Lihatlah
sebuah panggung di negeri sandiwara
ketika ada Ulama Durna ngesot ke istana
menjilat pantat raja agar diberi jatah remah-remah
maka kekuasaan menjadi sangat pongah
memesan potongan-potongan ayat untuk diplintir sekenanya
agar segala tingkah polah dianggap absah
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
menyerahkan marwah yang dulu diembannya
Sengkuni dan para pengikutnya di luar sana
bertingkah sok gagah berlindung di ketiak penguasa
menunggang banteng bermata merah
mengacungkan arit sebagai senjata
memukulkan palu memvonis orang-orang ke penjara
Lihatlah
ketika Ulama Durna berdagang mantra berbusa-busa
adakah ia hendak menyulut api baratayuda
para pengikutnya mabuk ke lembah-lembah
tatanan yang dulu dicipta oleh para pemula
porak poranda dijajah tipu daya
oh tahta dunia yang fana
para begundal mengaku dewa-dewa
sambil menuding ke arah kawula
seakan isi dunia hendak diuntal mentah-mentah
Lihatlah
ketika Ulama Durna ngesot ke istana
pada akhir perebutan tahta di padang kurusetra
ia diumpankan raja ke medan laga
terhenyaklah saat terkabar berita
anak hasil perzinahannya dengan satwa
telah gugur mendahului di depan sana
Ulama Durna bagai kehilangan seluruh belulangnya
ia menunduk di atas tanah
riwayatnya pun berakhir sudah
kepalanya terpenggal karena terpedaya
menebus karmanya saat baratayuda
***
Ulama Abiyasa Tak Pernah Minta Jatah
Ulama Abiyasa adalah guru yang mulia
panutan para kawula dari awal kisah
ia adalah cagak yang tegak
tak pernah silau oleh gebyar dunia
tak pernah ngiler oleh umpan penguasa
tak pernah ngesot ke istana untuk meminta jatah
tak pernah gentar oleh gertak sejuta tombak
tak pernah terpana oleh singgasana raja-raja
Ulama Abiyasa merengkuh teguh hati dan lidah
marwah digenggam hingga ke dada
tuturnya indah menyemaikan aroma bunga
senyumnya merasuk hingga ke sukma
langkahnya menjadi panutan bijaksana
kehormatan ditegakkan tanpa sebiji senjata
Ulama Abiyasa bertitah
para raja dan penguasa bertekuk hormat padanya
tak ada yang berani datang minta dukungan jadi penguasa
menjadikannya sebagai pengumpul suara
atau didudukkan di kursi untuk dipajang di depan massa
diberi pakaian dan penutup kepala berharga murah
agar tampak sebagai barisan ulama
Ulama Abiyasa tak membutuhkan itu semua
datanglah jika ingin menghaturkan sembah
semua diterima dengan senyum mempesona
jangan minta diplintirkan ayat-ayat asal kena
sebab ia lurus apa adanya
mintalah arah dan jalan sebagai amanah
bukan untuk ditembangkan sebagai bunga kata-kata
tapi dilaksanakan sepenuh langkah
***
Ulama Bhisma Terkunci Langkahnya
Ulama Bhisma adalah guru para kesatria
tutur langkahnya dianut para kawula
tapi seusai perjudian tahta curang durjana
ia memilih hidup dalam tembok istana
segala hajat hidup dipenuhi raja
bergelimang nyaman nikmat dunia
singgasana menggerusnya hingga alpa
Ulama Bhisma merenung di senjakala
ia gamang dalam titah dan langkah
para kesatria dan pengikutnya terbelah-belah
maka disuarakanlah fatwa seperti dulu kala
tapi kata-katanya hampa tak bernyawa
didengar raja tapi tak diindahkan adanya
seperti burung dipelihara untuk pajangan istana
Raja bersuara didengar seluruh kawula
katanya menghormati panutan dan fatwa-fatwa
tapi Ulama Bhisma meratap hatinya
bagai tersayat sejuta luka
hilang harga oleh kecutnya cuka
segala fatwa tak digubris dan hampa
seperti buih di pasir yang segera musnah
Ulama Bhisma dijadikan bantalan istana
atau seperti kembang di meja makan para raja
biar sedap dipandang saat bersantap dan dahaga
seusai itu dibuang ke keranjang sampah
Ulama Bhisma memuncak jengah
lidahnya musnah tak lagi bersuara
ada satu terdengar di akhir kata:
tak mungkin ada matahari dua, katanya
sebagai pertanda kalau ia telah kalah
Oh birahi tipuan dunia
senasiblah dengan Ulama Durna
menjelang akhir baratayuda
Ulama Bhisma dilempar raja ke medan laga
mempertahankan angkara dinasti dan kuasa
melawan para kesatria dan anak cucunya
Ulama Bhisma pun menebus karmanya
maka berkelebatlah si cantik rupa
terpedaya oleh janji dan kata-kata
Ulama Bhisma terkunci langkahnya
dari depan marabahaya menerjangi tubuhnya
ia jatuh terjengkang disanggah ribuan anak panah
bumi menolak jasadnya di akhir kisah
padang kurusetra menamatkan riwayatnya
***
M. Shoim Anwar lahir di Desa Sambong Dukuh, Jombang, Jawa Timur. Setamat dari SPG di kota kelahirannya, dia melanjutkan pendidikan ke IKIP Surabaya (Unesa) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia hingga menyelesaikan program doktor. Kini menjadi dosen dan tinggal di Surabaya. Shoim banyak menulis cerpen, novel, esei, dan puisi di berbagai media. Karya-karyanya dimuat dalam antologi berbahasa Indonesia, Inggris, dan Prancis, seperti Cerita Pendek dari Surabaya (editor Suripan Sadi Hutomo), Negeri Bayang-bayang (editor D. Zawawi Imron, dkk.), Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia (editor Korrie Layun Rampan), Dari Fansuri ke Handayani (editor Taufiq Ismail, dkk.), Horison Sastra Indonesia (editor Taufiq Isamail, dkk), Black Forest (kurator Budi Darma), New York After Midnight (editor Satyagraha Hoerip), Beyond the Horizon (editor David T. Hill), Le Vieux Ficus et Autres Nouvelles (editor Laura Lampach), dll.
Kumpulan cerpen Shoim yang telah terbit adalah Oknum (Gaya Masa,1992), Musyawarah Para Bajingan (Gaya Masa,1993), Limau Walikota (ed., Surabaya Post, 1993), Pot dalam Otak Kepala Desa (Dewan Kesenian Surabaya, 1995), Bermula dari Tambi (ed., Dewan Kesenian Jatim, 1999), Soeharto dalam Cerpen Indonesia (ed., Bentang, 2001), Sebiji Pisang dalam Perut Jenazah (Tiga Serangkai, 2004), Perempuan Terakhir (Grasindo, 2004), Asap Rokok di Jilbab Santi (Jaring Pena, 2010), Kutunggu di Jarwal (SatuKata, 2014), Sepatu Jinjit Aryanti (Pustaka Ilalang, 2018), Tikus Parlemen (Tankali, 2019). Novelnya yang pernah dipublikasikan Meniti Kereta Waktu (SIC, 1999, juga terbit dalam terjemahan bahasa Jawa Ngoyak Impen) dan cerita bersambung di media massa adalah Sang Pelancong (1991), Angin Kemarau (1992), Tandes (1999), serta Elies (2006).
Buku lain yang ditulisnya adalah Sejarah Sastra Indonesia (2012), Sastra Rebonding (2013), dan Theatrum- Malam Terakhir (ed., 2013), Sastra yang Menuntut Perubahan (2015), Sastra dan Korupsi (2019), Penyair Memburu Bayangan Tuhan (2019), dan Sastra Merespons Dinamika Zaman (2020).