Kau mungkin tak tahu bahwa kepala yang berdentam ini bukan disebabkan karena kepanasan atau belum sarapan. Yang dibarengi dengan rasa panas yang tiba-tiba menjalari seluruh tubuh ini. Leher terasa tercekik, sehingga aku tak bisa bernafas.
Lalu kau panik dan sibuk menyuruhku duduk sementara kau pergi mengambilkan air minum. Aku cuma bisa menurut karena aku tak sanggup lagi berjalan, hanya bisa duduk di bangku besi bawah pohon ini. Menjauh dari keramaian manusia kecil yang berkeliaran di Balai Utari ini. Membuat sakit ini semakin parah.
Tapi suara-suara itu masih berkeliaran di kepalaku. Pada setiap pukulan gong ageng1) yang lalu diikuti suara gong suwuk2) itu, rasanya kepala ini terasa mau pecah. Diikuti dengan nada-nada slendro3) itu yang berlarian ke sana kemari seperti anak-anak kecil di depan mataku ini, membuat mataku gelap dan berat rasanya.
Kau bertanya, aku kenapa. Sudah berkali-kali aku mencoba menjelaskan di ribuan hari sebelum hari ini, tapi kau tidak pernah mau memahami. Bahwa setiap nada demung4) yang muncul membawaku pada serpihan-serpihan kenangan yang membuatku ingin masuk ke dalam bumi. Bahwa pada setiap rangkaian nada yang seharusnya untuk pasangan yang sedang berbahagia di hari ini, justru membuatku tercabik-cabik dan meluruh dalam genangan air mata.
Tugasku di acara lomba gambar anak-anak ini memang belum selesai. Ini terlalu dekat dengan Balai Shinta, tempat suara itu berasal. Harapanku agar gedung itu kosong hari ini, gagal. Lantunan Kebo Giro terdengar dari sana, seperti biasa.
Ada yang sedang berprosesi panggih5) diiringi gending itu di hari ini. Hari bahagia mereka yang membuatku justru seperti terjerat kesedihan.
Kau mungkin belum pernah berjumpa dengan pekik kematian. Yang tiba-tiba memenuhi semua ruang waktumu. Kau mungkin belum pernah berlari menembus ketakutan berusaha menjauhi suara kepedihan itu. Ketika berpendar cahaya bersama rekah langit itu, mengirimkan gelegar kengerian yang mematahkan pohon tua di sana. Saat langkah harus tetap berjalan tak henti menjauhi ladang mayat itu. Air mata bercucur sia-sia, mulut terkunci tiada bisa berkata. Tangan mungil yang berusaha memberontak itu, kugenggam erat dan kutarik kuat. Terseok lari langkah kecilnya mengikutiku. Kami harus segera berlalu, demi harapan hidup yang dititipkan.
“Lari, Nak. Lari! Bawa adikmu cepat!” Suara terakhir yang kudengar dari ibuku. Setelah ibuku mendorong adikku ke arahku. Menyuruhku pergi menjauh.
Adik kecilku meraung memanggil Ibu. Tapi aku tak peduli. Aku terus berlari mencari jalan yang bisa kulalui. Membawa ia lepas dari tanah yang memerah ini.
Adikku meronta dan berusaha kembali pada ibu kami yang sudah tak nampak di mana. Tapi aku tak mau dia terluka. Kugendong dia, kubawa dia sambil berlari sejauh yang aku bisa.
Lembah ini semakin membara. Hanya panas yang kurasakan. Batu berjatuhan di sekitar kami yang berlari, seolah menantang siapa yang akan menang. Pohon tua berderak dan merelakan batangnya patah. Mengalah pada kekuatan yang lebih besar yang sudah memberi waktu kepada mereka untuk tumbuh bersama.
Tak kurasakan lelah kakiku berlari. Saat itu, hanya ketakutan yang membuatku kuat. Sampai aku dan adikku menjumpai orang-orang itu, yang membawa kami ke pusat kota.
Kau pasti tahu cerita itu. Tapi apa kau tahu yang sebenarnya terjadi? Kau tak pernah di sana.
Tak kau lihat guguran api menyala pada rumah tuaku. Berderak lalu pasrah tanpa kekuatan. Kau tak tahu betapa sulitnya menghindar dari ribuan batu bertaburan. Yang menimpa langkah lintang pukang mereka yang sia-sia. Menjadi saksi kekalahan mereka akan hidup yang terluka.
Hingga setelah beberapa waktu, semua terhenti dalam diam. Tinggal abu yang memutih seperti uban yang menua. Debu menari di angkasa, mengalir ke seluruh kota.
Sejak hari itu, tiada henti berita di koran bermunculan. Berkisah tentang kepedihan, yang bagiku terasa perih menyayat sampai ke tulang. Mengulang-ulang kata dari mereka yang selamat dari kejadian itu. Menulis kalimat panjang lebar atas nama simpati. Sementara aku berusaha mencari nama ibu dan kakakku di daftar nama mereka yang selamat. Mengabaikan kalimat-kalimat kosong tentang hari itu demi menemukan mereka.
Dan tahukah kamu, apa yang dinamakan harapan itu terkadang memang tidak perlu jawaban. Hingga lusuh koran itu, tetap aku tak menemukan nama mereka. Sampai aku menumpuk lagi harapan di koran esok paginya. Juga di ribuan koran lainnya setelah hari itu.
Dua puluh enam tahun berlalu sudah. Masih kuingat lantunan Gending Kebo Giro di hari itu. Di depan rumahku yang penuh dengan tamu dari segala penjuru desa. Tawa dan canda bersahutan menemani gending yang diputar dari kaset tua ibu. Sebelum gemuruh tajam terdengar dari atas kami. Saat kakak tersayangku dan kekasihnya bergandeng tangan menuju pelaminan sederhana itu. Tapi mereka tidak pernah sampai ke sana. Pagutan tangan itu terlepas dan mereka terlempar entah ke mana, tertimpa tenda yang rubuh seketika. Menghancurkan pelaminan yang tidak sempat mereka duduki.
Seperti hidup bahagia yang tidak pernah mereka arungi setelahnya. Runtuh bersama hancurnya desa kami. Meninggalkan aku sendiri dalam setangkup sunyiku. Bahkan adik kecilku, yang berlari bersamaku dalam lara, tak sanggup bertahan. Pergi menyusul mereka seminggu kemudian.
Tahukah kamu seperti apa rasanya sendiri? Satu-satunya yang tersisa dari hidup yang aku cinta, ikut menyerah. Kalau gunung itu bisa hijau kembali, lalu bagaimana hidupku? Aku sudah tak sanggup meratap. Karena setiap esok hari adalah sepi. Walau aku masih mampu bernafas, tapi aku hidup hanya untuk mencari akhir.
Setelah hari itu, hidup bagaikan kopi tanpa gula. Seperti hari tanpa selisip hujan. Bagaikan dunia tanpa sengat fajar. Tak ada rasa yang mampu menggugahku. Dan kau tahu apa? Apakah kau ingin merasakan juga hidupku yang abu ini? Jangan mencoba melucu, karena aku tak kan tertawa.
Aku teringat ketika aku bertemu denganmu, lima tahun yang lalu. Kukira aku hanya menemukan fatamorgana saat itu. Tapi baru aku tahu, kau ternyata sebuah pensil warna yang diciptakan untuk mewarnai hari-hariku. Membuat aku percaya lagi pada lukisan berwarna bernama hidup.
Hari-hari bersamamu seperti kertas putih yang siap digoresi pena. Kau tunjukkan padaku cara melukis pelangi. Kau ajarkan padaku cara menikmati rasa. Aku pun tak percaya bahwa ada hidup yang seperti ini. Apa namanya? Bahagia? Mungkin kemarin aku sudah lupa, tapi bersamamu seperti menemukan kembali gelegar nikmat itu. Dan waktu ini berlalu begitu cepat, sampai aku pun tak menyadari sudah selama ini kita bersama.
Lalu kau tawarkan aku sebuah cinta. Aku terkejut mendengarnya darimu. Kukira bagimu aku hanyalah sahabat bernama wanita. Tapi kau percaya padaku, seperti aku percaya padamu. Dan kau mau kita tetap seperti ini bahkan lebih dari itu.
“Aku mencintaimu,” katamu sore itu.
Mungkin wajahku yang terdiam terpaku lucu bagimu hingga kau tersenyum.
“Aku mau kamu jadi pacarku,” ujarmu lagi.
Mulutku membuka hendak berkata, tapi tak ada suara yang keluar.
“Aku mau kamu jadi teman hidupku,” katamu menyakinkanku.
Mungkin itu momen paling menyedihkan dalam hidupku. Dicintai, tapi aku tak mampu berkata. Disayangi, tapi aku seperti keledai yang terluka. Mungkin aku yang salah. Terlalu memberimu harapan dalam cerita kita. Terkadang aku mungkin membuatmu merasa sangat dibutuhkan. Tapi itu karena aku memang tidak memiliki siapa pun lagi. Karena ketika aku membutuhkan bantuan hanya kau yang bisa aku teriaki. Kau sudah tahu itu kan? Lalu kenapa kau berpikir terlalu jauh?
Setelah itu, tak cuma sekali kau mengatakan cinta kepadaku.
Apa itu cinta? Buat apa cinta? Ke mana akhir kisah cinta itu? Coba yakinkan padaku bahwa cinta adalah sesuatu yang kucari.
Dan apakah kau yakin bagaimana kita akan memulainya? Apakah lalu akan menuju hari yang dinantikan? Di suatu hari yang penuh bunga dan orang-orang yang tak aku kenal. Lalu mereka akan memutarkan Kebo Giro untuk kita?
Kamu sudah lama tahu, dari dulu pertama kubercerita sampai hari ini. Bahwa setiap kali aku mendengarnya, walau hanya sepercik suara gending itu. Saat gending ini diputarkan di tenda tetangga atau kala tak sengaja kita berlalu di sebuah gedung penuh tawa. Lalu dalam sebuah kejadian seperti hari ini. Saat aku tidak bisa menghindarkan pekerjaan ini yang ternyata harus dikepung dengan lantunan gending-gending maut itu.
Setiap kalinya, tidak pernah tidak. Lantunan Kebo Giro itu bagaikan nyanyian kematian untukku. Merobek-robek kepalaku, menggetarkan darahku. Mencabik telingaku dan melunglaikan seluruh tulangku. Kakiku ingin berlari menjauh di saat hatiku ingin melangkah mendekat. Seperti saat ini, saat aku selalu bertanya-tanya apakah mereka akan menjemputku? Ingin kuikuti tarikan tanganmu yang mengajakku menjauh pergi, tapi jauh di dalam hati ini ingin aku mendekat dan melebur bersama suara itu.
Dalam kepulan ingatanku, berkali-kali kau meyakinkanku bahwa hidupku akan lebih mudah bersamamu. Kau tak akan membiarkan aku sendirian lagi. Berdua kita akan bisa mendapatkan apa yang dinamakan bahagia, itu katamu.
Bahagiaku, adalah bila hari itu tak pernah terjadi. Ketika aku bisa mendengar Kebo Giro berakhir dan tawa ria menggantikan gemuruh itu. Saat adik kecilku tertawa gembira bersama ibu.
Kau sudah tahu itu semua, kan? Lalu kenapa kau bicara bahagia? Siapa kamu berani menawarkan dirimu menggantikan mereka? Siapa kamu yang berusaha meyakinkanku bahwa setelah ini tak akan ada lagi Kebo Giro yang akan meluluhlantakkanku?
Lelah ini harus memaksamu untuk menyerah. Air mata ini sudah tidak bisa bercerita. Bahkan kata-kata tidak bisa lagi membuatmu percaya. Padahal kau tidak tau apa-apa tentang nestapa.
Kau mau tahu caranya aku bahagia?
Putarkan saja Kebo Giro untukku. Nyanyikan lagi, lantunkan lagi. Aku akan menari dalam setiap nadanya. Hingga aku melarut pergi ke sana. Lalu aku berjumpa mereka. Bukan kau.
^Terinspirasi dari kisah sebuah pesta pernikahan di Dusun Turgo, Desa Hargobinangun, Pakem-Sleman, Jogjakarta, saat terjadinya Letusan Merapi 1994.
Karya : Windy Effendy
Penulis seorang ibu dengan dua anak gadis yang tinggal di Surabaya. Seorang pecinta bahasa, musik, dan travelling, serta bercita-cita menjadi penulis sejak kecil. Buku keroyokan pertamanya adalah Cake Decorating 3 Dimensi, dan antologinya antara lain Cinta Bunda dalam Goresan Pena (Penerbit Progresif), Bunga Kehidupan (Penerbit Progresif), Kapan ke Yogya Lagi (Goresan Pena), It’s My Journey (Indiscript Writing), Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini (Padmedia Publisher), Travelogue ala kita (AE Publisher), dan masih banyak lagi.. Saat ini masih aktif menjadi copywriter, editor lepas, juga mengajar kelas dekorasi kue dan kepenulisan. Windy bisa ditemui di IG @windyeffendy dan FB Windy R Effendy.
Glossarium:
- Gong Ageng: sebuah instrumen terbesar dalam gamelan Jawa yang terbuat dari besi, berukuran sekitar 80-100 cm. Seringnya digunakan sebagai penanda akhir atau pembuka sebuah bagian dari gending.
- Gong Suwuk: sebuah instrumen dalam gamelan Jawa yang termasuk dalam kelompok gong, dengan diameter 60-70 cm, digunakan untuk penanda bahwa gong Ageng akan segera dibunyikan.
- Slendro: rangkaian nada-nada dalam tangga nada pentatonis yang biasa digunakan dalam gamelan jawa, yang biasanya berirama riang, lincah, dan gembira.
- Demung: salah satu instrumen gamelan Jawa yang termasuk dalam keluarga balungan (instrumen dalam gamelan yang memiliki wilangan atau bilahan logam dengan 6 atau 7 nada dalam 1 oktaf) dengan ukuran terbesar, yang menghasilkan nada oktaf terendah.
- Panggih: salah satu rangkaian dalam upacara pernikahan adat Jawa saat penganten pria dan wanita bertemu, berjalan menuju pelaminan.
*Kebo Giro: gending Jawa yang biasa digunakan untuk mengiringi upacara Panggih dalam rangkaian pernikahan adat Jawa.