Apa yang kau ingat dari perjalanan kita? Tentang hari-hari bersama, percakapan dengan secangkir latte di kedai kecil pinggiran kota?
Kau selalu mengatakan, “Aku mulai tak peduli”. Kami tertawa, dan kau makin erat menggenggam tanganku. Kau yang selalu tahu, aku bukan perempuan yang rapuh. Karena kita terbiasa dengan jalan yang tak mudah. Jalan yang terus memaksa, kendali yang kadang sulit dimengerti. Kita juga sama-sama tahu, pada suatu saat, kita tak bersama. Kau di jalanmu, aku di jalanku. Kita tenggelam dalam fokus yang sedemikian tak mungkin.
Kita hanya jendela bidik, lalu membiarkan mereka menebak. Dari mana asalnya, apa alasannya. Dan saat semua urusan kerja selesai, kita bertemu di kedai.
Kedai jingga dengan ruang yang terbagi dua. Di dalam ruangan, dan teras yang terbuka. Kau selalu meminta agar di teras. Aku sering melihatmu menikmati puzzle dalam frame di dinding kedai. Katamu, suatu saat kau akan menemukan kuncinya. Kami lagi-lagi tertawa, dan bersenandung dalam hujan. Menikmati yang jatuh untuk membersihkan semua.
***
Hari itu, sekeluar dari masjid, kau membisikkan sesuatu, “Aku ingin kita menikah”. Aku yang tiba-tiba bodoh mengangguk. Larut dalam keinginan beruntun yang datang sejak bertemu. Saat kita di satu titik, saat plan A dan B menyatu meski harusnya berseteru. Tapi nyatanya tidak. Ia malah menyapa seolah taknpa makna. Lalu kami bicara panjang, seperti dua remaja naif yang lama tak bersapa. Pembicaraan panjang, seperti ruang rindu yang bergemuruh tanpa malu.
***
Lalu seperti kisah drama, sebelum impian itu jadi nyata, kami berpisah. Kami menangis seperti anak kecil. Kami mengurung diri. Tapi rindu memaksaku melihat dari jauh, berjalan dalam hujan yang sedemikian lebat, demi melihatmu berdiri di depan musholla menunggu hujan reda.
Aku tak bisa berkata-kata. Orang-orang di sekitarku terasa asing. Juga ibu yang tiba-tiba tak mau tahu. Ia jadi pemurung, sering menangis saat berdiri di dapur. Beberapa kali ia menyeka air mata, tapi sesudahnya mengalir begitu saja.
Ya, aku menemuinya dalam keadaan yang berbeda. Ibu selalu tersenyum hangat, tapi hari itu nampak terluka. Ibu yang selalu hangat, tapi sekarang kerap merasa hampa. Aku hanya melihat dari jauh, tak berani mendekat. Hanya menebak-nebak, apa yang sedang terjadi. Ayah selingkuh?
Aku bergegas ke kantornya. Ternyata apa yang aku temui sama saja. Ayah duduk di belakang meja besar, terdiam dengan mata berkaca-kaca. Laki-laki perkasa yang mendadak sedemikian rapuh. Lelaki yang dulu kerap menggendongku dengan satu tangan, bertubi menciumku. Aku beringsut mundur, aku menjauh. Aku tak ingin mengganggu.
Dulu, ayah dan ibu pernah saling diam. Saat aku bertanya, ayah hanya berkata. “Kami baik-baik saja”. Lalu sepulang dari Singapura, dua hari kemudian, semua seolah tak ada apa-apa. Aku senang, karena kehangatan itu kembali ada.
***
Aku berjalan di trotoar jalan, mencari banyak jawaban. Tak terasa, langkahku berhenti di depan kedai. Sebuah motor melambat, berbelok ke halaman kedai. Kau. Melihat ke arahku sesaat, lalu berjalan menuju teras kedai. Dari jauh aku melihat. Dari jauh aku tahu, ia memesan secangkir latte. Dan dari jauh aku merasa, ia sedang tidak baik-baik saja. Ia membuka laptop, dan menulis entah apa.
Langit mendung, dan hujan turun tiba-tiba. Tubuhku basah kuyup, tapi tak berani mendekati. Sesekali ia melihatku, hanya beberapa detik. Tanpa sapa. Aku seperti orang mati. Seperti cerita tentang kepercayaan kecil di kampungmu, bahwa saat mati, kita dibatasi banyak hal. Ada energi besar yang memaksa, agar kita tidak bisa dekat dengan orang yang kita cinta.
Tapi aku bukan orang mati. Aku masih bisa bertemu ibu, ayah, dan kamu. Aku terus berdiri, tak mampu menjauh, tapi juga tidak berani mendekat. Ia sesekali menatap ke arahku. Aku tahu, ada rindu yang datang. Aku terus menunggu.
***
Aku terbangun saat ibu menggoreng ikan di dapur. Aromanya mengusik, membuatku tersenyum. Ah, persis kata ayah. Semua akan baik-baik saja. Aku melihat ibu tersenyum, meski matanya masih sembab. Aku langsung duduk di kursi makan, melupakan semua yang terjadi. Ibu membuat nasi haninan dan ayam kung pao.
Suatu saat aku pernah protes, “Aku pingin ikan, yang digoreng garing”. Ibu tertawa. Tentu bukan paduan yang tepat. Gara-gara kakek sih. Lidahku jadi kacau.
Sejak saat itu, meski ibu masak nasi hainan, ia juga menyiapkan ikan asin yang digoreng garing. Aroma kaldu ayam pun berbaur dengan ikan asin. Saat semua tersaji, aku tertawa tak peduli.
Ibu meletakkan makanan di sebuah meja. Sambil menikmati, aku melirik ibu yang khusuk bersembahyang. Lalu meja itu. Sebilah papan, dupa, lilin, dan uang kertas. Di sisi lain, ada makanan dan minuman seperti yang sedang aku makan. Dan fotoku.
***
Aku dan ruang beku. Tak bisa berkata-kata, benar-benar tak bisa berbuat apa-apa. Saat ibu berdiri, ada telepon berbunyi. Dari ayah. “Yang nembak? Sudah tertangkap? Sekarang di kantor polisi?” ucap ibu terisak. Tubuhnya lunglai, menangis sejadi-jadinya. Aku duduk diam, dan ingatan itu terurai satu persatu. Terakhir saat seseorang menghampiri aku di lahan parkir, lalu mengelurkan pistol.
***
Hari itu aku duduk di depanmu. Menikmati diam dan ingatan-ingatan. Kau pernah bercerita tentang ayahmu yang tak suka kebersamaan ini. Ayahmu yang memiliki karir politik gemilang, kerap muncul di televisi dengan senyum tak terkira.
Lalu ia diam-diam mengirim utusan untuk menemuiku dengan kalimat sederhana, bahwa aku harus menjauh atau ia akan melakukan apa saja demi reputasi. “Tak masuk akal, anak orang nomor satu di kota ini punya mantu berbeda agama,” kata si pembawa pesan, tetap dengan senyum yang terjaga. Aku tak pernah menceritakan ini ke kamu.
Tatapan itu terus tenggelam di layar laptop, menulis entah tentang apa. Aku sengaja tak mencari tahu, karena aku lebih suka melihat matamu. “Kamu keliru, aku ternyata bisa mendekatimu. Aku tak bisa dijauhkan dari kamu. Energi itu, aku akan terus melawannya,” bisikku. Dan hujan turun perlahan. ***