Perempuan itu terus menangis meski air matanya terkuras. Bajunya basah oleh keringat. Lecek dan kotor. Duduk bersimpuh di trotoar jalan. Kepalanya menunduk. Sorot matanya terlihat kosong. Rambutnya yang panjang keriting dibiarkan terurai. Sebagian menutup wajahnya. Napasnya sedu sedan.
Di seberang jalan, orang-orang sedang menjarah minimarket dan beberapa toko di sekitarnya. Tidak terlihat polisi atau aparat yang mengamankan situasi. Massa pun leluasa melakukan aksinya. Makanan, minuman, barang-barang keperluan rumah tangga seperti kulkas, televisi dan sebagainya dijarah. Bak pesta-pora, stok makan dan minuman dibongkar dan dinikmati di situ juga. Sebagian lainnya dibawa pulang. Bekas kemasan, sisa makanan dan kaleng-kaleng minuman bertebaran di mana-mana.
Laki-laki, perempuan, dewasa dan remaja campur baur dalam kumpulan massa. Ekspresinya seragam, amarah dan beringas. Sebagian diantaranya merekam aksi itu melalui telephone genggam dan meng”upload”nya ke media sosial. Tak butuh waktu lama, video-video kerusuhan telah ramai di jagad maya.
Penjarahan berlangsung sangat cepat. Sesaat kemudian, terlihat asap hitam membumbung tinggi. Massa mulai membakar supermarket dan bangunan lainnya. Situasi makin kacau balau. Orang-orang berlarian, menyelamatkan diri sekaligus mengamankan barang-barang jarahan.
Lapak dagangan perempuan itu ikut diterjang orang-orang yang berlarian. Barang-barang dagangan berupa makanan, minuman, “bettlenut” dan sebagainya hancur berantakan. Sebagian diambil para penjarah. Tak ada yang peduli.
*
Beberapa saat sebelum kerusuhan, aku dengan beberapa staf lokal sedang monitoring pelaksanaan program komunitas yang didukung lembaga tempat kami bekerja. Lokasinya di sekitar Waigani, tak jauh dari pusat kota Port Moresby. Tak jauh dari situ, ada supermarket, beberapa toko bahan makanan dan gereja.
NGO Internasional tempatku bekerja tengah mengembangkan program pemberdayaan ekonomi dan perempuan di berbagai negara, termasuk di Papua New Guinea (PNG). Kami bekerjasama dengan beberapa gereja. Kekristenan, dengan beragaman denominasinya dianut sekitar 98% masyarakat. Ada Advent Hari Ketujuh, Lutheran Injil, Pantekosta, Anglikan, Baptis, termasuk Katholik Roma. Gereja tidak hanya jadi tempat ibadah tapi juga pusat aktifitas komunitas.
Pagi hari itu, seperti suasana pada hari-hari sebelumnya, tidak nampak gejala kerusuhan. Ada informasi akan terjadi demonstrasi terkait kebijakan pemerintah tentang pajak. Namun semua tidak pernah membayangkan akan berkembang menjadi kerusuhan. Karena itu, kami tetap melakukan aktifitas seperti biasa.
Pagi hari, para demonstran mulai berkumpul di titik-titik tertentu. Gedung parlemen jadi sasara utama demonstrasi. Pada saat yang sama, ada orang-orang yang ingin mengambil keuntungan dari situasi tersebut.
Mereka mulai berkumpul berbagai titik. Beranjak siang, semakin banyak orang berkumpul. Awalnya, berkerumun. Namun, saat matahari tepat bersinar terik, mulailah kerumunan massa itu mendobrak pagar pertokoan. Kelaziman di sini, semua bangunan seperti pertokoan, perkantoran atau rumah-rumah selalu dikelilingi pagar tinggi untuk alasan keamanan. Namun, pagar itu tidak bertahan lama. Hanya butuh waktu 10 menit untuk merobohkannya! Massa langsung menyerbu supermarket.
Aku dan para staf lainnya dievakuasi di sebuah gereja. Kebetulan lokasinya berdekatan dengan lokasi program. Pagar gereja ditutup rapat dan dijaga beberapa petugas keamanan. Dari balik jendela kaca di lantai 2, aku berdiri mengamati situasi luar.
Sebagian dari kami, duduk berhimpun dan berdoa. Kudengar lamat-lamat, pastur membimbing orang-orang yang berlindung di situ mendaraskan “Doa Bapa Kami” dengan bahasa setempat, “Papa bilong mipela. Yu stap long heven. Nem bilong yu i mas i stap holi. Kingdom bilong yu i mas i kam. Strongim mipela long bihainim laik bilong yu long graun, olsem ol i bihainim long heven…”
Hingga senja berganti malam. kerusuhan itu masih terus berlangsung. Televisi dan sosial media, mengabarkan kerusuhan telah meluas ke hampir seluruh kota. Sasaran utamanya adalah pusat pertokoan dan gudang.
Sekilas ingatanku kembali pada kerusuhan sosial Mei 1998, di Jakarta. Mungkinkah hal ini merupakan bentuk protes, meluapkan kemarahan, kegundahan dan keresahan atas banyak hal? Biaya hidup makin tak terjangkau, pekerjaan susah didapat, kemiskinan merajalela, krimininalitas tinggi. Disisi lain, segelintir orang menikmati kekayaan yang luarbiasa.
Aah.. jawabannya sangat pelik.
**
Setelah situasi mereda, aku bersama beberapa staf lokal, mengecek situasi di luar. Perempuan yang kulihat tadi masih menangis. Berjalan kesana kemari tanpa arah, terlihat bingung. “Yu orait?” tanyaku. Perempuan itu terus menangis, dengan lirih berkata,”… Bagarap olgeta, bagarap olgeta.” Semuanya hancur, katanya berulang-ulang. Aku merasa bodoh bertanya demikian. Jelas-jelas di depan mata situasinya kacau balau.
Vincent Kobus, salah satu staf lokal berusaha membantu mengumpulkan sebagian barang yang masih dapat diselamatkan. Aku mengenali perempuan itu sebagai aktivis gereja. Shirley Vahara namanya. Usianya masih muda, sekitar 30an. Perawakannya sedang, berkulit gelap dengan rambut keriting. Wajahnya merefleksikan tempaan hidup yang keras.
Shirley bukan asli Port Moresby. Ia berasal dari desa kecil, terpencil di dataran tinggi. Sangat jauh dari Port Moresby. Ia dipaksa menikah muda. Jauh sebelumnya, bapak ibunya jadi korban kerusuhan antar suku. Pernikahan dininya pun dipenuhi KDRT. Tak punya banyak pilihan di desanya, ia memutuskan mengadu nasib di Port Moresby. Namun hidup di ibukota juga tidak kalah keras. Tak semudah seperti dalam sinetron Philipina atau Indonesia. Sempat terjebak dalam “dunia gelap” ibukota, ditipu dan dieksploitasi jiwa raga, akhirnya Shirley dapat lepas dari perangkap tersebut. Ia berupaya menafkahi diri dengan membuka lapak. Berjualan makanan kecil, minuman dan sebagainya tak jauh dari gereja.
***
Vincent mengajaknya masuk ke halaman gereja. Berkumpul bersama dengan yang warga berlindung disitu. Shirley bersikeras menolak, “Mi laik lukim bek pikinini bilong mi”, katanya, ingin mencari anaknya yang belum diketahui nasibnya. Akhirnya, sejumlah anggota tim menemaninya mencari. Termasuk berkomunikasi lewat semua jejaring, lembaga, gereja, dan grup-grup WA.
Tak berapa lama, muncul “messages” di HP ku. “Dewa, check out this photo. It has been confirmed. She’s Shirley’s daughter.” Ada foto anak kecil perempuan tergolek disudut ruangan sebuah supermarket yang terbakar. Wajahnya menghitam namun masih dapat dikenali. Tangannya memeluk boneka baru. Sebagian tubuhnya seperti luka bakar. Ia terjebak diruangan dan kehabisan oksigen. Beberapa jemaat telah memastikan, bocah perempuan itu anaknya Shirley. Kuperlihatkan foto itu ke pastur. Ia menarik napas panjang, terasa sesak di dada. Di depan altar, ia pejamkan mata dan berdoa.
Aku terpekur di sudut ruangan. Orang bijak mengatakan Tuhan ada dalam gubuk-gubuk si miskin. Namun, kemiskinan akut yang dialami si miskin juga bisa membuatnya berpaling dari sang pencipta, bertindak diluar nalar dan tatanan yang dihendakiNya. Dititik itu aku hanya bisa berkata lirih, “Mi pray long yu olsem bai God I givim liklik ples long pikinini bilong yu Kingdom bilong em.” Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik! (Ichwan Arifin)
****
Penulis adalah alumnus Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Tinggal di Port Moresby, Papua New Guinea (PNG).