Sore itu suasana cafe di sudut kota Yogyakarta terasa hangat. Tiga wanita paruh baya duduk bersama mengelilingi satu meja, saling menatap, terus berbagi senyum meski sedikit canggung. Sesekali tertawa, saling menyentuh.
Mereka adalah Larasati, perempuan usia 46 tahun dengan tampang tegas, Saras, wanita 44 tahun yang cantik meski kadang sering nampak pucat dan gugup, lalu Asih, wanita berwajah lembut usia 40 tahun.
Mereka tiga bersaudara. Meski beberapa tahun terakhir jarang berkumpul, bahkan berkirim pesan. Mungkin karena kesibukan, mungkin karena hal lain. Bahkan Larasati dan Saras, meski tinggal satu kota, terbilang jarang untuk bertemu.
“Wah, sudah lama ya kita tidak bertemu seperti ini,” ujar Larasati, memecah keheningan.
Saras mengangguk. “Iya, Mbak. Apalagi Asih kan jarang ke Jogja. Bagaimana kabarmu di Jakarta, Dik?”
Asih tersenyum lembut. “Baik-baik saja, Mbak. Alhamdulillah.” Mereka kemudian membaca menu. Seperti dulu, Larasati langsung memberi rekomendasi. Ia masih suka mengatur, masih berpikir kalau dirinya yang paling tua, sehingga boleh menentukan ini itu.
Pertemuan ini memang tidak direncanakan. Asih dan suaminya kebetulan sedang berlibur di Yogyakarta sejak dua hari lalu. Ketika tahu adiknya ada di kota yang sama, Larasati dan Saras mengajak bertemu.
Sambil menyesap kopi, Asih memandang ke luar jendela cafe. Pemandangan jalan-jalan Yogyakarta yang khas membawanya kembali ke masa kecil. Ia teringat saat-saat indah bersama keluarganya dulu.
“Mbak, kalian ingat tidak waktu kita masih kecil, Papa sering mengajak kita jalan-jalan naik sepeda di sekitar Malioboro?” tanya Asih tiba-tiba.
Larasati tersenyum lebar. “Oh iya! Papa selalu membelikan kita gudeg di warung Bu Lies setelah bersepeda.”
Tapi Saras selalu tidak terima. Bisa satu sepeda dengan Papa jadi kesenangan tersendiri. Begitu aman, begitu terjaga.
“Dan ingat tidak, kita selalu berebut siapa yang akan duduk di boncengan sepeda Papa?” tambah Saras, tertawa kecil.
Saras ingat betul, bagaimana mereka berangkat dengan dua sepeda. Asih biasanya minta agar bisa bersama Papa. Tapi Saras selalu tidak terima. Bisa satu sepeda dengan Papa jadi kesenangan tersendiri. Begitu aman, begitu terjaga.
Asih mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Iya, dan aku selalu kalah karena paling kecil. Tapi Mama selalu menghiburku dengan janji es krim.”
Kenangan-kenangan manis itu membanjiri pikiran Asih. Ia ingat bagaimana mereka sekeluarga sering piknik di Candi Prambanan setiap akhir pekan. Papa akan membawa kamera tuanya, mengabadikan momen-momen bahagia mereka. Mama selalu menyiapkan bekal nasi kuning lengkap dengan ayam goreng dan sambal favoritnya.
“Kalian ingat tidak, waktu kita camping di Kaliurang?” tanya Asih lagi. “Aku masih ingat betapa takutnya aku waktu itu karena gelap, tapi Mbak Laras dan Mbak Saras selalu menjagaku.”
Larasati mengangguk, matanya juga mulai berkaca-kaca. “Iya, Dik. Kamu selalu tidur di tengah-tengah kami berdua. Papa bilang kita harus selalu menjaga adik kecil kita.”
Laras langsung mengenang masa itu. Saat Papa memberi nasihat, mengingatkan jika anak sulung kelak jadi pengganti orang tua. Tapi Papa juga mengingatkan, agar Asih dan Saras selalu menjaga kakak mereka.
Mama meninggal saat Laras berusia 19 tahun. Sejak saat itu, Papa kerap menyendiri. Saat malam Laras melihat Papa berdiri di depan foto Mama. Mama memang cantik, dan kehadirannya membuat roda hidup begitu mudah dan indah.
Setahun kemudian Papa sakit meski tak pernah mengakui. Ia masih sempat memenuhi janjinya ke Parangtritis, seperti tahun-tahun sebelumnya.
Asih lebih banyak diam, mendengarkan. Matanya menatap kedua kakaknya dengan penuh arti. Ia tahu ada yang tidak beres.
“Dan jangan lupa acara tahunan kita ke Pantai Parangtritis,” tambah Saras. “Kita selalu berakhir dengan badan penuh pasir dan kulit terbakar matahari, tapi sangat bahagia.”
Percakapan mereka berlanjut, mengingat masa-masa indah di Yogyakarta. Tentang bagaimana mereka sering membantu Mama membuat jadah tempe untuk dijual, atau ketika mereka bertiga diam-diam mencicipi geplak yang seharusnya untuk lebaran. Kenangan-kenangan itu membuat suasana di antara mereka menjadi lebih hangat dan akrab.
Namun, di balik nostalgia yang manis, Asih bisa merasakan ada yang berbeda dari kedua kakaknya. Larasati dan Saras mulai bercerita dengan antusias tentang hal-hal lain. Mereka membahas liburan ke Sydney, tas-tas mewah Chanel dan Hermes, bahkan tentang kekayaan properti Kim Soo-hyun yang mencapai Rp 357 miliar.
Asih lebih banyak diam, mendengarkan. Matanya menatap kedua kakaknya dengan penuh arti. Ia tahu ada yang tidak beres.
Beberapa minggu lalu, keponakannya menelepon tengah malam, terisak. Anak Larasati bercerita bahwa ibunya pensiun dini karena dugaan penggelapan, sementara ayahnya sudah tidak bekerja selama 10 tahun. Anak Saras juga curhat tentang perselingkuhan ayahnya, dan ibunya yang mulai berkenalan dengan narkoba.
Namun, Asih memilih untuk tidak mengungkit hal-hal itu. Ia membiarkan kakak-kakaknya bercerita seolah semua baik-baik saja. Mungkin inilah cara mereka menghibur diri, pikir Asih.
Setelah mereka menikah, kehidupan Larasati, Saras, dan Asih, menjadi sangat berbeda. Mereka tenggelam dalam kesibukan. Tetapi saat Papa sakit parah, Asih jadi sering pulang pergi Jakarta-Yogyakarta. Beruntung, suaminya sangat bisa memahami. Beberapa kali ia menemani.
Asih lebih sering mengurus Papa di rumahnya yang kosong. Sementara Larasati dan Saras kerap mendadak tak bisa dihubungi. Dua tahun lebih, hingga Papa meninggal di pelukannya.
Meski tak terucap, Asih mengerti jika dua kakaknya merasa sangat bersalah. Tapi mereka memang sudah berubah. Bahkan saat tanah makam Papa belum mengering, Laras dan Saras sudah bicara warisan. Mereka ingin agar rumah dijual.
Sejak saat itu Asih selalu merasa menjadi pihak yang kalah dalam keluarga. Karena tinggal di Jakarta, ia tidak mendapatkan bagian warisan yang adil dari orangtuanya. Tapi Asih sudah ikhlas. Ia bersyukur bisa berkarir di Jakarta, menikah dengan pria baik hati yang bekerja di BUMN, dan memiliki rumah sendiri di Jatiasih, Bekasi.
Asih memeluk kedua kakaknya erat. Ia tahu, di balik cerita-cerita gemerlap itu, ada luka yang tersembunyi. Luka yang merubah semua arti.
“Dik Asih, kamu kok diam saja?” tanya Saras tiba-tiba.
Asih tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, Mbak. Aku senang mendengarkan cerita kalian.”
Larasati menimpali, “Iya, maaf ya kita jadi banyak cerita. Bagaimana kabar suamimu?”
“Baik, Mbak. Dia sedang ada meeting hari ini,” jawab Asih singkat.
Saat matahari mulai tenggelam, mereka memutuskan untuk mengakhiri pertemuan. Sebelum berpisah, Asih mengajak kedua kakaknya untuk berfoto bersama, seperti yang sering mereka lakukan dulu. “Untuk kenang-kenangan,” katanya.
Mereka berdiri berdampingan, dengan latar belakang suasana senja Yogyakarta yang indah. Untuk sesaat, Asih merasa seperti kembali ke masa kecil mereka yang bahagia.
Ketika mereka berpisah, Asih memeluk kedua kakaknya erat. Ia tahu, di balik cerita-cerita gemerlap itu, ada luka yang tersembunyi. Luka yang merubah semua arti.
Tapi Asih memilih untuk tetap diam, membiarkan kakak-kakaknya merasa bahwa mereka masih bisa menang dalam persaingan hidup yang tak pernah diucapkan.
Larasati dan Saras, berkali-kali menahan pelukan itu. Tiba-tiba mereka tak ingin berpisah. Tiba-tiba mereka menyadari, bahwa mereka sejatinya tak terpisahkan. Saras bahkan tak kuasa untuk menangis. Berkali-kali ia berbisik, “Kita harus sering bertemu”
Orang-orang memandang mereka, namun Larasati, Saras, dan Asih, memilih tak perduli. Mereka menuntaskan rindu justru di titik akhir bertemu.
Dalam perjalanan kembali ke hotel, Asih memandangi foto yang baru mereka ambil. Ia tersenyum getir. Meski banyak hal telah berubah, kenangan indah masa kecil mereka di Yogyakarta akan selalu ada di hatinya.
Malam itu, sebelum tidur, Asih mengirim pesan ke kedua kakaknya: “Terima kasih untuk hari ini, Mbak. Aku sayang kalian.” Dalam hati, ia berharap suatu hari nanti, mereka bisa kembali seperti dulu, saling menjaga dan mendukung tanpa ada yang perlu disembunyikan.
Kaliurang, Mei 2024