Lintang menatap keluar jendela pesawat, melihat awan-awan yang berarak di bawahnya. Tiga puluh tahun hidupnya, dan inilah pertama kalinya ia meninggalkan tanah kelahirannya, Jepara. Hatinya berdebar kencang, campuran antara kegembiraan dan kecemasan yang tak terbendung.
Ibu, di manakah engkau? Pertanyaan itu terus mengusik benaknya, seperti yang selalu terjadi sejak ia kecil. Bayangan samar seorang wanita berambut pirang dengan senyum hangat, membuat hatinya sesak. Ingatan itu begitu kabur, namun begitu berharga.
Tiga puluh tahun yang lalu, seorang peneliti muda dari Prancis datang ke Jepara untuk mempelajari seni ukir yang terkenal. Di sanalah ia bertemu dengan ayah Lintang, seorang pengukir berbakat. Cinta mereka tumbuh di antara aroma kayu cendana dan debu hasil pahatan.
Pesawat mendarat di Charles de Gaulle Airport. Jantung Lintang berdegup kencang saat ia melangkah keluar, merasakan udara Paris untuk pertama kalinya.
Lintang memejamkan mata, membayangkan cerita yang sering dituturkan ayahnya. Bagaimana mereka jatuh cinta, menikah, dan memulai hidup baru bersama. Namun kebahagiaan itu tak bertahan lama. Tiga bulan setelah kelahiran Lintang, ibunya harus kembali ke Prancis karena suatu urusan mendesak.
“Aku akan kembali,” kata-kata terakhir ibunya yang selalu diulang ayah Lintang. Tapi janji itu tak pernah terwujud.
Pesawat mendarat di Charles de Gaulle Airport. Jantung Lintang berdegup kencang saat ia melangkah keluar, merasakan udara Paris untuk pertama kalinya. Genggamannya mengerat pada medali kayu berukir pemberian terakhir ayahnya, di baliknya terukir nama ibunya: “Marie”.
Hari pertama di Paris, Lintang memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar Montmartre. Kafe-kafe kecil berjajar di sepanjang jalan berbatu, mengingatkannya pada warung kopi sederhana di Jepara tempat ia dan ayahnya sering menghabiskan sore hari. Lintang tersenyum getir, membayangkan ayahnya yang selalu mencoba membuat latte art di kopi hitamnya—selalu gagal, tapi selalu membuatnya tertawa.
Di sebuah kafe kecil, Lintang memesan café au lait. Seorang pelayan tua tersenyum ramah padanya, bertanya dalam bahasa Prancis yang tidak ia mengerti. Lintang hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
“Ah, turis?” tanya si pelayan dalam bahasa Inggris yang terbata.
“Ya,” jawab Lintang. “Saya dari Indonesia.”
Mata pelayan itu berbinar. “Indonesia! Saya punya teman yang pernah ke sana. Katanya indah sekali.”
Lintang tersenyum, merasakan kehangatan yang tak terduga di negeri asing ini. Ia membayangkan, mungkinkah ibunya pernah duduk di kafe yang sama, berbincang dengan pelayan yang sama?
Keesokan harinya, Lintang mengunjungi Musée d’Orsay. Di hadapan lukisan-lukisan impressionis, ia teringat buku sketsa ibunya yang pernah ia temukan di loteng rumah. Goresan-goresan lembut pensil yang menggambarkan sudut-sudut Jepara, begitu mirip dengan teknik para pelukis ini. Apakah ibunya terinspirasi oleh mereka? Atau justru Jepara yang menginspirasi gaya lukisannya?
Ia membayangkan, andai ayah masih hidup, betapa senangnya ia bisa berbagi pengalaman ini.
Saat berjalan di sepanjang Sungai Seine, Lintang berhenti untuk mengamati seorang seniman jalanan yang sedang mengukir kayu. Gerakan tangannya yang lincah mengingatkannya pada ayah. Lintang mendekatinya, terpesona.
“C’est beau,” ucap Lintang terbata-bata, mengingat frasa yang ia pelajari dari buku panduan.
Seniman itu tersenyum. “Merci. Vous êtes artiste aussi?” (Terima kasih. Anda juga seniman?)
Lintang menggeleng, tidak mengerti. Seniman itu kemudian beralih ke bahasa Inggris. “Are you an artist too?”
“Tidak, tapi ayah saya…” Lintang terdiam sejenak. “Dia pengukir kayu terbaik di Jepara.”
“Jepara?” Mata seniman itu melebar. “Saya pernah mendengar tentang ukiran Jepara! Sangat terkenal!”
Lintang tersenyum bangga, merasakan kehadiran ayahnya di sisinya. Ia membayangkan, andai ayah masih hidup, betapa senangnya ia bisa berbagi pengalaman ini.
Hari-hari berlalu, dan pencarian Lintang belum membuahkan hasil. Namun, di setiap sudut Paris, ia merasakan kehadiran ibunya. Di Jardin des Tuileries, Lintang membayangkan ibunya duduk di salah satu kursi taman, membaca buku atau mungkin menggambar.
Di Notre-Dame (yang sedang dalam renovasi), Lintang bisa membayangkan ibunya berdecak kagum melihat detail arsitekturnya, mungkin membandingkannya dengan ukiran-ukiran di Jepara.
Suatu sore, saat duduk di bangku taman dekat Eiffel Tower, seorang wanita tua duduk di sampingnya. Mereka mulai berbincang, dan entah bagaimana, Lintang menceritakan kisahnya.
“Ah, l’amour,” kata wanita itu lembut. “Cinta bisa membawa kita ke tempat-tempat yang tak terduga, bukan?”
Lintang mengangguk, matanya berkaca-kaca.
“Jangan pernah berhenti mencari, anak muda,” lanjut wanita itu. “Tapi ingatlah, kadang apa yang kita cari sudah ada dalam diri kita sendiri. Ia tiada, tapi tak pernah kemana-mana”
Kata-kata itu menggema dalam benak Lintang. Malam itu, di kamar hotelnya, ia menatap medali kayu pemberian ayahnya. Untuk pertama kalinya, ia memperhatikan detail ukirannya—paduan sempurna antara motif Jepara dan elemen Art Nouveau khas Prancis.
Lintang tersenyum. Mungkin pencarian ini bukan hanya tentang menemukan ibunya, tapi juga menemukan dirinya sendiri—perpaduan sempurna antara dua dunia, dua budaya, dua cinta yang telah membentuknya.
Besok, Lintang akan melanjutkan pencariannya. Tapi malam ini, di kota yang asing namun terasa semakin akrab ini, ia merasa lebih dekat dengan kedua orang tuanya daripada yang pernah ia rasakan sebelumnya.
Ia mulai leluasa melihat ayahnya berdiri di sebuah pohon. Menatapnya sambil tersenyum. Ia juga melihat ibunya di sudut yang berbeda. Ibunya yang kemudian berdiri dan berjalan menghampiri. “Lama juga aku menunggumu,” katanya.
Selebihnya hanya Lintang yang berdiri tak sia-sia. Dan dua kupu-kupu beterbangan entah kemana.
Jakarta, 3 Mei 2024