Angin musim gugur yang menusuk tulang menerpa wajah Aisyah saat ia melangkah keluar dari Bandara Sheremetyevo. Matanya menyapu pemandangan kota Moskow yang asing namun familiar, sebuah paradoks yang membuat hatinya berdenyut nyeri.
Ia telah meninggalkan Jakarta, melarikan diri dari keinginan ibunya yang ingin menjodohkannya dengan pria yang tak ia kenal. Namun, alasan sebenarnya jauh lebih dalam dari itu.
Dengan koper kecil di tangan dan ransel di punggung, Aisyah menyetop taksi. “Ke Masjid Katedral Moskow,” ujarnya dalam bahasa Rusia yang terbata-bata, aksen yang telah lama tidak ia gunakan. Sopir taksi, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal, mengangguk tanpa banyak bicara.
Sepanjang perjalanan, Aisyah memandang keluar jendela. Moskow telah berubah, namun tetap sama. Gedung-gedung bergaya Soviet berdiri berdampingan dengan arsitektur modern. Orang-orang berlalu lalang di trotoar, sibuk dengan urusan masing-masing. Namun bagi Aisyah, kota ini kini terasa hampa.
Pikirannya melayang ke lima tahun lalu. Saat itu, ia adalah mahasiswa pertukaran pelajar yang penuh semangat dan mimpi. Moskow adalah dunia baru yang menjanjikan petualangan. Dan di sinilah ia bertemu Sam, pria Rusia dengan mata biru cemerlang dan senyum yang selalu menghangatkan hatinya.
Sam-lah yang pertama kali membawanya ke Masjid Katedral Moskow. “Ini adalah tempat favoritku di seluruh Moskow,” kata Sam saat itu. “Bangunan ini menyimpan sejarah dan keindahan yang luar biasa.”
Taksi berhenti di Jalan Pereulok Vypolzov. Aisyah turun, matanya langsung tertuju pada kubah-kubah emas yang menjulang tinggi. Masjid Katedral Moskow berdiri megah, lebih besar dan lebih tinggi dari yang ia ingat.
Tentu saja, ini adalah bangunan baru yang dibangun pada tahun 2015, menggantikan masjid lama yang dibongkar pada 2011.
Aisyah melangkah masuk, merasakan ketenangan yang familiar sekaligus asing. Masjid ini masih menyimpan keagungan yang sama, bahkan mungkin lebih. Namun baginya, tempat ini kini terasa kosong.
Ia berjalan perlahan, mengamati setiap sudut masjid. Dulu, di sudut itu, Sam pernah menjelaskan padanya tentang sejarah Islam di Rusia. Di mihrab itu, mereka pernah berdoa bersama, memohon agar cinta mereka diberkati. Dan di halaman itu, Sam pernah berjanji akan selalu bersamanya.
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata Aisyah. Ia mencoba menahannya, namun sia-sia. Setetes, dua tetes, dan akhirnya air mata itu mengalir deras di pipinya.
“Maaf, Anda baik-baik saja?” tanya seorang wanita tua dengan tudung kepala, menatap Aisyah dengan khawatir.
Aisyah cepat-cepat menghapus air matanya. “Ya, saya baik-baik saja. Terima kasih,” jawabnya dengan senyum dipaksakan.
Ia melangkah keluar masjid, duduk di bangku taman yang menghadap ke arah Kompleks Stadion Olimpiade. Dulu, ia dan Sam sering duduk di sini, membicarakan mimpi-mimpi mereka. Sam ingin menjadi diplomat, sementara Aisyah bermimpi menjadi penulis. Mereka berjanji akan mengejar mimpi itu bersama-sama.
Namun takdir berkata lain. Dua tahun yang lalu, Sam meninggal dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Dunia Aisyah runtuh seketika. Ia kembali ke Jakarta dengan hati hancur, meninggalkan semua mimpinya di Moskow.
Dan kini, ia kembali. Bukan untuk mengejar mimpi, tapi untuk melarikan diri. Dari ibunya yang tak pernah mengerti. Dari calon suami yang tak ia cintai. Dari kehidupan yang terasa begitu hampa tanpa Sam.
Aisyah mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya. Foto dirinya dan Sam di depan Masjid Katedral Moskow lama, sebelum dibongkar. Mereka tersenyum lebar, penuh harapan akan masa depan yang cerah.
“Sam,” bisiknya pada angin. “Aku kembali. Tapi kau tidak ada di sini.”
Matahari mulai terbenam, menyinari kubah-kubah emas masjid dengan cahaya kemerahan. Aisyah masih duduk di sana, tenggelam dalam kenangan dan penyesalan.
Tiba-tiba, ia merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah perasaan hangat yang familiar. Untuk sesaat, ia merasa Sam ada di sana, duduk di sampingnya, tersenyum padanya seperti dulu.
“Aisyah,” seolah-olah ia bisa mendengar suara Sam. “Jangan berhenti bermimpi. Jangan berhenti mencintai. Hidupmu masih panjang.”
Aisyah tersentak. Ia menoleh, tapi tentu saja, tak ada siapa-siapa di sampingnya. Namun perasaan hangat itu masih ada.
Perlahan, sebuah senyum kecil terukir di bibirnya. Mungkin inilah alasan sebenarnya ia kembali ke Moskow. Bukan untuk melarikan diri, tapi untuk menemukan kembali dirinya yang hilang.
Ia berdiri, memandang Masjid Katedral Moskow untuk terakhir kalinya hari itu. “Terima kasih, Sam,” bisiknya. “Aku akan mencoba lagi. Untukmu, untukku, untuk mimpi kita.”
Dengan langkah yang lebih ringan, Aisyah berjalan menuju stasiun metro terdekat. Moskow mungkin masih terasa hampa, tapi kini ada secercah harapan di hatinya. Ini bukan akhir, tapi awal yang baru. Dan kali ini, ia akan menjalaninya dengan keberanian yang baru.
Saat kereta metro melaju dalam kegelapan terowongan, Aisyah memejamkan mata. Ia tak tahu apa yang akan terjadi besok, atau lusa, atau tahun depan. Tapi satu hal yang ia tahu pasti: kisahnya di Moskow belum berakhir. Dan kali ini, ia akan menulis bab baru dalam hidupnya, dengan atau tanpa Sam.
Moskow, 11 Februari 2024