Seekor jago hitam bertengger di atas kepala Ida Rahima. Itulah yang Darmo lihat saat berjalan dengan kaki terseret-seret ketika senja merebah dengan hangat. Sepasang sayapnya mengepak-ngepak gagah. Jago hitam dengan mata bulat awas, paruh lancip tajam, kaki-kaki jenjang dan sepasang jalu yang siap menerkam. Ida Rahim melambai-lambai memanggil dari kejauhan dengan senyum yang mempesona. Seperti tidak sadar ada seekor jago yang sedang mencengkeram kepalanya.
Dengan paruhnya, jago hitam mematoki batok kepala Ida hingga meninggalkan bintik-bintik merah yang mengucur. Ida tetap menyunggingkan senyum. Sepasang ceker jago hitam tetap kukuh mencengkeram kepalanya. Pelan-pelan, si brengsek itu mulai mematoki otaknya. Secepat kilat, Darmo menghampiri Ida Rahima dan mengusir jago keparat itu. Tiba-tiba, sekawanan ayam hitam—entah dari mana datangnya—menyerang Darmo hingga ia tersungkur penuh luka patok.
“Jago bangsat!” Darmo tergeragap bangun dengan bulir-bulir basah yang menghiasi dahinya. Sambil terduduk lunglai, Darmo mencoba menyusun kembali keping-keping kesadarannya. Sudah berhari-hari ia disergap mimpi buruk. Mimpi laksana palu godam yang memukul tempurung kepalanya berkali-kali. Persis seperti sebongkah batu dari lontaran kalimat Ibu Ida Rahima yang menghantam harapannya.
“Jika kau ingin mempersunting anakku, kau harus persiapkan jago cemani hitam berlidah legam. Aku tidak ingin bahaya menimpa satu-satunya anak perempuanku!”
***
Ida Rahima, bagi Darmo, memiliki segenap kesempurnaan: cantik, anggun dan menarik. Rambutnya tergerai sebahu. Kedua matanya menyimpan keindahan yang tak pernah habis diteguk. Darmo lekat-lekat memandangi foto kekasihnya. Bagi orang yang sedang mencinta, selembar foto adalah guyuran hujan pada tanah kerinduan yang dilanda kekeringan.
Ida Rahima terlalu istimewa untuk disia-siakan, batin Darmo. Ia masih ingat sekali saat ia pertama kali bertemu dengannya. Pertemuan yang sederhana. Teramat sederhana. Saat itu, matahari masih berselimut awan, Darmo bertelanjang dada menurunkan pasir dari truk dengan cangkulnya. Tepat di halaman rumah Ida. Di sela-sela ayunan cangkul, supir truk memanggil Darmo.
“Hei, istrahat! Kopi panas!”
Terlihat seorang gadis yang sedang memindahkan kopi dari nampan merah. Darah Darmo terkesiap. Si gadis menatapnya. Tatapan yang membuat dadanya bergejolak hebat. Dengan sigap, Darmo meloncat turun dari bak truk, lalu menyambar kopi hitam yang tertutup.
“Haaa….!!! Panas!”
“Kopi panas kok disruput!? Meleleh bibirmu!” ledek si sopir.
Ida melihat tingkah laku Darmo sambil menyunggingkan senyum. Sungguh, dua bibir yang sanggup membuat hatinya berdegup-degup.
“Jadi, kapan lagi kita kirim pasir ke sini?” Darmo melempar tanya saat truk sudah beranjak dari rumah Ida.
“Minggu depan. Mungkin, tiga atau empat kali lagi, kita ke sini,” jawab si sopir.
Ida Rahima terlampau sia-sia jika harus ditinggalkan. Berhari-hari setelah pertemuan itu, senyum Ida masih terus mengikat perasaan Darmo. Senyum yang mendorong keberanian di palung jiwa Darmo untuk segera meresmikan hubungan mereka. Akan tetapi, senyum Ida Rahima tak mampu meruntuhkan tradisi yang dianut oleh kedua orang taunya. Orang tua Ida Rahima tidak meminta pernikahan yang megah. Tidak juga mas kawin dengan emas berkarat. Apalagi mengundang ribuan orang. Tidak. Tetapi, mereka meminta hal yang bakal sulit dihadirkan oleh Darmo. Seekor jago cemani berlidah hitam.
“Ini masalah kepercayaan, Mas. Rumah kamu dan anakku, Ida, terpisah oleh sungai Brantas. Ini sudah menjadi keyakinan turun temurun di sini. Kami percaya bahwa Sungai Brantas adalah batas kekuasaan dua kerajaan yang berbeda. Untuk mempertemukan dua orang dari dua daerah, kita perlu melaksanakan ritual tolak sengkala dengan menyembelih jago hitam persis di tubir sungai,” Ibu Ida Rahima menatap Darmo lekat-lekat.
Gara-gara jago hitam dengan lidah legam, Darmo dicekam kekalutan berhari-hari. Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Mimpi-mimpi buruk menyerangnya. Kalau jago dengan jalu menjulang setajam pedang, dia bisa menghubungi Rojek, tetangga desanya, raja judi adu ayam dengan puluhan ayam jago bersabuk merah. Jika mencari ayam betina petelur, ia dapat menghampiri Roni, si telunjuk ajaib yang dapat mendeteksi kesuburan ayam betina dari lubang duburnya. Tetapi, ini jago cemani, berlidah hitam pula. Satu-satunya yang ia ingat tentang ayam ini adalah saat seekor ayam hitam disembelih pada larung sesaji di puncak Gunung Kelud. Ayam hitam dengan bulu yang pekat. Jengger, mata, paruh, sayap, sepasang kaki dan cakarnya melegam. Darmo yakin Tuhan telah menceburkan binatang ini ke dalam tinta hitam sebelum dimasukkan cangkang telur.
Ia bertekad esok hari ia akan mengunjungi tetua penjaga Gunung Kelud. Ia yakin tetua kampung itu mampu menunjukkan dimana ia bisa mendapatkan jago hitam. Pantang baginya untuk mengingkari janji yang telah ia ikrarkan di depan Ida Rahima dan ibunya.
“Secepatnya, akan kubawa jago cemani berlidah legam.”
***
Malam membekap begitu dingin. Gelap bergelayut sangat pekat. Embun turun lebih cepat, padahal tengah malam belum juga usai. Terdengar suara besi terantuk-antuk batu dan kerikil. Memecah sunyi yang bertengger di lereng Gunung Kelud. Sebuah lampu gas nampak menyala sendirian di tengah kegelapan.
“Sudahlah! taruh cangkulmu itu. Masih ada hari esok. Lihat! Bahkan cangkulmu sering kali copot dari gagang kayunya. Dia lebih bisa merasakan lelah daripada dirimu.”
“Masih banyak wanita lain, tak perlu kerja terlalu keras!”
Yang tertuju hanya melambaikan tangan. Segerombolan lelaki asyik menyalakan rokok sambil bercakap-cakap menghangatkan diri. Sudah genap dua bulan, Darmo menginap di gubuk-gubuk di bantaran sungai di lereng Gunung Kelud. Tubuhnya kurus kering. Badannya berwarna legam. Otot-ototnya semakin liat dan menonjol. Tak ingat waktu, Darmo terus bekerja hingga larut malam. Tak kenal lelah, ia terus mengayunkan cangkulnya untuk menimbun butiran-butiran pasir. Pikirannya hanya dipenuhi jago hitam. Terngiang-ngiang kalimat juru kunci gunung Kelud yang menyalakan lilin di tengah gelap harapan.
“Ayam hitam masih bisa didapatkan. Harganya pun masih masuk bisa dijangkau. Tetapi, ayam jantan hitam dengan lidah legam, harganya bisa mencapai seratus lima puluh juta. Aku bisa mengantarkanmu kepada penjualnya. Tetapi aku tak yakin kau mampu membelinya.”
Fajar dini hari telah mengintip di ufuk langit. Sulur-sulur angin bersembunyi di balik kabut. Darmo menyandarkan punggungnya pada seonggok batu besar. Punggung yang telah membungkuk dengan tulang yang membengkok. Kedua kakinya berselonjoran menahan gumpal-gumpal letih pada urat-uratnya. Masih tersisa satu purnama lagi, ia akan membawa jago hitam untuk menjemput Ida Rahima, batinnya. Perlahan-lahan, kelopak matanya mengatup terpejam.
***
Angin senja berdesir sayup-sayup. Semburat mega berpendar-pendar di atas Gunung Wilis. Sungai Brantas nampak kecoklat-coklatan. Perahu hilir mudik membelah sungai, mengantarkan orang-orang dari seberang ke seberang. Sambil mengamati riak-riak air, Darmo berpikir bahwa ia telah berhasil menaklukkannya. Meski perahu bergoyang-goyang diterpa arus, Darmo tetap berdiri mantap dengan menenteng kurungan ayam berbalut kain hijau pekat. Di dalamnya, seekor jago hitam berlidah legam sedang terpekur. Jago hitam yang akan menolak naas dan mengusir bala dalam kehidupannya bersama Ida Rahima.
“Eh, Mas Darmo. Silahkan masuk. Sudah lama sekali tidak kemari,” Ibu Ida Rahima menyambutnya di depan rumah yang telah menjadi megah.
“Jadi, kedatangan saya kemari untuk mengantarkan ini, Bu.” Tanpa basa-basi, Darmo membuka kain penutup kurungan ayam. Seekor jago hitam menoleh ke sana kemari, tak tahu ia berada di mana.
Ida Rahima membuka tirai dan menemukan sorot mata Darmo di ruang tamu rumahnya. Keduanya bersitatap dalam beberapa detik. Hingga suara Ibu Ida Rahima memecahkan suasana.
“Maaf, Mas Darmo. Anakku, Ida, sudah menikah dengan Husni, seorang guru pegawai negeri dari desa sebelah. Dua minggu yang lalu.”
Tiba-tiba, Darmo melihat jago hitam meloncat keluar kurungan, mengepakkan kedua sayapnya dan bertengger di atas kepala Ida Rohima. Dengan paruhnya, jago hitam mematoki batok kepalanya hingga menyisakan luka yang menganga.
Karya : M. Rosyid H.W.
Lahir di Sidoarjo dan bertumbuh di lereng Gunung Kelud. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa. Kumpulan cerpennya yang akan terbit “Rembulan di Bibir Teluk dan Cerita Lainnya.”