Nyonya Astuti melangkah angkuh di atas sepatu hak tingginya yang berkilau, membelah jalan setapak di antara petak-petak sawah yang menguning. Sinar mentari sore memantul dari perhiasan emas yang membalut leher dan jemarinya. Ia mengedarkan pandangan tajam, mencari-cari tanah atau rumah yang bisa ia jadikan tambahan kekayaan.
Selama bertahun-tahun, wanita paruh baya ini telah membangun kerajaan bisnisnya di atas penderitaan orang lain. Baginya, setiap kesempitan adalah peluang. Setiap air mata adalah tetesan emas. Ia tak pernah ragu memanfaatkan kemalangan orang lain demi menambah pundi-pundi hartanya yang sudah menggunung.
Nyonya Astuti masih ingat bagaimana ia membujuk Pak Ahmad menjual sawahnya dengan harga miring. Saat itu, istri Pak Ahmad terbaring sakit di rumah sakit, membutuhkan biaya operasi yang tak sedikit. Dengan licik, Nyonya Astuti menawarkan pertolongan berupa uang tunai yang jauh di bawah harga pasar untuk sawah itu. Pak Ahmad, dalam keputusasaannya, terpaksa menerima.
Bagi orang seperti dia, pilihan hanya impian yang mewah. Ia hanya hidup untuk hari ini. Dan yang ia butuhkan sekarang hanya uantuk beli obat, demi istrinya, demi orang yang menemani dirinya puluhan tahun.
Lalu ada Bu Rara, janda muda yang baru ditinggal suaminya karena kecelakaan. Dengan tangis yang belum kering di pipinya, Bu Rara dipaksa menjual rumah peninggalan suaminya kepada Nyonya Astuti. Wanita kaya itu berdalih bahwa harga yang ia tawarkan sudah lebih dari cukup untuk Bu Rara memulai hidup baru.
Tetapi Bu Rara hanya perempuan naif yang tak terlalu pintar membuat rencana. Uang hasil jual rumah itu hanya bisa menghidupi beberapa bulan saja.
Bahkan Totok, pemuda yang terjerumus narkoba, tak luput dari incaran Nyonya Astuti. Ia membeli tanah warisan Totok dengan harga yang tak seberapa, memanfaatkan keputusasaan pemuda itu akan kebutuhan uang untuk membeli obat-obatan terlarang. Saat ditangkap polisi, uangnya ludes untuk membayar pengacara dan calo.
Semua kisah pilu itu hanyalah sekelumit dari daftar panjang prestasi Nyonya Astuti dalam mengakuisisi properti. Baginya, ini semua adalah strategi bisnis yang brilian. Ia membeli murah saat orang lain terpuruk, lalu menjualnya kembali dengan harga berlipat ganda. Hati nuraninya telah lama terkubur di bawah tumpukan uang dan sertifikat tanah.
Biasanya, ia harus bersusah payah membujuk dan merayu pemilik tanah. Tapi kali ini, Pak Karim bahkan tidak menanyakan harga yang ditawarkan.
Sore itu, mata Nyonya Astuti tertuju pada sosok seorang lelaki tua yang sedang mencangkul sendirian di tengah hamparan sawah. Pakaiannya lusuh, kulitnya terbakar matahari. “Pasti mudah dibujuk,” pikir Nyonya Astuti, seringai licik tersungging di bibirnya yang dipoles lipstik merah menyala.
“Berhenti di sini,” perintahnya pada sopir pribadinya. Mobil mewah itu pun berhenti di tepi jalan.
Nyonya Astuti turun dari mobil, berhati-hati agar sepatunya tidak kotor oleh tanah sawah. Ia berjalan anggun mendekati seorang lelaki tua itu, yang langsung menghentikan pekerjaannya dan menatap Nyonya Astuti dengan pandangan bertanya.
“Selamat sore, Pak,” sapa Nyonya Astuti dengan nada manis yang dibuat-buat. “Saya tertarik dengan sawah ini. Apakah bapak berkenan menjualnya?”
Lelaki tua itu, yang ternyata bernama Pak Karim, tersenyum ramah. Garis-garis di wajahnya menunjukkan usia dan pengalaman hidup yang panjang. “Oh, tentu saja, Bu. Kalau ibu berminat, silakan saja.”
Nyonya Astuti terkejut dengan jawaban yang begitu mudah. Biasanya, ia harus bersusah payah membujuk dan merayu pemilik tanah. Tapi kali ini, Pak Karim bahkan tidak menanyakan harga yang ditawarkan.
“Baiklah, saya ambil seluruh luas sawah ini,” ujar Nyonya Astuti penuh percaya diri. “Berapa luasnya, Pak?”
Pak Karim menggaruk kepalanya yang beruban. “Waduh, saya kurang tahu pastinya, Bu. Bagaimana kalau ibu ukur sendiri saja?”
Nyonya Astuti mengernyitkan dahi. Ini pertama kalinya ia menemui pemilik tanah yang tidak tahu luas propertinya sendiri. Tapi ia tak mau kehilangan kesempatan. “Baiklah, akan saya ukur sendiri.”
Ia langsung memanggil sopirnya, lalu mulai mengukur panjang sawah. Dengan langkah pasti, Nyonya Astuti mulai mengukur panjang sawah. Ia berjalan lurus, menghitung dalam hati. Sepuluh meter… dua puluh meter… lima puluh meter… Keringat mulai membasahi dahinya yang biasanya selalu kering dan terawat.
Seratus meter… dua ratus meter… Nafas Nyonya Astuti mulai tersengal. Kakinya mulai terasa pegal. Namun ujung sawah belum juga terlihat.
“Pak, apa masih jauh?” tanyanya pada Pak Karim yang mengikuti di belakang dengan langkah santai.
Pak Karim masih tersenyum ramah. “Teruskan saja, Bu. Nanti ibu juga tahu.”
Nyonya Astuti melanjutkan langkahnya dengan kening berkerut. Lima ratus meter… seribu meter… Ia mulai merasa ada yang aneh. Sawah ini terlalu luas untuk ukuran sawah biasa.
Matahari mulai tenggelam ketika Nyonya Astuti akhirnya menyerah. Ia kembali ke tempat Pak Karim berdiri, dengan nafas terengah-engah dan rambut berantakan.
“Saya akan kembali besok dengan juru ukur,” ujarnya, berusaha menyembunyikan kebingungan dan kelelahannya.
Keesokan harinya, Nyonya Astuti kembali bersama tim juru ukur profesional. Namun hasilnya tetap sama. Mereka tak bisa menemukan ujung sawah itu. Hari-hari berikutnya pun sama. Setiap kali mereka mencoba mengukur, sawah itu seolah tak berujung.
Frustasi dan kebingungan mulai menguasai Nyonya Astuti. Ia mulai kehilangan tidur, terobsesi dengan misteri sawah tanpa batas ini. Kekayaannya yang berlimpah, rumah-rumah mewahnya, semua terasa tak berarti di hadapan teka-teki ini.
Nyonya Astuti masih terobsesi. Nafsunya berpacu, tak menyerah untuk mencari tahu. Bebulan-bulan ia datang, lalu pergi dengan kecewa.
Sementara itu, Pak Karim tetap tenang dan tersenyum setiap kali Nyonya Astuti datang. Ia masih mengayun cangkul, lalu berjalan di pematang untuk menyambut panggilan Nyonya Astuti. Ia tak pernah menjelaskan, hanya mengamati, hanya menunggu.
Nyonya Astuti masih terobsesi. Nafsunya berpacu, tak menyerah untuk mencari tahu. Bebulan-bulan ia datang, lalu pergi dengan kecewa.
“Katakan pada saya Pak Karim Berapa luas sawah ini. Akan saya beli. Saya kadung penasaran. Saya tidak bisa mundur. Duit untuk juru ukur sudah begitu banyak,” katanya memelas.
Pak Karim lagi-lagi tersenyum. “Saya tidak tahu. Tapi kalau ibu mau beli pasti saya lepas,” katanya.
Nyonya Astuti kembali menarik nafas panjang.
Semarang, 3 Desember 2023