Rumah itu terlihat sederhana, namun terawat dengan cukup baik. Cat putihnya masih nampak bersih meski sudah mulai mengelupas di beberapa bagian. Di depan rumah ada beberapa pot bunga yang juga terawat dengan baik. Di balik pintu kayunya yang kokoh, tinggal seorang pria berusia setengah abad.
Pria itu, Hasan, memiliki postur yang ideal. Tinggi, kekar, tegap. Matanya tajam, membuat siapapun yang bertemu memilih untuk menunduk. Tak seorangpun tahu, Hasan sejatinya orang dengan masa lalu yang kelam. Ya, ia mantan pembunuh bayaran.
Dulu ia tinggal di apartemen mewah, berpindah-pindah. Hasan tak berani menghitung berapa nyawa yang sudah dihabisi. Istri yang selingkuh, remaja yang dianggap menghalangi ambisi ibu tirinya, pejabat, bandar narkoba, dan entah siapa lagi.
Di kampungnya, Hasan sering diam-diam membantu. Saat ada wanita menangis gara-gara sepeda motornya dicuri, ia langsung memburu sebuah gudang tua. Dan benar, di sana motor itu ditemukan. Gerombolan pencuri tak berkutik. Motor itu dikembalikan diam-diam. Kuncinya yang sempat rusak sudah kembali seperti semula.
Pun saat ada geng motor mengobrak-abrik toko kelontong, esoknya, mereka kembali datang untuk memperbaiki. Si pemilik toko yang takut melihat dari jauh. Lalu semua kembali normal, seolah tidak terjadi apa-apa.
Gerombolan pencuri tak berkutik. Motor itu dikembalikan diam-diam. Kuncinya yang sempat rusak sudah kembali seperti semula.
Kampung jadi aman. Tidak ada satu pun peristiwa kriminal terjadi. Maling, perampok, begal, tak ada yang berani beraksi di sini. Dalam catatan mereka; hindari kampung ini!
Hasan semakin tenang. Apalagi orang-orang di kampung tak pernah menyangka, ia di balik semua ini. Seperti hari-hari sebelumnya, orang memilih menundukkan kepala saat lewat di depannya. Orang hanya tahu, Hasan pergi pagi dan pulang malam hari. Dari balik kaca jendela depan rumah, mereka sering melihat Hasan duduk di ruang tamu. Membaca koran pagi, menikmati secangkir kopi.
Ruang tamu kecil dengan interior yang selalu bersih. Lantainya selalu mengkilap, dan tidak ada debu yang berani hinggap di perabotan rumahnya yang sederhana namun berkualitas.
Dinding-dinding rumahnya dihiasi oleh beberapa bingkai foto dengan kaca yang selalu bersih tanpa noda. Yang menarik, sebagian besar foto-foto itu menampilkan sosok yang sama: seorang wanita cantik dengan senyum yang menawan. Senyum itu seolah menyimpan ribuan cerita yang tak pernah terungkap.
Kerapian dan kebersihan rumah ini bukan tanpa sebab. Setiap hari, tepat pukul 4 pagi, seorang gadis muda bernama Marni datang ke rumah Hasan. Usianya baru 19 tahun, namun tangannya sudah terampil dalam mengurus rumah tangga. Dengan langkah yang ringan namun cepat, Marni membersihkan setiap sudut rumah, mulai dari menyapu dan mengepel lantai, mengelap perabotan, hingga membersihkan jendela-jendela kaca yang memantulkan cahaya fajar.
Setelah membereskan ruang tamu dan kamar tidur, Marni bergegas ke dapur untuk mencuci pakaian Hasan. Dengan teliti ia memilah pakaian berdasarkan warnanya, memastikan tidak ada noda yang tertinggal. Sementara mesin cuci bekerja, Marni mulai menyiapkan sarapan sederhana: sepiring nasi goreng dengan telur mata sapi dan secangkir kopi hitam, persis seperti yang selalu diminta Hasan.
Tepat pukul 4.30, suara langkah kaki Hasan terdengar dari kamarnya. Pria itu bangun untuk melaksanakan sholat subuh, ritual yang tak pernah ia tinggalkan. Marni beberapa kali melihat, Hasan sujud cukup lama di akhir rakaat. Ia juga kerap mendengar Hasan bergumam, wiridan.
Pukul lima pagi, Hasan keluar dari kamarnya, sudah rapi dengan kemeja flanel dan celana jeans warna biru gelap yang selalu menjadi pilihannya.
Tanpa berkata-kata, ia mengambil tas kerjanya dan bergegas keluar rumah, entah kemana. Pertemuan mereka sangat singkat, hanya pandangan mata kecil, beberapa detik. Namun dalam pandangan singkat itu, Marni bisa merasakan ada sesuatu yang tak terucap, sesuatu yang dalam dan misterius di balik mata Hasan yang selalu terlihat lelah.
Matanya selalu tertuju pada satu foto: seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera.
Sepeninggal Hasan, Marni melanjutkan pekerjaannya. Ia mengganti seprai tempat tidur, menyiram tanaman di halaman belakang yang kecil namun terawat, dan memastikan semua sudut rumah bersih sempurna. Saat membersihkan ruang tamu, Marni sering berhenti sejenak di depan foto-foto yang tergantung di dinding. Matanya selalu tertuju pada satu foto: seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang tersenyum lembut ke arah kamera. Marni sering bertanya-tanya siapa wanita itu dan apa hubungannya dengan Hasan.
Setiap kali Marni membersihkan bingkai foto-foto itu, ia teringat akan momen-momen di mana ia memergoki Hasan berdiri lama di depan foto-foto tersebut. Tatapan pria tua itu selalu menerawang jauh, seolah tenggelam dalam kenangan yang tak pernah pudar. Ada kesedihan yang mendalam di matanya, yang membuat Marni ingin bertanya namun tak pernah berani.
Setiap awal bulan, Marni selalu menemukan amplop putih di atas meja makan. Di dalamnya terdapat gaji yang selalu disiapkan tepat waktu oleh Hasan. Gaji yang cukup besar untuk ukuran seorang pembantu rumah tangga, bahkan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan adik semata wayangnya yang masih duduk di kelas 2 SMA. Marni selalu bersyukur atas kebaikan Hasan, terlebih karena pria itu sering memberi tambahan uang di waktu-waktu tertentu, seperti saat lebaran atau awal tahun ajaran baru sekolah.
Suatu hari, saat Marni sedang berbelanja di pasar, ia bertemu dengan Siti, teman masa kecilnya. Siti bercerita dengan antusias tentang pekerjaannya di sebuah pabrik sepatu. Gajinya lebih tinggi dari Marni, belum lagi ada tunjangan kesehatan dan jaminan hari tua. Pikiran Marni mulai bergejolak. Ia memikirkan masa depan adiknya yang akan segera lulus SMA dan membutuhkan biaya kuliah. Setelah pertimbangan yang panjang dan berat, Marni akhirnya memutuskan untuk berpamitan pada Hasan dan menerima tawaran bekerja di pabrik.
Hari itu, setelah membereskan rumah seperti biasa, Marni tidak langsung pulang. Ia memutuskan untuk menunggu kepulangan Hasan. Duduk di kursi tamu yang nyaman, Marni membuka buku yang sering dibawanya dari rumah, sebuah novel romansa yang menjadi pelariannya dari rutinitas sehari-hari. Jam demi jam berlalu, dan baru kali ini Marni tahu bahwa Hasan selalu pulang setelah maghrib.
Ketika pintu terbuka dan Hasan melangkah masuk, keterkejutan jelas terpancar di wajahnya yang lelah. Ia tidak terbiasa melihat Marni masih berada di rumahnya pada jam segini. Dengan suara yang sedikit bergetar, Marni menyampaikan keinginannya untuk berhenti bekerja. Ia menjelaskan tentang tawaran pekerjaan di pabrik dan kebutuhannya akan penghasilan yang lebih besar untuk masa depan adiknya.
Hasan mendengarkan dalam diam, matanya tak lepas sudut ruang tamu. Ada keheningan yang menyesakkan setelah Marni selesai berbicara.
Akhirnya, tanpa mengangkat wajahnya, Hasan mengangguk pelan, memberikan persetujuannya. Mereka berpisah tanpa kata-kata lebih lanjut, tanpa saling menatap mata, seolah ada sesuatu yang tak terucap di antara mereka, sesuatu yang terlalu rumit untuk diungkapkan.
Hari-hari berikutnya, rumah kecil itu terasa lebih sepi tanpa kehadiran Marni. Hasan mulai merasakan dampak dari ketidakhadiran gadis itu.
Terkadang, saat merasa sangat terpuruk, ia bahkan menangis diam-diam, air matanya jatuh membasahi foto wanita cantik yang selalu dipandanginya
Lantai mulai berdebu, pakaian kotor menumpuk, dan sarapan yang biasa tersedia di meja makan kini hanya menjadi kenangan. Namun lebih dari itu, Hasan merasakan kesepian yang mendalam. Ia baru menyadari betapa kehadiran Marni, meski singkat setiap harinya, telah memberi warna dalam hidupnya yang monoton.
Malam-malam panjang dilewati Hasan dengan ditemani sepi. Terkadang, saat merasa sangat terpuruk, ia bahkan menangis diam-diam, air matanya jatuh membasahi foto wanita cantik yang selalu dipandanginya. Untuk mengusir kesunyian, Hasan mencoba menghibur diri dengan mendengarkan koleksi musik klasiknya. Alunan Beethoven dan Mozart memenuhi ruangan, namun tak mampu mengisi kekosongan di hatinya. Semua terasa hampa, seolah Marni telah membawa pergi sebagian jiwanya.
Hari demi hari berlalu, minggu berganti bulan, dan bulan pun berganti tahun. Hasan akhirnya menyerah dan mencoba untuk menerima kesepian itu sebagai bagian dari hidupnya. Ia kembali tenggelam dalam rutinitas monotonnya, bangun subuh, pergi entah kemana, dan pulang setelah maghrib. Namun kali ini, tak ada lagi wajah ramah yang menyambutnya, tak ada lagi aroma sarapan yang mengundang di pagi hari.
Dua tahun berlalu dengan cepat namun terasa begitu lambat bagi Hasan. Suatu malam, setelah maghrib, Hasan pulang ke rumahnya seperti biasa. Namun kali ini ada yang berbeda. Dari kejauhan ia melihat sosok yang familiar berdiri di depan pagar rumahnya. Jantungnya berdegup kencang saat menyadari bahwa itu adalah Marni.
Marni yang berdiri di sana terlihat berbeda. Ia tampak lebih dewasa, rambutnya kini lebih panjang dan tertata rapi. Dandanannya pun berbeda, ada sentuhan make-up tipis yang membuatnya terlihat lebih segar. Namun senyumnya masih sama, senyum yang selama ini dirindukan Hasan tanpa ia sadari.
Dengan suara lembut yang sedikit bergetar, Marni menyapa Hasan dan mengutarakan keinginannya untuk kembali bekerja. Ia bercerita bagaimana pekerjaan di pabrik ternyata tidak sesuai dengan harapannya. Jam kerja yang panjang dan lingkungan yang tidak nyaman membuatnya merindukan hari-harinya bekerja di rumah Hasan.
“Saya ingin kerja di sini lagi. Saya ingin menemani bapak,” ucapnya lirih.
Hasan tak membalas. Ia masih menebak-nebak apa yang terjadi. Ia nyaris mengambil sebatang rokok, nyaris menyalakannya. Tapi suara Marni menahannya.
“Saya ingin menemani bapak lagi,” kata Marni, kali ini ada isakan kecil.
Tanpa ragu, Hasan menerima Marni kembali. Ada senyum tipis yang tersungging di bibirnya, senyum yang sudah lama tak pernah muncul. Ia menatap Marni yang terus menunduk, menyembunyikan air matanya.
Lalu hari-hari itu kembali mengalir. Rumah kecil ini kembali berwarna. Rutinitas lama kembali berjalan, namun kali ini ada yang berbeda. Mereka kerap berbicara.
Seperti Marni, Hasan mulai membuka diri. Pembicaraan kecil, meski sekadar basa-basi. Tentang cuaca, atau menu sarapan untuk besok. Hasan mulai berani meminta, agar ia bisa sarapan sop ayam, atau sekadar roti tangkup dan telor setengah matang.
Marni pun merasakan perubahan ini. Ia merasa lebih dihargai, bukan hanya sebagai seorang perempuan yang datang dan pergi, tapi sebagai seseorang yang dinanti. Mereka kembali bersama, meski hanya dalam pertemuan singkat setiap pagi.
Surabaya, Desember 2021