Di ujung kampung, di pertigaan jalan yang sepi, berdiri sebatang rumah dengan taman bunga yang terawat rapi. Rumah itu milik Mbak Laras, seorang perempuan berusia tiga puluhan yang datang entah dari mana, membawa misteri yang meresapi setiap sudut kampung kecil itu.
Pertama kali melihatnya, Mbak Laras tampak begitu asing namun memikat. Aku pernah melihat dia mengenakan blus putih tipis selalu memeluk tubuhnya, sandal putih yang berkilau seperti milik tamu hotel menempel di kakinya yang langsing. Matanya teduh, namun ada sesuatu di balik kesejukan itu—sebuah kedalaman yang membuat orang enggan menatapnya terlalu lama.
Kedatangannya pascapemilu tidak menimbulkan keributan. Seorang laki-laki setengah baya—yang dipercaya sebagai ayahnya— mengurus segala keperluan administratif. Mercedes hitam mengkilap membawa laki-laki itu, seorang sopir berbaju jas hitam mendampinginya. Hanya dalam waktu singkat, semua urusan kependudukan Mbak Laras selesai. Ia membayar iuran kampung satu tahun penuh, tanpa sepatah kata pun dengan tetangga.
Aktivitas hariannya sederhana. Pagi buta, Mbak Laras duduk di teras rumah, menatap langit yang masih kelabu. Kemudian berjalan ke taman pribadinya, jemarinya dengan teliti memetik bunga—melati, mawar, kamboja—tanpa alasan yang jelas. Bunga-bunga itu tidak pernah ia pasang dalam vas, tidak pula ia kirim kepada siapa pun. Sekadar dipetik, lalu entah ke mana.
Gosip pertama bermula dari Romli, pedagang air galon yang selalu punya cerita. “Dia orang gila,” bisiknya suatu siang kepada tetangga-tetangga yang berkumpul di warung. “Dari Jakarta. Keluarganya orang kaya. Lihat saja ayahnya datang pakai Mercy!”
Malamnya, ketika suamiku pulang, aku langsung cerita semuanya. Tentu dengan sedikit bumbu penyedap di sana-sini. Suamiku mendengar dengan penuh antusias. Aku selalu menyukai tatapan mata itu. Ingin tahu, berkilat-kilat. Andai tak ada bekas luka di keningnya, ia berasa makin sempurna. Ah, malah bahas mas suami.
Tapi gosip sejati datang bersamaan dengan kemunculan empat ekor kucing hitam. Aku sendiri tidak terlalu paham apa arti kucing hitam. Tapi saat browsing di internet, aku data info kalau dalam sejarah Eropa, kucing hitam sering dianggap sebagai pertanda buruk, seperti kesialan, kesengsaraan, dan kematian.
Kata cerita rakyat Eropa pada Abad Pertengahan, kucing hitam dapat berubah menjadi penyihir atau setan. Uniknya, di Skotlandia dan Irlandia, kucing hitam malah dihormati dan diistimewakan.
Katanya jadi tanda kemakmuran dan rezeki melimpah. Persis di Inggris, kucing hitam bawa keberuntungan. Di beberapa wilayah kucing hitam malah dijadikan hadiah pernikahan.
“Itu kucing peliharaannya, kucing hitam. Saya juga baru tahu kalau dia punya kucing hitam,” kata Romli. “Pas awal tinggal di situ, saya tidak pernah melihat kucing hitam ini. Aduh, kok ya kucing hitam. Tahu sendiri lah…”
Sambil bergumam gara-gara gosip Romli, aku jalan pulang. Langkahku tiba-tiba terhenti. Dari balik pagar, aku melihat Mbak Laras di sudut taman rumahnya. Sambil jongkok dan memegang beberapa tangkai bunga, ia menasihati kucing hitamnya. Astaga, ternyata benar kata Romli. bedanya, kucing hitam itu ada empat, bukan satu.
Mendadak aku merasa cemas melihat ini. Apalagi saat hendak bergegas pergi, dia melihat ke arahku. Tersenyum. Menyapa. “Selamat sore, jeng”. Lalu perlahan menghampiri aku. Untuk pertama kali aku melihat dia dari jarak dekat. Untung ada pagar di antara kami.
Aku yang takut, ragu tersenyum lalu menganggukkan kepala. Mbak Laras menatap aku sambil terus tersenyum. Meski aku tak melihat, aku tahu, dia terus melihat ke arahku. Sambil tersenyum.
***
Seorang pedagang pasar melihat laki-laki setengah baya itu datang. Mercy hitam itu kembali terparkir di depan rumah Mbak Laras. Kali ini, sang sopir tidak menunggu di dalam mobil. Bersama majikannya, ia membantu membawa sesuatu—empat bungkus yang berbentuk janggal, seperti tubuh yang disembunyikan.
Dua jam kemudian, mereka keluar. Di samping taman bunga melati, mereka menguburkan sesuatu. Empat ekor kucing hitam itu menghilang.
Sosok Mbak Laras dan laki-laki ber-Mercy itu terasa makin misterius. Sejak saat itu, Mbak Laras tidak pernah menampakkan batang hidungnya. Pintu dan jendela rumah selalu tertutup. beberapa kali lampu teras dibiarkan tidak menyala sampai pagi-pagi berikutnya.
***
Setiap lewat di depan rumahnya, aku mencoba mencari-cari. Melihat Mbak Laras yang sibuk memetik bunga. Juga mencari kucing-kucing hitamnya.
Sampai suatu saat, ia lagi-lagi menyapa saat aku berjalan cepat di depan rumahnya. Aku tak bisa menolak. Aku berhenti dan perlahan menatap dia.
“Mari masuk, jeng. Saya punya teh hijau,” katanya sambil tersenyum. Klai ini aku tak bisa menolak. Ia menggiring aku dengan tatap matanya. Membiarkan aku membuka pagar, lalu mulai masuk ke pekarangan. Sesudahnya kami duduk di teras, duduk menikmati secangkir teh dan biskuit dalam toples kaca.
Tak disangka, berbicara dengan Mbak Laras terasa sangat menyenangkan. Ia tak berkelit jika laki-laki ber-Mercy itu suaminya. Ia bahkan mengaku kalau istri kedua.
“Tapi ya tidak apa-apa lah. Saya sendiri nggak tahu kalau dia sudah beristri. Kadung cinta,” ujarnya dengan nada genit. Kami tertawa lepas. Menjelang maghrib, aku pamit. Dia buru-buru berdiri lalu masuk ke dalam rumah. Ah, ternyata mengambil kantung kertas, juga berisi biskuit. Saat pintunya terbuka, aku melihat seekor kucing hitam meringkuk di kursi tamu. Hanya beberapa detik.
***
Hari ini suamiku tidak pulang. Tadi siang dia mengirim pesan via Whatsapp. Ada lembur, jadi sekalian tidur di kantor. Saat aku tiba di rumah, ia lagi-lagi mengirim pesan. Aku membacanya susah payah, “Nggak ketemu satu hari kok masih kangen ya”. Aku tersenyum, tumben nih Mas Suami.
Cahaya matahari pagi membangunkan aku. Lagi-lagi ada pesan di handphone. Lagi-lagi aku membuka ponsel dengan susah payah. Dari Mas Suami, “Aku nanti pulang cepat. Pingin segera bertemu kamu”. Ah, tumben banget Mas Suami. Aku langsung meninggalkan kamar, ingin segera cerita ke Mbak Laras.
Sampai berlari, aku tiba di rumah Mbak Laras. Ia, seperti biasa, sedang asyik memetik bunga. Ia berdiri menyambutku dengan senyum, lalu memberikan susu segar. Aku bersemangat menikmatinya. Mbak Laras tersenyum menepuk-nepuk kepalaku. Dan aku melihatnya, seekor kucing hitam yang meringkuk di atas kursi tamu. Ia menatapku. Seekor kucing yang gagah, mata berkilat-kilat, dengan bekas luka di keningnya
“Kamu boleh mendekati kucing itu, dia sudah menunggumu,” katanya. ***