Aku menatap layar iMac, lalu jemariku mulai menari di atas Wacom tablet. Adobe Illustrator terbuka lebar, kanvas digital penuh dengan vektor dan path tool yang rumit. Sudah lima tahun aku terjebak di balik meja ini, di perusahaan advertising yang entah mengapa terasa semakin menyesakkan.
“Klien ingin dominan biru, RGB 0, 71, 171. Pastikan CMYK-nya tepat untuk cetak,” suara Mira terngiang di telingaku. Ia juga menyerahkan printout berisi data seperti yang diucap. Aku menghela nafas, menggeser color picker ke angka yang diminta. Tanpa bertanya, tanpa berdebat. Begitulah pekerjaanku sekarang, menjadi robot desain tanpa jiwa.
Di dalam ruanganku ada 4 orang. Kami bertemu 40 jam setiap minggu. Tetapi kami tidak saling mengenal. Hanya tahu nama, dan warna baju yang dikenakan hari ini. Sementara di salah satu tembok ruangan ada poster bertuliskan, “Boost your Creativity!”
Ah, semangat yang sama sekali berbeda dengan nafas kami. Lalu suatu hari, bencana itu terjadi. Billboard yang kudesain salah. Padahal aku yakin sudah mengkonversi RGB ke CMYK dengan tepat, 100C 58M 0Y 33K, persis seperti brief Mira. Tapi saat big boss mengamuk, Mira bukannya membela, malah ikut menyalahkan.
“Harusnya kamu double check lagi sebelum dikirim ke percetakan,” tuduhnya tanpa ampun. Aku buru-buru menyerahkan printout dari dia. Dia menggeleng, “Tidak, ini bukan dari saya! Kamu salah ya salah aja, jangan fitnah!”
Amarah dan rasa sakit hati bergejolak dalam dada. Tetapi semua berhenti entah dimana. Tertahan, tak bisa kukeluarkan. Aku hanya bisa menunduk, pahit.
Sementara di salah satu tembok ruangan ada poster bertuliskan, “Boost your Creativity!” Ah, semangat yang sama sekali berbeda dengan nafas kami.
Malam-malam aku terbangun, teringat masa kuliahku di kampus kecil di Surabaya. Kami mungkin tak punya lab komputer tercanggih, tapi semangat berkarya kami tak tertandingi. Sekarang, di sinilah aku, merasa talentaku terkubur di bawah tumpukan revisi tanpa akhir dan ide-ide yang tak pernah dihargai.
Hari-hari berlalu, konflik batin semakin menyiksa. Setiap kali Mira tersenyum licik setelah mengklaim ideku sebagai miliknya, atau saat big boss dengan bodohnya memuji konsep yang sebenarnya dangkal, aku harus menahan diri untuk tidak berteriak. Emosi ini kupendam, kusembunyikan di balik senyum profesional dan anggukan sopan. Tapi di dalam, api kemarahan dan frustrasi terus membara.
Hingga suatu hari, proyek besar dari perusahaan raksasa teknologi datang. Mira memberikan brief seperti biasa, “Mereka ingin kesan futuristik. Gunakan gradien dari #1A2980 ke #26D0CE.” Tapi kali ini, aku memberanikan diri membuat dua desain. Satu sesuai brief Mira, satu lagi, karya jiwaku yang selama ini terpasung.
Diam-diam, aku menghabiskan malam-malamku di depan Photoshop dan After Effects. Kupelajari brand guide perusahaan klien, kucari makna di balik setiap pixel logo mereka. Kupilih palet warna yang mewakili inovasi namun tetap hangat: gradien halus dari #FF6B6B ke #4ECDC4, dengan aksen #45B7D1. Bahkan kutambahkan animasi subtle menggunakan prinsip-prinsip UX yang kupelajari dulu di kampus.
Hari presentasi tiba. Dengan jantung berdegup kencang, kuserahkan desain sesuai brief Mira. Dia tersenyum puas, tapi senyum itu lenyap saat klien mengerutkan dahi. “Terlalu… biasa,” komentar mereka. ig oss mulai gusar. Mira makin pucat pasi, aku bisa melihat keringat di dahinya.
Dengan tangan gemetar tapi tekad membulat, kubuka file desain keduaku. Ruangan hening seketika. Mata CEO perusahaan klien berbinar. “Ini,” katanya penuh semangat, “adalah visi yang kami cari.”
Sesaat ia berbisik dengan anak buahnya, lalu menganggukkan kepala. Sesekali terdengar tawa kecil. Dan ini membuat big boss-ku senang. Herannya Mira ikut tersenyum senang.
Tanganku gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tak bisa lagi kubendung. Ya, ini harus aku akhiri!
Keesokan harinya, Mira naik pangkat. Katanya berkat ‘idenya’ yang brilian. Aku? Tetap di posisi yang sama. Tak ada ucapan terima kasih, tak ada pengakuan. Hanya senyum palsu Mira dan tepukan di bahu yang terasa seperti tamparan.
Aku kembali ke mejaku, menggerakkan mouse sehingga monitor menyala. Tanganku gemetar, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tak bisa lagi kubendung. Ya, ini harus aku akhiri!
Kutatap screen resolusi tinggi di hadapanku, dan untuk pertama kalinya sejak lama, aku melihat refleksi diriku yang sesungguhnya. Seorang desainer berbakat yang terlalu lama membiarkan dirinya diinjak-injak.
Ini logika yang tidak bisa aku mengerti. Ini cara biadab yang ternyata harus aku hadapi. Jarum jam belum beranjak ke angka lima, aku memilih pergi.
“Belum waktunya pulang bro,” kata temanku.
Aku tak perduli lagi. Ini kanvas yang keliru! Mungkin sudah waktunya aku mencari kanvas baru, tempat di mana karyaku bisa bernafas dan berkembang.
Big boss membuka pintu, kami pun berpapasan. “Heh, belum waktunya pulang,” sergahnya, “Cepat kembali kerja, jangan cari alasan!”
Aku diam, lalu berjalan pelan dan duduk di belakang meja kerja. Seperti biasa, seperti yang sudah-sudah. Semua rekan kerja dalam ruangan menatapku lekat, menyalahkan. Hanya beberapa detik, sesudahnya mereka kembali berkutat dengan pekerjaannya.
Lalu semua kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa.
Surabaya, Mei 2023