Ruang digital creative itu selalu sepi, meski dihuni tujuh manusia. Aku, bagian dari penghuni ruangan ini, dapat tempat duduk yang cukup istimewa. Maklum, setelah 10 tahun memilih jadi budak industri —sebutan tak lucu untuk karyawan di tempat kami— aku terpilih jadi supervisor tim.
Ya, aku membawahi enam orang, empat di antaranya karyawan baru, rata-rata baru lulus di tahun yang sama dengan awal mereka bekerja. Ini divisi andalan perusahaan kami. Karenanya, boss menempatlan kami dalam tempat khusus.
Ruangan kami terpisah dari divisi lain, seolah membentuk dunia tersendiri dengan atmosfer yang aneh. Untuk mencapai ruangan, kami harus berjalan melewati banyak tempat. Mulai dari resepsionis, ruang rapat, marketing, tim research, lalu naik ke lantai atas. Ruangan kami berjajar dengan tempat boss.
Dalam ruangan, komunikasi kami didominasi oleh deretan pesan di WhatsApp. Meski tempat duduk kami terbilang dekat, hanya beberapa meter, kami lebih sering bertegur sapa dengan jari-jari yang bermain di layar ponsel ketimbang suara terdengar.
Anehnya, grup WhatsApp tim kami selalu riuh. Celetukan jenaka, video lucu, meme-meme yang mengocok perut —semua bertolak belakang dengan keheningan yang selalu menyelimuti ruangan tempat kami bekerja.
Jangankan berbicara, membaca pesan di grup pun tidak pernah dilakukan. Dia datang lebih awal dari siapa pun, pulang paling akhir, tanpa sepatah kata pun.
Lalu, ini yang ingin aku ceritakan, di ujung ruangan, ada dia. Perempuan berusia sekitar 30 tahun, dengan rambut panjang kemerahan. Posisinya selalu sama: duduk di pojok terjauh, seolah ingin sejauh mungkin dari keributan. Jangankan berbicara, membaca pesan di grup pun tidak pernah dilakukan. Dia datang lebih awal dari siapa pun, pulang paling akhir, tanpa sepatah kata pun.
Saat makan siang, ada anggota tim mengirim pesan, “Si rambut merah ini siapa, Mas?” Aku hanya menjawab dengan emoji tertawa. Hanya itu. Selanjutnya kami kembali terdiam, menikmati makanan asal yang tersaji di atas meja.
Suatu hari, dia, si perempuan berambut merah, berjalan mendekati mejaku. Tanpa kontak mata, dia meletakkan printout presentasi. “Link prototype website sudah saya kirim di WA,” ujarnya singkat. Aku membuka ponsel, bertanya, “Tugasnya kok tidak lewat saya?” Jawaban pendeknya: “Dari boss langsung.”
Keesokan harinya, aku menemui boss. Seperti biasa, ia tertawa ringan, “Sorry bro.. Ini job dadakan. Kamu sudah pulang, yang ada dia. Makanya aku minta dia yang kerjakan.” Aku mengumpat dalam hati. Kan bisa menelpon? Kirim pesan via WA? Tetapi sekali lagi, sebagai budak industri, aku hanya bisa menuruti kata-katanya.
Sorenya, kami kembali berdiskusi; aku, boss, dan si perempuan berambut merah. Ia berdiri, lalu memulai presentasi. Nah, ini yang bikin kaget. Saat presentasi, perempuan itu berubah total. Wajahnya cerah, berbicara lancar, bahkan beberapa kali tertawa. Pertanyaan boss dijawab dengan lancar. Aku langsung kehabisan kata-kata.
Tiga hari kemudian, kami bertemu klien. Perempuan ini semakin memukau. Mengenakan kemeja cerah, lalu berdiri dengan penuh percaya diri. Ia leluasa menjelaskan segala hal dengan pesona yang sulit diabaikan. Klien kami mendengar begitu antusias, lalu berdiri dan menjabat tangannya. Dia menyetujui proposal, tanpa syarat!
Posturnya mengingatkan aku pada bintang-bintang Korea yang entah mengapa selalu proporsional dan simetris
Pertemuan selanjutnya semakin mencengangkan. Klien kami kini berbicara tentang film terbaru, lirik lagu, seolah sudah berteman lama. Aku hanya mendapat pertanyaan-pertanyaan kecil. Perlahan, aku mulai kagum pada perempuan ini—sosok yang cantik dan mempesona.
Aku baru sadar, matanya sangat indah. Ia juga memiliki bibir merah yang selalu basah. Posturnya mengingatkan aku pada bintang-bintang Korea yang entah mengapa selalu proporsional dan simetris. Asyik mengamati, aku baru sadar kalau dia menatapku sambil tersenyum.
Dari kantor klien, kami mampir di sebuah cafe. Kami akhirnya benar-benar berbicara. “Kamu ternyata bukan perempuan pendiam,” kataku.
Dia tersenyum, sedikit memiringkan kepalanya. Rambut kemerahan itu bergerak lembut, memantul cahaya lampu cafe yang redup. “Memang,” jawabnya pelan, “aku tidak selalu seperti yang kalian lihat.”
Aku menunggu kelanjutannya. Secangkir kopi hitam di hadapanku mulai mendingin. Dia mengaduk teh hijau miliknya, jari-jari langsing memainkan sendok dengan gerakan ringan.
“Kamu tahu,” ujarnya, “setiap orang punya ruang privat. Ruang di mana mereka bisa memilih untuk tidak berbicara, tidak berinteraksi. Di kantor, itu adalah caraku bertahan.”
Aku teringat pada perempuan yang selama ini kukenal. Perempuan yang datang paling awal, pulang paling akhir. Ia yang selalu mengenakan pakaian dan rias wajah seadanya. Di sudut ruangan, dengan pencahayaan minim, ia tak ubahnya sosok horor, atau karakter yang gampang dilupakan.
Nyatanya, ia perempuan yang mampu membuat klien tersenyum, berbicara panjang lebar tentang musik dan film. “Aku punya cerita,” lanjutnya, “yang membuatku memilih untuk diam.”
Sepuluh menit berlalu. Dia menceritakan masa lalunya. Tentang sebuah kantor di Jakarta lima tahun silam, tentang trauma komunikasi, tentang bagaimana diam menjadi pertahanan dirinya. Aku mendengarkan. Setiap kata terasa berat, mengendap di antara dentingan sendok dan bisik-bisik pengunjung cafe.
Diluar, hujan mulai turun. Rintik-rintik air membasahi kaca, membuat bayangan wajahnya semakin samar. Dia adalah misteri yang perlahan terbuka, seperti kelopak bunga yang enggan sepenuhnya mekar.
“Jadi,” kataku kemudian, “kamu tidak sekadar perempuan pendiam.” Dia tertawa lepas. Tawa yang berbeda dari tawa di ruang presentasi. Tawa yang lebih dalam, lebih personal. “Tidak,” jawabnya, “aku adalah perempuan yang memilih kapan harus berbicara.”
setiap kata yang dipilih, membuat hatiku semakin terjerat. Dia bukan sekadar rekan kerja. Dia misteri yang ingin kupecahkan.
Ia tertawa lagi. Membiarkan tubuhnya sedikit berguncang. Menyuguhkan pesona lain yang untuk beberapa detik memaksa aku menatap tanpa sadar. Melihat itu, ia buru-buru membenahi kancing bajunya.
***
Minggu-minggu berikutnya, kami semakin dekat. Pertemuan di cafe berganti dengan makan siang berdua, diskusi proyek yang semakin intim. Aku mengamatinya. Setiap gerak-geriknya, setiap kata yang dipilih, membuat hatiku semakin terjerat. Dia bukan sekadar rekan kerja. Dia misteri yang ingin kupecahkan.
Ia pun membiarkan rasa ingin tahu itu terbayar meski tak pernah tuntas. Suatu saat, ketika aku melihat dia dari balik laptop, ia melotot dengan senyum jenaka. Suatu saat lagi, ia sengaja menguncir rambutnya, memamerkan leher jenjang yang membuatku mabuk kepayang.
Namun, seiring waktu, kekhawatiran mulai menggerogoti pikiranku. Hubungan kami—jika bisa disebut hubungan—berada di wilayah abu-abu yang berbahaya. Aku supervisor, dia anggota tim. Setiap sentuhan, setiap percakapan rahasia terasa seperti bom waktu yang siap meledak.
Boss kami mulai memperhatikan. Senyum-senyum tipis di antara rapat, perhatian ekstra saat mendiskusikan proyek. Aku sadar, di balik profesionalitas kantor, mata-mata selalu ada. Setiap kemesraan bisa menjadi bahan gosip, bisa meruntuhkan karir yang sudah kubangun selama 15 tahun.
Suatu malam, di sebuah hotel tempat kami menginap untuk proyek besar di Jakarta, semuanya terjadi. Dia datang ke kamarku. Rambut kemerahan itu terurai, sedikit berantakan dari gaya rapi kantornya. Ada sesuatu di matanya—campuran kerinduan, ketakutan, dan tantangan. Dan aku tenggelam di dalamnya.
“Kita tidak bisa,” bisikku, meski tubuhku bergerak berlawanan dengan ucapanku. Dia memaksa dengan caranya.
***
Enam bulan berlalu. Proyek-proyek itu terus mengalir. Kami makin lihai menjaga peran. Aku supervisor yang serius menjaga wibawa, ia bertahan dengan imaji perempuan misterius di sudut ruangan.
“Dua minggu lagi aku harus ke Jerman. Aku sudah serahkan surat pengunduran diri ke boss,” katanya. Suasana cafe langsung membeku. Sikapku jelas tidak bisa menerima.
Ia menangkap isyarat itu, lalu berkata lirih, “Aku mencintai pekerjaan ini. Kota ini. Kamu. Tapi aku harus pergi”. Tanpa terbata ia bercerita. Jika dia sedang sakit. Jika dia harus menjalani sebuah operasi di Jerman. Dan aku masih tidak bisa menerima.
Ia berdiri, lalu berjalan pergi. Sebuah Mercy ternyata sudah menunggu. Pintu terbuka, dan ada boss di dalamnya. Ia menatapku dengan senyum menjengkelkan seperti yang sudah-sudah. Sementara perempuan itu duduk di sampingnya, tanpa melihat ke arahku. ***