Bamin, namanya unik dan pendek, sependek orangnya. Lelaki dengan nama unik itu adalah pengusaha tersohor di Kota Bengawan. Lini bisnisnya menjalar bak akar pohon beringin, mencengkeram segala sektor yang menghasilkan cuan. Penampilannya selalu perlente: rambut licin disisir rapi ke samping, kumis tipis yang lebih mirip kumis kucing, dan perut bundar nan lucu dibalut baju motif bunga.
Bau minyak wangi menyengat selalu menandai kedatangannya. Penampilannya dilengkapi dengan kilauan gelang emas tebal di pergelangan tangan kanan dan jam tangan mewah warna “rose gold” melingkari tangan kirinya. Cincin emas dengan batu giok menghiasi jari manisnya. Mirip salah satu pengacara terkenal Ibu Kota. Sepatu kulit model “Ali Baba” mengkilat, sempurna menyempurnakan auranya sebagai raja kecil di Kota Bengawan.
Apa pun yang diinginkannya, harus ia miliki. Kata “tidak” bukan bagian dari kosakata hidupnya.
Bamin bukan sekadar pengusaha. Ia adalah penguasa. Semua bisnis di Kota Bengawan, besar atau kecil, tidak akan bertahan tanpa restunya. Ia piawai memainkan jaringan, menundukkan lawan, dan membentuk citra diri sebagai dermawan bermartabat. Tapi di balik senyumnya yang menebar pesona, ada sifat “adigang, adigung, adiguna”. Apa pun yang diinginkannya, harus ia miliki. Kata “tidak” bukan bagian dari kosakata hidupnya. Setelah cukup lama merasakan legitnya dunia bisnis, akhirnya, terbersit keinginannya menjadi orang nomor satu di Kota Bengawan!
*
Namun, segalanya berubah setelah ia bertemu Mayang Ekawati, biduan muda dengan suara serak-serak basah yang menyihir para pendengarnya. Wajahnya menawan, dengan mata belok yang tajam dan rambut ikal hitam panjang yang selalu terurai indah. Kulit sawo matang yang eksotis membuat Bamin terpana sejak pertama kali melihatnya.
Pertemuan itu terjadi di acara gala dinner asosiasi pengusaha. Erick Maulana Setiawan, kolega Bamin, memperkenalkan Mayang kepadanya. “Perkenalkan, Pak. Saya Mayang Ekawati,” ucap Mayang sambil menjulurkan tangan.
Bamin mendadak kehilangan kata-kata. Matanya terpaku, senyumnya melebar. Di mata Erik, senyuman itu lebih terlihat seperti seringai serigala. Tangan Bamin menjabat erat tangan sang biduan. “Ah, jangan panggil Pak,” katanya, suaranya sedikit gemetar. “Oh.. maaf Om,” kata Mayang lembut. “Lho ya jangan dipanggil om juga dong… hohoho… panggil saja, Mas Bamin,” respon Bamin sambil mempersilahkan Mayang bergabung di meja itu.
Merekapun terlihat berbincang akrab. Terlihat senyuman Mayang mengembang saat Bamin berusaha membuat “joke’ atau cerita lucu, yang sebenarnya tidak lucu. Garing atau “joke” bapak-bapak, kata anak-anak kekinian.
Kepiawaian Mayang bukan hanya di panggung; ia juga pandai melobi dan menempatkan diri, membuat Bamin semakin tergila-gila.
Senyum Mayang menghancurkan semua pertahanan Bamin. Malam itu, ia tak lepas dari sisi sang biduan. Bahkan, Bamin pun ikut bernyanyi bersamanya di panggung, meski suaranya berbeda jarak dengan nada dan musiknya. Telepon dari istrinya yang berulang kali berdering ia abaikan, seolah dunia ini hanya miliknya dan Mayang.
**
Pertemuan pertama itu berlanjut ke banyak pertemuan lain. Ngopi, makan malam, hingga golf bersama menjadi rutinitas mereka. Mayang bahkan sering mendampingi Bamin dalam rapat-rapat bisnis. Bamin pun tak segan membuka semua rahasia bisnisnya kepada sang biduan. Kepiawaian Mayang bukan hanya di panggung; ia juga pandai melobi dan menempatkan diri, membuat Bamin semakin tergila-gila.
Namun, ada satu hal yang membuat hubungan mereka berbeda. Meski Bamin selalu mencoba mendekat lebih intim, Mayang menolak dengan halus. “Eeh Beib… ada istri menunggu di rumah, loh,” katanya setiap kali merasakan tangan Bamin mulai nakal dan coba melampaui batas.
Namun, Mayang tetap menerima ajakan makan malam atau sekadar nongkrong di kafe. Bamin menganggap ini sebagai ujian kesungguhan cintanya. Ibarat gunung pun akan didaki, dan lautan akan diseberangi. Tidak ada kata menyerah dan putus asa. Bamin betul-betul bucin!
Beberapa bulan kemudian, kabar perceraian Bamin mencuat. Istrinya memilih pergi bersama anak-anak mereka. Tapi Bamin tak peduli. Baginya, ini adalah langkah yang perlu diambil untuk memenangkan hati Mayang Ekawati.
Namun, ketika ia datang membawa cincin berlian untuk meminang sang biduan, Bamin mendapat kejutan tak terduga. Mayang menolak mentah-mentah. “Maaf, Mas Bamin. Saya rasa kita tak cocok jadi suami istri,” ucapnya dingin, sebelum meminta Bamin meninggalkan apartemennya. Wajah Bamin memerah. Kumis tipisnya naik turun. Giginya gemeletuk saling beradu. Perut buncitnya terasa sesak dan semakin membulat. Amarahnya mencapai ubun-ubun. Ketika Bamin hendak memaksa, beberapa pria tegap muncul di belakang Mayang, menatapnya tajam.
Bamin pun hanya bisa mengumpat dalam hati. Mahmud Ali, “bodyguard”nya juga tak bisa berbuat banyak. Kalah jumlah dan kalah gagah dengan pengawal Mayang Ekawati. Bamin pun tak berdaya. Dengan napas memburu dan wajah merah padam, ia meninggalkan tempat itu dengan harga diri yang terinjak-injak.
*
Sejak hari itu, hidup Bamin perlahan hancur. Bisnisnya merugi, tendernya selalu kalah, dan akhirnya ia ditangkap atas tuduhan terlibat dalam bisnis ilegal. Dalam jeruji besi, ia hanya bisa terpekur. Kabar dari pengacaranya, Febry Silapan, menjadi pukulan terakhir.
“Dewi, mantan istri Bapak, sudah menikah siri dengan Pak Erick,” ujar Febry hati-hati. Bamin terguncang, kaget! Ia terdiam, pikirannya berputar. Erick, kolega bisnisnya, adalah orang yang pertama kali mengenalkannya pada Mayang.
Dan Mayang? Biduan yang telah membuatnya kehilangan segalanya ternyata bagian dari permainan yang lebih besar. Febry memilih bungkam tentang fakta ini, membiarkan Bamin didera oleh kebingungan dan penyesalan tak berujung.
Dalam tahanan, di antara jeruji besi, Bamin hanya bisa bergumam, “Diampuut! Mayang…, Mayang…” Suaranya memecah kesunyian, terdengar seperti tawa kecil yang getir, diiringi isak tangis yang perlahan-lahan menguap dalam keheningan.
**
Ichwan Arifin. Alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang, penulis kolom dan cerpen, tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).