Senja merangkak perlahan di atas kota Jakarta, mewarnai langit dengan semburat jingga keemasan yang muram. Gedung-gedung pencakar langit memantulkan cahaya terakhir matahari, menciptakan ilusi api yang membakar cakrawala. Di bawahnya, lautan manusia bergerak gelisah, terburu-buru pulang sebelum malam benar-benar turun.
Hadi, 45 tahun, berdiri diam di trotoar, membiarkan arus manusia bergerak melewatinya. Wajahnya yang lelah dan kusam kontras dengan kemeja putih yang masih rapi, meski sudah agak kusut setelah seharian bekerja. Matanya yang sayu menatap kosong ke kejauhan, seolah mencari sesuatu yang bahkan ia sendiri tak tahu apa.
Rutinitas yang sama telah menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Bangun sebelum fajar, terjebak macet panjang menuju kantor, menghabiskan hari di balik meja kerja yang dipenuhi tumpukan berkas dan layar komputer yang menyala, lalu pulang ketika malam sudah larut. Setiap hari, tanpa jeda, tanpa variasi.
Hadi menghela napas panjang, merasakan beban tak kasat mata yang semakin berat di pundaknya. Ada yang salah, bisik hatinya. Namun logika segera menegur: Di tengah ketidakpastian ekonomi dan harga-harga yang terus merangkak naik, bukankah ia seharusnya bersyukur masih memiliki pekerjaan tetap?
Rutinitas yang sama telah menggerogoti jiwanya selama bertahun-tahun. Bangun sebelum fajar, terjebak macet panjang menuju kantor, menghabiskan hari di balik meja
Malam ini, entah dorongan apa, Hadi memutuskan untuk tidak langsung pulang. Kakinya membawa dia menyusuri trotoar, melewati etalase toko yang mulai menyala terang. Aroma kopi yang mengundang menarik perhatiannya ke sebuah kafe kecil di sudut jalan.
Kafe Buku. Begitu papan nama sederhana di atasnya berbunyi. Hadi mendorong pintu kaca yang berderit pelan, disambut oleh denting lembut lonceng kecil. Aroma kopi yang kuat bercampur dengan wangi kertas dan tinta buku-buku tua menyerang inderanya.
Kafe itu tidak terlalu ramai. Beberapa pengunjung duduk tersebar, sebagian besar sendirian, tenggelam dalam buku atau laptop mereka. Hadi memilih meja di sudut, dekat jendela besar yang menghadap ke jalan.
Saat itulah ia melihatnya.
Di meja seberang, seorang perempuan duduk sendirian. Rambutnya yang hitam panjang jatuh lembut menutupi sebagian wajahnya yang tertunduk. Ia mengenakan kemeja flanel kotak-kotak berwarna biru tua yang terlihat nyaman, dipadu dengan celana jeans yang sudah agak pudar. Sebuah ransel kanvas tergeletak di kursi di sampingnya.
Namun bukan penampilannya yang menarik perhatian Hadi. Ada sesuatu dalam cara perempuan itu duduk, dalam gerak-gerik tangannya yang lincah di atas kertas, yang membuatnya tak bisa mengalihkan pandangan.
Perempuan itu sedang membuat sketsa.
Tangannya dengan cekatan menari di atas sebuah buku sketsa besar. Sesekali ia berhenti, mengambil secangkir kopi di sampingnya, menyesapnya perlahan, lalu kembali tenggelam dalam dunianya sendiri.
Hadi tak sadar bahwa ia telah memandangi perempuan itu cukup lama sampai seorang pelayan menghampirinya untuk mengambil pesanan. Dengan tergagap, Hadi memesan secangkir kopi hitam.
Sembari menunggu pesanannya, Hadi kembali melirik ke arah si perempuan misterius. Kali ini, seolah merasakan tatapannya, perempuan itu mengangkat wajah.
tanpa diduga, perempuan itu tersenyum. Bukan senyum lebar atau ramah, tapi senyum kecil yang misterius, seolah ia tahu sesuatu yang Hadi tidak tahu.
Untuk sesaat, waktu seakan berhenti.
Perempuan itu cantik, tapi bukan dengan cara yang konvensional. Ada sesuatu dalam sorot matanya yang dalam dan tajam, dalam garis-garis wajahnya yang tegas namun lembut. Usianya mungkin awal 30-an, tapi ada kedewasaan dan kebijaksanaan dalam auranya yang membuat Hadi merasa ia telah melihat dan mengalami lebih banyak dari kebanyakan orang seusianya.
Mereka bertatapan selama beberapa detik yang terasa seperti selamanya. Lalu, tanpa diduga, perempuan itu tersenyum. Bukan senyum lebar atau ramah, tapi senyum kecil yang misterius, seolah ia tahu sesuatu yang Hadi tidak tahu.
Hadi merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia ingin membalas senyum itu, ingin bangkit dan menghampiri meja perempuan itu, ingin memulai percakapan. Namun tubuhnya kaku, terpaku di kursi.
Saat itulah pelayan datang membawakan kopi pesanannya, memecah momen itu. Ketika Hadi kembali menoleh, perempuan itu sudah kembali fokus pada sketsa di hadapannya.
Selama satu jam berikutnya, Hadi duduk diam, pura-pura membaca koran yang ia temukan di meja, sambil sesekali mencuri pandang ke arah perempuan itu. Ia melihat bagaimana perempuan itu mengeluarkan berbagai alat gambar dari ranselnya – pensil warna, spidol, krayon – dan menggunakannya dengan terampil.
Akhirnya, setelah apa yang terasa seperti selamanya, perempuan itu bangkit. Ia memasukkan semua peralatannya ke dalam ransel, merapikan mejanya, lalu berjalan ke arah pintu.
Saat melewati meja Hadi, langkahnya terhenti sejenak. Tanpa berkata apa-apa, ia meletakkan selembar kertas di meja Hadi, lalu berlalu pergi.
Dengan tangan gemetar, Hadi mengambil kertas itu. Sebuah sketsa wajah – wajahnya sendiri. Digambar dengan goresan-goresan cepat namun tepat, sketsa itu menangkap tidak hanya rupa Hadi, tapi juga kesedihan dan kekosongan dalam matanya.
Di sudut kertas, ada sebuah tulisan kecil: “Besok, tempat yang sama?”
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam entah berapa lama, Hadi pulang ke rumah dengan senyum kecil di wajahnya. Besok, pikirnya. Besok akan berbeda.
Dan untuk saat ini, harapan kecil itu sudah cukup.
Jakarta, 27 Juli 2023