Arul Subarul, yang lebih akrab disapa Arul Irama, tengah bergelut dengan kertas-kertas penuh coretan not balok di meja sempit kamar kosnya. Tubuhnya yang kurus kering tenggelam di antara asap rokok, membuat udara semakin pengap. Mukanya kusut seperti kertas koran bekas bungkus gorengan murahan. Lagu yang ingin diciptakan masih jauh dari angan-angan.
Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, lalu rebah ke kasur yang lebih mirip papan kayu beralas kain tipis. Matanya menatap kosong menatap langit-langit kamar yang kusam. Dindingnya penuh dengan tempelan poster musisi idola seperti Helloween dan Metallica yang warnanya mulai pudar. Gitar akustik tua yang catnya mulai mengelupas, setia tergolek di sampingnya.
Pikirannya melayang ke berbagai peristiwa yang baru saja terjadi, bak film yang terus berputar tanpa jeda iklan. Mengulang kembali rangkaian peristiwa yang membawanya ke titik ini.
*
Arul Irama nama panggungnya. Terinspirasi dari perpaduan dua dunia: Arul Efansyah, vokalis Power Metal, band rock terkenal di era 90-an, dengan suara setinggi langit. Sementara nama belakangnya, “Irama”, terinspirasi dari Bang Haji Rhoma Irama, sang raja dangdut.
Dibanding Bang Haji yang berbadan kekar dan bercambang lebat, Arul bertubuh kurus tanpa kharisma yang bisa dijual. Arul juga jauh dari kesan “garang” selayaknya rocker. Namun, semangat bermusiknya berkobar-kobar, seperti lilin yang mencoba menantang sinar matahari. Ia membentuk band dengan nama Bengawan Rockdut.
Meski musik rock adalah cinta pertama Arul, perlahan-lahan ia mulai bercinta dengan dangdut. Genre ini, katanya, lebih banyak penggemar alias ramah tehadap kantongnya yang sudah sering “berpuasa”. Arul bermimpi menjadi jembatan antara rock cadas dan melodi dandut yang melankolis.
Mereka bermain di café kecil di Kota Bengawan hingga hajatan kampung. Dari pesta pernikahan hingga sunatan. Sayangnya, honor yang diterima seringkali tak sebanding dengan usahanya. Kadang hanya cukup buat beli bensin sepeda motor bututnya. “Saweran” pun kadang juga alakadarnya. Di musim kampanye, mereka sering tampil untuk partai-partai politik. Bayarannya lumayan, ditambah bonus kaos partai warna warni.
Namun, hidup Arul tak sepenuhnya muram dan penuh derita. Ia punya teman-teman setia; Didin Subaidin si bassist yang selalu bersikap dewasa, Bamin si keyboardist yang sok filosofis, Malik si drummer yang pendiam, dan Gito si peniup suling dan Rifki si penabuh kendang dan perkusi alias kecrek, yang selalu siap menambahkan bumbu humor dalam obrolannya.
Sekian lama menghabiskan waktu buat musik, popularitas yang diimpikan tak kunjung datang jua. Meski sudah mencoba juga cara lain seperti, bikin akun youtube, IG dan tiktok. Hasilnya masih belum memenuhi harapan. Kalah dengan beberapa “content creator” lainnya, yang mendadak populer meski hanya joged-joged tidak jelas.
“Hidup memang tidak adil, bro.. tapi bersabarlah,” kata Didin mencoba bijaksana. Gito pun mengamini dengan mengganggukkan-anggukkan kepalanya. “Tetap semangat bro!” kata Rifki sambil mengelus elus perut gendutnya.
**
Ditengah perjuangan itu, Didin menyarankan merekrut vokalis baru. Muncullah nama Sasha Eliza. Didin mengenalnya sewaktu sama-sama bersekolah di SMP Kota Bengawan. Perempuan muda itu dari kalangan keluarga berada. Sasha baru lulus kuliah dan balik ke Kota Bengawan karena diminta keluarganya “magang kerja” sebagai komisaris diperusahan orang tuanya. Jadi, faktor ekonomi, bukan hal penting baginya.
Sasha Eliza adalah gadis muda berwajah mempesona dengan rambut kecolatan yang selalu terikat rapi. Tubuhnya atletis, berkulit putih dengan mata agak sipit. Di mata Arul, penampilannya begitu sempurna. Sasha membawa aura kesegararan yang mengubah dinamika band.
“Aku mau gabung, tapi syaratnya aku bebas upload video ke akun media sosialku ya,” katanya diawal pertemuan. Arul mengangguk dengan mata berbinar-binar. Baginya, Sasha adalah berkah yang tak mungkin ia tolak. Tak hanya menyanyi, Sasha juga membawa mobil pribadi untuk mengangkut alat-alat band, dan ia juga menolak menerima honor. “Followers di IG udah cukup buatku,” katanya.
Sejak kehadiran Sasha Eliza, band mereka makin dikenal. Pengunjung café bertambah, tips berlimpah, bahkan konten mereka di YouTube mulai menghasilkan pundi-pundi kecil. Bagi pemilik café, kehadiran Sasha Eliza juga menguntungkan usahanya. Vokalis baru itu jadi magnet yang dahsyat! Slot manggung mereka pun ditambah. Band mereka pun makin dikenal. Nama Sasha pun semakin melejit dan menarik perhatian pelaku industri musik.
Bagi Arul, Sasha bukan hanya membawa perubahan di bandnya, namun juga dihatinya yang sudah lama seperti kamar kosnya; kosong dan berantakan! Dimatanya, Sasha lebih dari sekedar vokalis. Gadis itu adalah inspirasi, cahaya, dan mungkin harapan. Arul yang dulu cuek dengan penampilannya, kini selalu rapi. Bajunya lebih bersih, dan rokok ia tinggalkan demi membeli parfum.
“Sejak ada Sasha, kamu berubah kayak bucin kelas berat, Rul, “ komentar Rifki terkekeh, perutnya yang bulat berguncang-guncang. Gito pun mengamini dengan menganggukkan kepala. “Ngawur aja, aku cuma mau jadi lebih baik, “ elak Arul meski wajahnya memerah.
*
Hari-hari berlalu. Kedekatan Arul dengan Sasha semakin sering terlihat. Gadis itu tidak punya banyak teman dekat di Kota Bengawan. Selepas SMP, Sasha pindah ke ibu kota. Arul pun semakin ceria. Sebagai penggerak band, ia mendapat suntikan energi baru. Kreatifitas bermusiknya semakin terpicu.
Mereka sering terlihat berdua, baik mengulik lagu maupun sekedar makan bersama. Gunjingan pun kemudian merajalela. Sasha pun cuek aja dengan gosip tersebut. “Gakpapa, biar kita semakin terkenal,” kata Sasha, membuat perasaan Arul melambung tinggi ke angkasa.
Namun, meski hatinya berbunga-bunga dan penuh cinta, Arul tetap tidak punya keberanian untuk mengungkapkan perasaannya. ”Cinta itu harus diungkapkan dengan kata-kata, Rul” kata Bamin sok filosofis. “Ah sok nasehatin, kamu aja belum laku-laku juga, Min,” balas Arul mencoba menutupi rasa jengahnya.
Namun perkataaan Bamin soal cinta tidak bisa hilang. Kalimat itu muncul seperti “running text” dalam pikirannya. Hingga pada satu malam, Arul merasa waktunya sudah tiba. Apalagi, dalam benaknya Sasha juga memiliki perasaan yang sama.
Di café, Arul mengajak Sasha berbicara di sudut yang sepi, di bawah lampu temaram, berharap suasana mendukung. Ia membawa bunga mawar yang disembunyikan dibalik jaketnya. ” Ada yang mau aku omongin,” kata Arul dengan suara bergetar. “Wih, sama dong, aku juga,” sahut Sasha sambil tersenyum manis lebar, tangannya memegang lengan Arul. Jantung Arul berdebar sepertiu drum speed metal. “Oh gitu, kamu aja dulu yang ngomong,”.
Sasha menghela napas panjang. “Rul.. aku suka banget di sini. Kamu dan teman-teman bikin aku nyaman..,” kata Sasha membuka kata. Kalimat itu membuat jantung Arul berdegup kencang seperti genderang perang. “Sebenarnya sudah agak lama aku mau ngomong ma kamu, tapi kayaknya belum ada waktu yang tepat,” kata Sasha sambil memegang erat lengan Arul. “Emm… kalo sekarang menurutmu waktu yang tepat, bicara aja, aku dengerin,” sambut Arul dengan nada seolah bijaksana.
“Heem… aku mau ngomong sekarang ma kamu. Aku mau pamitan…gak bisa lagi nerusin main di band ini. Minggu depan aku pindah ke Jakarta. Ada tawaran proyek musik besar yang gak mungkin kutolak. Produksinya kereen banget,” kata Sasha lirih.
Arul terdiam, bibirnya kelu. Hatinya serasa dihempas badai. Rangkaian kata-kata cinta yang sudah ia susun lengkap lenyap begitu saja. Ia hanya mengangguk dan menahan getir sembari menyembunyikan bunga mawar di balik jaketnya. “Thanks ya Rul, ntar aku juga mau ngomong ma temen-temen lainnya,” trus tadi mau kamu mau ngomong apa?” tanya Sasha. “Enggak apa-apa, itu keputusan yang bagus,” kata Arul terbata-bata.
Malam itu, Arul hanya bisa berdiri di parkiran, di samping motor bututnya, menyaksikan Sasha pergi bersama produsernya. Di balik kemudi mobil electric vehicle terbaru itu, tampak sesosok anak muda keren dengan perawakan gagah, perlente dan terlihat sangat macho.
Dari balik jendela café, Bamin, Didin, Gito dan Rifki menyaksikan adegan di parkiran itu dengan penuh simpati, atau mungkin geli. Mereka saling tatap, dan tersenyum lebar. “Arul-Arul,” guman Didin sambil menepuk bahu Gito.
Malik pun menghampiri Arul dan merangkul pundaknya, “Hidup ini mirip gitar tua punyamu, Bro..Suaranya serak, tapi lagunya tetap harus dimainkan!,” katanya. Arul pun hanya bisa tersenyum kecut dengan sorot mata hampa.
Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Penulis kolom dan cerpen. Tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea.