Si Pandir tidak pernah menyangka hidupnya akan berubah secepat ini. Selama bertahun-tahun, ia hanyalah seorang pegawai biasa di sebuah perusahaan besar. Setiap hari ia berangkat pagi-pagi buta, berdesak-desakan di bus kota, hanya untuk duduk di balik meja yang sama, mengerjakan tugas-tugas yang membosankan.
Namun kini, semuanya telah berubah.
Saat ia membuka amplop gaji bulan ini, matanya terbelalak tak percaya. Angka-angka yang tertera di sana membuat jantungnya berdebar kencang. Kenaikan jabatan yang ia dapatkan telah mengubah hidupnya dalam sekejap. Gajinya kini puluhan kali lipat dari sebelumnya.
“Akhirnya,” bisiknya pada diri sendiri, “Inilah saatnya aku menikmati hidup.”
Tanpa pikir panjang, Si Pandir meluncur ke dealer mobil terdekat. Matanya langsung tertuju pada sebuah mobil sport mewah berwarna merah mengilap. Mobil yang selama ini hanya bisa ia lihat di televisi dan majalah-majalah otomotif.
“Saya ambil yang ini,” ujarnya dengan bangga, mengeluarkan kartu kreditnya yang baru.
Saat mengendarai mobilnya yang baru, Si Pandir merasa seolah-olah dunia berada di genggamannya. Ia memacu kendaraannya di jalan-jalan kota, menikmati tatapan iri dari orang-orang di sekelilingnya.
Tak lama kemudian, seorang wanita cantik memasuki kehidupannya. Namanya Melati, seorang model yang ia temui di sebuah pesta kantor. Si Pandir terpesona oleh kecantikan dan gaya hidup Melati yang glamor.
“Kau pantas mendapatkan yang terbaik, Pandir,” ujar Melati suatu malam, sambil menyesap sampanye mahal. “Lupakan masa lalumu. Ini saatnya kau menikmati hidup.”
Kata-kata itu membuat Si Pandir lupa diri. Ia mulai mengabaikan keluarganya di rumah. Istrinya, Siti, hanya bisa menangis, memeluk anak-anak mereka yang kebingungan melihat perubahan drastis ayah mereka.
“Ayah kemana, Bu?” tanya si kecil Ade, putri bungsu mereka.
Siti hanya bisa menggeleng pelan, air matanya mengalir tanpa suara. “Ayah sedang sibuk, Nak. Kita doakan saja semoga ayah cepat pulang.”
Sementara itu, di kantor, sikap Si Pandir berubah drastis. Ia menjadi congkak dan sombong, bahkan kepada atasannya. Namun anehnya, bosnya yang sebal memilih untuk bungkam.
Rahasia di balik keberanian Si Pandir terungkap tak lama kemudian. Ia memiliki bukti bahwa sang bos sering mencuri uang perusahaan dan memiliki istri simpanan. Rahasia ini menjadi senjata Si Pandir untuk berbuat sesuka hatinya di kantor.
“Kau tak bisa menyentuhku,” bisik Si Pandir suatu hari kepada bosnya dengan nada mengancam. “Aku tahu semua rahasiamu.”
Merasa tak ada yang bisa menghentikannya, Si Pandir semakin liar dalam menghamburkan uangnya. Suatu hari, sebuah ide gila muncul di kepalanya.
“Aku akan membeli sebuah pulau,” ujarnya kepada Melati. “Kita akan memiliki surga pribadi kita sendiri.”
Tanpa berpikir panjang, Si Pandir mewujudkan idenya. Ia membeli sebuah pulau terpencil di tengah lautan. Dengan bangga, ia mengajak Melati untuk mengunjungi properti barunya itu.
Namun, takdir berkata lain. Saat kapal yang mereka tumpangi mendekati pulau, langit tiba-tiba menggelap. Awan hitam berkumpul, angin bertiup kencang, dan ombak mulai menggila.
“Ada apa ini?” teriak Melati panik.
Belum sempat Si Pandir menjawab, petir menyambar dengan dahsyat. Kapal mereka hancur berkeping-keping. Si Pandir terlempar ke laut, kesadarannya perlahan menghilang.
Ketika ia membuka mata, Si Pandir mendapati dirinya terdampar di pantai pulaunya. Sendirian. Melati tidak terlihat di mana pun.
“Tolong!” ia berteriak. “Siapapun, tolong aku!”
Namun yang menjawab hanyalah deru ombak dan kicauan burung-burung liar. Si Pandir akhirnya tersadar, ia terjebak di pulaunya sendiri. Sendirian dan ketakutan.
Hari demi hari berlalu. Si Pandir berjuang untuk bertahan hidup di pulau tak berpenghuni itu. Setiap malam, ia menangis dan meraung, menyesali semua keangkuhannya. Kekayaan dan kekuasaan yang ia banggakan kini tak berarti apa-apa.
Dalam sepi dan kesendirian, bayangan wajah istri dan anak-anaknya selalu muncul. Air matanya mengalir deras setiap kali ia teringat bagaimana ia telah menyakiti dan mengabaikan mereka.
“Siti… Ade… maafkan ayah,” bisiknya lirih setiap malam, berharap suatu hari nanti ia bisa kembali dan memperbaiki semua kesalahannya.
Si Pandir yang dulu lupa diri, kini hanya bisa berharap ada kesempatan kedua untuknya. Kesempatan untuk kembali menjadi suami dan ayah yang baik, untuk menghargai hal-hal sederhana dalam hidup yang dulu ia anggap remeh.
Di tengah deburan ombak dan hembusan angin laut, Si Pandir belajar pelajaran hidup yang paling berharga: bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada harta atau jabatan, melainkan pada kasih sayang dan kebersamaan dengan orang-orang yang kita cintai.
Dan jauh dari ia duduk meratapi nasib, Siti, istrinya, duduk diam di depan Boss. Wajahnya dingin, tatap matanya tajam, “Dia sudah tidak bisa mengganggumu. Saatnya aku menagih janji,” katanya. ***
Surabaya, 17 April 2024