“Jangan sampai kalah! Kita harus jadi juara.” Suara Don Arjuna melengking diantara sorak sorai penonton di tribun stadion. “Setipis apapun skor nya, kita harus tundukkan mereka. Kalian tahu mengapa?” Seperti biasa, kami hanya menunggu kalimat berikutnya, kami tahu kalimat itu sesungguhnya bukan pertanyaan, melainkan penekanan pada kalimat selanjutnya.
“Bukan hanya persoalan bonus dua belas milyar.” Meskipun ya, kami semua ngiler membayangkan bonus sebesar itu jika memenangkan musim kompetisi ini. Sesuatu yang menjadi mimpi kolektif kami para pemain, pelatih dan tim official lainnya. Dua belas milyar itu angka yang fantastis, belum pernah ada dalam sejarah sepak bola Republik Amarta.
“Bukan hanya karena sudah belasan tahun sepakbola kita keok dan kisruh. Juga bukan karena rasa marah karena sepak bola Amarta dibilang tak pernah bertaji. Melainkan satu perkara…” mata Don Arjuna menyipit, melirik satu persatu para pemain inti maupun pemain cadangan yang berdiri melingkar mengelilinginya. Kami menanti koma yang menggantung…
“Sebab…..” Suaranya mendesis disela-sela gigi yang terkatup rapat, namun saluran diafragma yang baik mampu mengeluarkan kata-kata dengan bertenaga. Dan kalimat selanjutnya itu terdengar menggelegar meskipun disampaikan dengan pelan. “Hanya sepakbola yang bisa menjadi alat pemersatu negeri yang retak ini.”
Kami terdiam. Menatap serius pada wajah Don Arjuna. Urat syaraf kami menegang. Kami tahu kemana arah pembicaraan ini. Don sangat priharin. Kisruh Majapahit sepertinya segera terulang. Majapahit yang hancur oleh perang saudara, pertikaian politik yang dibenturkan issu agama, menjadikan negeri raksasa itu hancur tanpa bekas. Habis begitu saja. Don Arjuna tak ingin Amarta mengalami hal serupa.
“Hanya sepakbola, yang menjadikan suara rakyat Amarta bulat, menguatkan nasionalisme. Karena itu aku meminta kepada kalian, anak-anakku, jadilah pahlawan, sekali ini saja. Please, aku memohon.”
Kami seperti anak-anak domba yang menunggu perintah sang gembala hendak pergi kemana. Kalimat terakhir pelatih kami sangat telak memukul dada. Menggemuruh oleh rasa senasib dan geletar nasionalisme. Pekik dan gelora suara penonton menambah ritme jantung yang berdentam. Seluruh mata para pemain berkilat semangat. Ya! Inilah saatnya kami harus berjibaku. Demi keutuhan Amarta. Republik tempat aku lahir, meskipun darahku bukan seratus persen Amarta.
“Kalian satu-satunya harapanku, harapan seluruh rakyat Amarta. Kemenangan kalian mengharumkan negeri ini sekaligus merekatkankan persatuan dan kesatuan. Kalian akan menjadi pahlawan yang akan dikenang sepanjang sejarah. Dan kau, Parikesit….!” Pelatih Don Arjuna menoleh kearahku dengan gerakan gesit.
“Kutitipan panah Pasopati di kakimu.” Ia menunjuk kaki kananku yang dikenal sebagai betis gada malaikat, begitu awak media melabelinya. Tetapi pelatih kami menamainya Pasopati. “ Tugasmu adalah melesakkan bola kedalam gawang Astina. Jangan sampai lengah, jangan sampai meleset. Ingat kau parikesit?” aku mengangguk, semangat, yakin, excited. Pahlawan? Oh yeah!!
Kebetulan saja Don Arjuna memiliki nama yang sama dengan mendiang kakekku, Arjuna. Tetapi ini bukan kisah pewayangan. Don Arjuna bukanlah kakekku. Ia hanya seorang pelatih sepakbola yang dibayar mahal untuk menjadikan kesebelasan nasional ini memiliki nama. Tetapi Don Arjuna paham betul riwayat setiap pemain, bahkan kelemahan dan kekuatan psikis setiap pemain. Jika ia menggunakan kata Pasopati untuk menamai kakiku, sebab ia tahu benar riwayat kakekku.
Sebagai pemain penyerang yang selalu mendapatkan posisi strategis, aku menjadi tumpuan harapan, bukan hanya anggota kesebelasan ini, melainkan juga presiden Amarta dan seluruh penduduknya. Lima tahun karirku sebagai pemain timnas, tak pernah mengecewakan, meskipun kami selalu keok melawan negara manapun ada saat final. Posisi kami selalu runner up. Kakiku yang dijuluki Pasopati oleh Don Arjuna, selalu melesakkan gol ke gawang lawan, entah sebiji atau dua. Walaupun hasilnya masih, ya… masih belum pernah juara satu.
Maka aku sadar sepenuhnya, bahwa kali inipun mereka menyorot kakiku dengan kamera dari berbagai penjuru. Berapa gol dapat diciptakan si pasopati, itu yang mereka buru. Kakiku bernilai mahal. Mereka membayar setiap gol yang kuciptakan dengan angka ratusan juta. Maka saat bola itu menggelinding kearahku, teriakan membahana memenuhi stadion.
“Parikesit….ayooo…hanguskan gawang Astina. Hancurkan. Jebolkan!! Habisi Astina. Ganyang Astina!” Teriakan itu tak hanya lahir spontan, juga berupa tulisan pada spanduk-spanduk di stadion yang mengelilingi pandangan para pemain Amarta.
“Parikesitttttttttttt….!! I Love Youuuuuu!!!” teriak para perempuan yang rela mencoreng mukanya dengan gambar bendera negeri kami. Teriakan itu kadang memecah konsentrasiku, bukannya membumbungkan semangat. Namun lebih sering kami menulikan diri. Kata-kata pelatihlah yang jauh lebih sakti. Dengan menahan api yang menyala di kepala ini, bola dikakiku dalam tempo lima detik harus sudah berpindah kaki, demikianlah strategi yang diberikan oleh pelatih Don Arjuna. Setiap pemain dilarang menggiring bola sendirian ke gawang. Bola hanya boleh lima detik di kaki kita. Siapa yang bakal melesakkan kedalam gawang, bergantung pada kecepatan pemain mengambil posisi. Bola bergulir cepat dari kaki satu pemain ke pemain lain seperti diamanatkan Don Arjuna.
Dan begitulah, seperti sudah diramalkan, suara membahana bergemuruh memenuhi stadion saat kakiku mmembentuk tendangan pisang, melahirkan angka 1-0 untuk kesebelasan Amarta. Seluruh pemain menubrukku, menjambakku, meninjuku, mengelus kepalaku, mengangkat tubuhku berputar. Sempat kutangkap wajah Duryudana yang putus asa. Ia meninju tiang gawang dan berteriak. Dia pasti kesal, tendangan pisang dari Pasopati melenting sempurna kearah gawangnya. Duryudana tadi sudah mengantisipasi dengan baik. Ia melompat tepat ke arah bola itu menghampirinya. Namun kecepatan bola dari kakiku tak cukup kuat ditahan oleh kedua lengannya yang kokoh. Ia terjatuh dan bola itu dengan manis menggoyangkan jaring gawang. Duryudana terkapar, berdiri, lalu memaki-maki.
Setelah reda selebrasi kemenangan 1-0 itu aku kembali memasang posisi, menghadap gawang Duryudana yang masih terlihat emosi. Saat itulah, mataku menubruk sebuah noktah merah diantara rimbunan wajah di belakang gawang. Wajah Dewi Utari, ibuku. Aneh. Ibuku tidak pernah hadir dalam setiap pertandinganku, tidak pernah sejengkalpun ibu meninggalkan Indrakila. Ibu selalu menonton permainanku dari layar televisi cembung 14 inchi satu-satunya di rumah kami. Katanya, ia takut serangan jantung jika aku gagal mencipta gol. Lebih aman baginya menunggui kabar kegembiraan atau kegagalan melalui ponsel setelah usai permainan.
Ada dua kejanggalan. Pertama, Ibuku hadir di lapangan, itu pertama kalinya dalam sejarah karir sepakbolaku. Kedua, Wajah Ibuku yang cemas. Ia tidak menjerit histeris seperti yang lainnya. Juga tidak berdiri bertepuk tangan. Ibuku duduk dengan mata basah. Benar. Mata ibuku basah dan ketakutan. Dalam perjalanan detik yang terasa lama, kusesapi pemandangan absurd itu dengan lebih seksama. Namun kontak mata diantara kami selalu terganggu oleh ritme bola yang kemudian memaksaku menghindari noktah merah itu.
Sejak itu, otakku terganggu. Konsentrasiku bercabang kemana-mana, meliar seperti berhamburan diantara ladang tanya. Ada apa Ibu datang? Mengapa ibu terlihat cemas? siapa membawa Ibuku ke stadion? Perjalanan dari kotaku di Indrakila ke Amarta membutuhkan perjalanan darat 20 jam menuju ibukota. Tak ada lapangan udara. Kalaupun bisa ditempuh dengan pesawat, Ibu harus ke kota Pancala dengan naik kereta api selama lima jam. Kemudian naik pesawat selama 1,5 jam. Sungguh tidak mudah mencapai ibukota.
Tanpa Ayah, tak mungkin Ibuku dapat pergi ke ibukota. Otakku terus berputar mencari benang merah. Konsentrasiku berhamburan. Namaku menjadi bahan teriakan para penonton karena aku beberapa kali melewatkan kesempatan emas. Bola yang hanya beberapa detik di kakiku, seringkali berpindah ke kaki lawan. Wajah Duryudana yang menjaga gawang lawan sering terlihat aneh dimataku. Ia tampak menyeringai seperti raksasa bergigi taring yang siap menggigit leherku.
Tiba-tiba peluit wasit berdecit. Satu babak terlampaui. Kemenagan masih ada di pihak kami. Posisi masih aman 1-0 untuk timnas Amarta. Sementara Astina yang mulai menaikkan tensi serangan, terus menerus menekan kubu kami di berbagai lini. Don Arjuna mengumpulkan kami sambil mengingatkan, jika bertahan di posisi 1-0 saja, kami sudah menang. Maka jaga kekompakan, tahan bola lawan, jangan sampai satu sama. Jika itu terjadi, kita tamat.
Sebelum kembali ke lapangan. Aku berusaha mengumpulkan konsentrasiku kembali. Berlari cepat aku menuju kamar kecil untuk menuntaskan hajat, dengan kawalan dua orang security.
“Hai Par…” teriak seseorang dari arah pintu keluar toilet VIP. Sebagai tanda persahabatan aku mengangkat tangan.
“Hai bro!” lelaki muda berpakaian perlente itu mengangkat tangannya pula. Tiba-tiba kusadari bahwa tangannya telah menempelkan sesuatu ke telapak tanganku. Terburu-buru membuka kamar mandi, secarik kertas di tanganku itu jatuh ke lantai. Lupa pada misi utama buang hajat, kehadiran kertas itu menyedot perhatianku.
“Ibumu aman bersama kami. Jika kau tak menghasilkan gol lagi.”
Hajat buang air mendadak sirna. Kuremas kertas itu hingga berupa bola sangat kecil lalu kumasukkan lobang wastafel.
“Parikesit!!” Dua orang security menggedor pintu toilet. “babak kedua segera dimulai” lututku tiba-tiba gemetar. Persendianku seakan kehilangan seluruh latihan berbulan-bulan.
Penulis : Wina Bojonegoro*
Rewwin, 27-12-2016.
*Wina Bojonegoro menulis cerpen sejak 1988, segera melahirkan buku baru Kisah-Kisah Pembunuh Sepi. Kini penerima Anugerah Sabda Budaya 2018 ini tinggal di Omah Padma