani memberikan alasan mengapa aku tak bisa menuruti kemauannya.
Aku, begitu juga dengan seisi rumah, terbangun di malam hari dengan dengan rasa takut oleh redam jerit dari kamar anak-anak. kuturuni dua tangga sekaligus dan masuk ke dalam ruangan, menyambar saklar lampu begitu sampai di kamar anak-anak.
John duduk di atas Kasur dan menangis histeris, dengan jari merogoh mulutnya yang setengah terbuka, mulut yang menyunyah dengan menyeramkan. Sebagaimana kulihat sebuah balon menyatu di antara tangannya dan meledak dengan suara celepuk permen karet yang basah.
Sungguh sangat beresiko menyimpan rahasia saat ini! Semuanya harus segera dijelaskan, tapi menjelaskan permen karet yang menempel di papan kayu dan stik es krim mungkin lebih mudah daripada yang terjadi saat ini.
Aku senang atas bantuan dan pelipuran yang diberikan padaku. Tidak ada kekuatan seperti itu di keluarga kami. Koki perancis kami memecahkan masalah dengan menolak mempercayainya meski dia sendiri melihatnya. Ini tak masuk akal, dia menjelaskan, dan dia adalah anggota tak masuk akal dari keluarga yang tak masuk akal. Pembantu berdarah Spanyol memanggil dan membayar orang untuk ritual eksorsisme yang dilakukan oleh pastor paroki, seorang laki-laki miskin, setelah dua jam pergulatan, ia pergi sembari bergumam bahwa ini lebih merupakan masalah perut daripada masalah jiwa.
Selama dua minggu kami dikepung oleh moster. Kami membakarnya ke dalam tungku api, membuat semburan api biru dan meleleh dengan kacaunya di antara abu. Sebelum pagi, benda itu telah merangkak menuju kamar anak-anak, meninggalkan jejak abu kayu di pintu, dan lagi kami terbangun oleh jeritan dari Cadet.
Dalam keputusasaan aku pergi jauh ke negara bagian dan membuangnya dari mobil otomatikku. Benda itu kembali sebelum pagi. Tampaknya benda itu merangkak di jalan raya dan melewati kemacetan Paris hingga tersangkut di ban truk. Ketika kami kembali membuangnya dari mulut John, benda itu masih punya cap bekas ban Michelin.
Lelah dan frustasi menggelayuti kami sekeluarga. Dalam kelelahan yang teramat, dengan keinginan untuk kembali memusnahkannya, dan setelah mencoba segala kemungkinan untuk membuang dan menghancurkan permen karet itu, kuletakkan benda itu ke dalam toples yang biasanya kugunakan untuk microscopeku. Aku terduduk di atas kursi, kelelahan, dan mengamatinya dengan pasrah. John tidur di Kasur kecilnya di bawah pengaruh obat penenang, kujanjikan padanya tak akan membiarkan benda itu lolos dari pengawasanku.
Kunyalakan lilin dan duduk kembali untuk mengawasinya. Di dalam toples, gumpalan abu-abu itu bergerak tak henti untuk mencari jalan keluar membebaskan diri dari penjara. Lagi dan lagi, benda itu berhenti sebentar seolah sedang berpikir dan membuat gelembung dan mengarahkannya padaku. Aku dapat merasakan kebenciannya padaku. Saat merasa lelah sekali aku terjerembab pada pemikiran, analisa yang tak terpikirkan sebelumnya.
Permulaan yang kuselesaikan dengan terburu-buru. Hal itu pasti berasal dari keterikatan terus menerus dengan kehidupan yang buruk, yang mana adalah milik anakku, sihir itu telah diciptakan di dalam permen karet. Dan bersama dengan kehidupan mucullah akal, bukan akal dari anak laki-laki gagah yang berpikiran terbuka, tapi sebuah kejahatan yang cerdas.
Bagaimana bisa sebaliknya? Kecerdasan tanpa sanubari yang mampu mengimbangi pasti akan menjadi kejahatan: permen itu belum menyerap sebagian jiwa John.
Baiklah, pikirku, sekarang kita punya hipotesis dari mana benda itu berasal, mari kita pertimbangkan sifat alaminya. Apa yang dipikirkannya? Apa yang diinginkannya? Apa yang dibutuhkannya? Otakku melonjak terlalu kencang seperti Anjing Terrier. Benda itu butuh dan ingin kembali ke tuannya, Anakku. Ia ingin dikunyah. Ia harus dikunyah untuk bisa bertahan.
Di dalam toples, permen karet itu menyisipkan bagian tipis dari dirinya di bagian bawah toples kaca yang berat dan mengerut sehingga seluruh gelas terangkat beberapa inchi. Aku tertawa sambil mengembalikan toples itu ke tempat semula. Aku tertawa begitu kencang seperti memenangkan sesuatu yang luar biasa. Sekarang, aku punya jawabannya.
Di ruang makan kuambil sebuah piring plastik bersih, salah satu dari lusinan yang dibeli istriku untuk piknik di negara bagian, lalu membalikkan toples di atas piring dan mengamankan moster di dalamnya. Kuolesi bibir toples dengan semen plastik berat yang terjamin bebas tembus dari air, alkohol, dan juga cairan asam. Kumasukkan piring itu dengan paksa dan menekannya sampai lem mulai menempel dan melekatkan piring itu pada kaca, membuat wadah yang kedap udara. Dan terakhir, kubalikkan toples kaca pada posisi semula dan menambahkan lampu baca sehingga bisa kulakukan observasi pada setiap pergerakannya dari penjaraku.
Lagi dan lagi, benda itu mencari lubang untuk melarikan diri. Kemudian ia menghadap padaku dan mengeluarkan gelembung-gelembung yang tak terhitung jumlahnya dengan sangat cepat. Dapat kudengar suara leutpan-letupan kecil dari dalam toples kaca.
“Sekarang aku punya kau, Cantik,” kataku setengah berteriak. “Setidaknya kau milikku.”
Hal itu terjadi seminggu yang lalu. Aku belum pernah pergi meninggalkan toples gelas sejak itu, dan hanya memalingkan kepala untuk menerima segelas kopi. Ketika aku pergi ke kamar mandi, istriku mengambil alih posisiku. Sekarang dapat kulaporkan berita yang menjadi titik terang berikutnya.
Pada siang dan malam hari pertama, permen karet itu mencoba segala cara untuk keluar. Kemudian siang dan malam berikutnya, benda itu terlihat gelisah dan gugup seolah-olah baru menyadari situasi sulitnya. Hari ketiga ia bekerja dengan gerakan mengunyah, hanya saja gerakannya menjadi sangat cepat seperti kunyahan penonton baseball. Pada hari ke-empat benda itu mulai melemah dan kuamati dengan perasaan senang bagian kering yang dulunya licin dan mengkilat di luar.
Saat ini aku sampai pada hari ke-tujuh dan percaya bahwa hal ini akan segera berakhir. Permen karet itu terbaring di tengah-tengah piring. Nafasnya kembang-kempis. Warnanya berubah menjadi kuning pucat menjijikkan. Suatu ketika saat anakku memasuki ruangan, benda itu melompat dengan semangat, sesaat kemudian ia terlihat sadar bahwa ia tak memiliki harapan dan kembali terkapar di atas piring. Benda itu akan mati malam ini, kupikir begitu, dan hanya dengan itu kemudian dapat kugali lubang di taman dan kusimpan toples bersegel itu di dalamnya dan menutupnya dan menanam geranium di atasnya.
Harapanku adalah bahwa laporan ini akan meluruskan cerita-cerita bodoh yang menyebar di antara para tetangga.
Cerita ini diterjemahkan dari tulisan Steinbeck berjudul ‘The Affair At 7 Rue de M – sebagai peringatan Hari Lahirnya (27 Februari). Satu yang menarik dari cerpen ini adalah karena keunikannya dari sebagian besar karya Steinbeck yang memuat tragedi dan ditulis dengan puitik. Membayangkan Steinbeck, yang kita kenal dengan aliran realis, duduk menulis cerita horor-fantasi sungguh pengalaman yang lain, dan menerjemahkan satu cerita ‘nyele’ ini adalah penghormatan terhadap bakat menulisnya yang tak terbatas dari penggemar setianya.
Diterjemahkan oleh Chusnul Chotimmah, pembaca setia Steinbeck yang sedang menempuh studi Magister Ilmu Politik di Universitas Airlangga.
[1] Arondisemen adalah pembagian daerah administrative yang banyak digunakan di Perancis, dapat pula diartikan sebagai distrik.
[2] Alat gerak pada bakteri. Disebut pula kaki semu