Pernahkah kau merasa begitu lapar?
Seekor anjing kelaparan mengais sampah, mencari secuil daging atau tulang. Tubuhku anjing telah begitu kurus, seolah tinggal tengkorak terbungkus kulit yang koreng di sana sini. Cuh! Begitu menjijikkan! Tak ada yang sudi melihatku. Tak ada juga yang sudi menaruh belas kasihan dengan melemparkan sepotong roti atau sosis, seperti yang disajikan pemilik kedai di seberang jalan itu.
Aku tahu, tamu mereka biasanya menyisakan sebagian tulang atau roti yang mereka pesan sebelumnya. Mengapa tak ada secuilpun yang mereka lemparkan untukku? Tidakkah kau lihat, aku berjalan dengan punggung membungkuk demi menahan rasa perih di perut ini. Kakiku yang terluka mulai dikerubungi lalat. Makin nyeri hingga membuatku pincang.
Rasa lapar dari seekor anjing penyakitan yang berkeliaran dengan langkah tertatih, tak beda dengan pengemis yang selalu duduk di dekat pasar itu. Dengan mata menatap nanar pada orang yang lalu lalang di depannya. Tangannya menengadah, di bawah tatapan sinis para manusia yang merasa lebih berpunya.
Tak beda pula dengan pria bergaya mentereng yang duduk di kedai itu dengan posisi merapat di jendela kaca. Pandangannya menghadap ke luar. Di satu tangannya, melingkar jam tangan bermerek kelas menengah. Tidak terlalu mahal, tapi juga tidak murah. Di lehernya tergantung kalung emas. Jemari kanannya menjepit sebatang rokok. Tapi tatapannya kosong ke luar jendela. Di meja di hadapannya, sekuntum bunga putih plastik dengan tangkai menancap dalam pot kecil. Hanya sebuah kepalsuan lain yang melengkapi dandanan yang hiperbola. Selain itu, setengah cangkir kopi yang sudah dingin, dibiarkan sejak dua jam yang lalu.
Tangan kirinya sibuk mempermainkan ponsel. Sebentar dinyalakan, sebentar dimatikan. Sebentar dimainkan, sebentar kemudian dengan teliti dipandanginya foto dan video yang tersimpan dalam memory ponsel, seolah meneliti kembali sesuatu yang lolos dari perhatiannya selama ini.
Tingkahnya tidak berhasil menyembunyikan rasa gugup yang menyerang. Punggungnya mulai melengkung membuatnya posturnya makin menunduk.
Lelah mempermainkan ponsel, ia mulai mempermainkan setengah cangkir kopinya. Diaduknya berulang kali. Mungkin sudah puluhan kali ia melakukannya sejak kopi itu disajikan di hadapannya.
Rokok yang makin memendek, ditekankan ke asbak serampangan. Lalu tangannya mengepal erat. Seolah menahan nyeri, kepalan tangannya digigitnya begitu saja.. Ia merasa tak berbeda dengan anjing kurap atau pengemis penyakitan yang kelaparan, yang menahan nyeri dari rasa lapar yang teramat sangat. Rasa lapar bermata pisau yang tajam menusuk batinnya dalam.
Ia sendiri tak menyangka, begini perihnya nyeri yang timbul. Perihnya sebuah keinginan sederhana yang mengendap di dasar hatinya. Perihnya penolakan tanpa kata atas permintaannya yang sederhana.
Sebenarnya, ia cukup paham soal ini. Ia hanyalah manusia yang menginginkan seseorang datang malam ini, dengan senyum manis yang tulus, lalu duduk di hadapannya. Lalu mereka akan berbincang dengan akrab, mungkin ia akan menggenggam tangan perempuan cantik di hadapannya itu, sambil terus bercanda, mengumbar senyum dan tawa kecil. Tangan mereka masih bertautan.
Lalu setelah puas bercanda di situ, mereka akan berjalan menyusuri jalan lengang malam itu. Ia dapat melihat dengan jelas, bibir merah perempuan itu yang tersenyum manis. Ia dapat melihat mata yang indah berbinar dan wajah cantiknya diterpa cahaya lampu yang menghiasi trotoar. Mereka akan berjalan berdampingan, dengan tangan saling bertautan.
Saat mereka berhenti di bawah lampu hias itu, ia akan mencium bibir merah itu dengan hangatnya. Lalu mereka akan menghabiskan malam penuh cinta di motel murah yang bersih, dengan jendela menghadap langit yang gelap. Kerlip lampu dari gedung di seberang jalan, tampak berkedip kedip.
Giginya menggeretak. Tangannya terkepal semakin kuat. Betapa kini khayalan itu terasa makin kuat. Ia tidak menginginkan yang lain. Ia hanya ingin perempuan itu. Perempuan yang selalu hadir dengan senyum yang ikhlas, dengan tawa berderai, dengan mata yang berani menatapnya, dengan bibir merah yang menarik. Ia sangat tahu, ia tidak menginginkan yang lain ada di hadapannya, kecuali perempuan itu.
Sejak beberapa jam lalu, ia sudah menghubungi perempuan itu melalui ponsel, agar ia datang menemuinya malam ini. Ia tahu perempuan itu telah membaca pesannya. Tanpa menjawab sepatah kata pun, malah menjadi alasan baginya untuk terus menunggu. Meski dirinya tahu, ia tak bisa menunggu sepanjang malam. Ia pasti akan melangkah pergi dari kedai itu. Mungkin beberapa menit lagi. Atau beberapa jam lagi. Tapi ya, dirinya yakin, ia pasti harus pergi. Entah mengapa, kini ia masih duduk di situ dan berpikir, mungkin perempuan itu akan datang. Meski detik demi detik makin terasa menyiksa. Makin nyeri.
Semakin lama, keinginan itu tidak makin berkurang. Sebaliknya, malah terasa makin nyeri. Kini tak mungkin lagi ia menghindari sakitnya. Rasa nyeri makin menyerbunya, hingga ke tiap-tiap pori-porinya. Keinginan itu makin mendera menjadi kebutuhan yang menuntut pemenuhan. Rasa lapar yang mutlak harus terpenuhi.
Ia mulai lelah dan sangat lapar. Ia pun melangkah keluar kedai itu. Dihisapnya rokoknya kuat-kuat, sambil menyusuri jalan trotoar dengan bergegas. Ia sangat ingin berlari. Namun di tengah malam yang gelap dan lengang ini, berlari begitu saja, bisa menimbulkan kecurigaan yang tak perlu dari orang-orang di sekitarnya. Maka ia memutuskan berjalan kaki saja. Sedikit berharap, ia bisa melupakan rasa lapar yang perih itu. Namun udara yang dingin membuatkan makin tersiksa. Rasa perihnya makin menjadi. Rasa laparnya makin tak terbendung. Gelisah mulai menyerang dirinya. Membuatnya berjalan cepat tak tentu arah.
Tak disadari sepenuhnya, ia melangkah ke kawasan kumuh yang makin sunyi. Ia baru menyadari saat ia tak lagi mendapati seorang manusia pun disitu. Hanya gelap, tumpukan sampah, dan anjing yang mengais sampah. Ia mencoba berbalik. Sepertinya, ia terlalu jauh masuk ke dalam dunia bawah tanah tak bertuan. Dunia yang tak ingin dijamah siapapun. Selain anjing, dan beberapa manusia yang terlempar oleh kemiskinan dan kebodohan yang mau menghuni tempat ini.
Namun dalam perjalanannya kembali, ia mendapati sesosok mirip manusia yang mengais sampah, seperti anjing. Saat ia mencoba mendekati sosok itu, ia mendapati seorang perempuan dengan baju lusuh.
Seketika perempuan itu menoleh ke arahnya. Matanya mendelik. Jeritan tertahan keluar dari mulutnya. Spontan ia membentaknya, agar perempuan itu diam. Perempuan itu segera menutup mulutnya dengan telapak kanannya sendiri. Seolah mulutnya akan tetap berteriak bila tidak ditutup dengan tangannya.
Perlahan, pria itu mendekati perempuan itu. Mata perempuan itu tetap tajam menatap. Tapi bukan mata yang terkejut lagi, melainkan mata yang berani memprotes. Seketika ingatan pria itu menangkap kembali sosok perempuan yang selalu dinantikan. Sorotan mata yang nyaris sama. Hanya saja, perempuan ini menatap untuk mencegahnya melangkah mendekat. Sementara sorot mata perempuan dalam ingatan itu adalah sorot keberanian untuk hidup di segala situasi. Untuk beberapa detik, pria itu terkesima. Disodorkan selembar uang seratus ribu di depan mata si perempuan.
“Antar aku ke rumahmu,” bisik pria itu.
Perempuan itu masih terdiam dengan mata terbelalak.
Pria itu mulai tidak sabar. “Siapa namamu?”
“Dela,” jawabnya lirih.
“Dela, aku tidak mau di sini. Ayo, jangan mengais sampah begitu. Ambil uang ini, belilah makanan lalu antar aku ke rumahmu!”
“Apa?”
“Kau punya rumah kan?”
“Kau mau apa?”
“Aku mau beristirahat saja di rumahmu. Memangnya kenapa? Ambil uang ini, lalu bawakan aku teh dan kue,”
Perempuan itu masih menatapnya tak bergeming.
Pria itu mengambil uang selembar lagi uang kertas yang sama, dan menyodorkan pada perempuan itu. Perlahan, perempuan itu mengambilnya. Ia lantas berjalan melewati gang sempit tanpa cahaya. Pria itu mengikutinya. Nyaris saja, ia menubruk tembok gang, bila saja tangannya tidak meraba tembok di kiri kanannya.
Meski gelap gulita, perempuan itu tetap berjalan tenang. Sekitar 100 meter mereka menyusuri gang itu, hingga sampai di ujung gang. Di hadapan mereka, ada 3 pintu berjajar. Perempuan itu membuka salah satu pintu dan masuk. Dibiarkannya pria itu turut masuk.
Memasuki ruangan itu, Dela menyalakan lampu. Kini pria itu baru bisa melihat sosok perempuan itu dengan jelas. Ia menaksir usia Dela sekitar 40 tahun. Tidak muda, tetapi juga belum terlalu tua. Matanya bulat. Tubuhnya agak kurus. Baju berwarna putih lusuh dengan beberapa noda coklat di sana sini. Sementara roknya dengan panjang selutut berwarna merah tua. Rambutnya disanggul serampangan. Beberapa helainya jatuh ke pipi dan dahinya. Wajahnya tampak agak kotor. Hidungnya mancung dan pipinya tirus.
Pria itu melangkah mendekati perempuan yang berdiri mematung.
“Kau tidak menyediakan teh dan kue?” tanya pria itu.
Perempuan itu beranjak, tetapi tangannya tertahan dalam genggaman pria itu. Kembali matanya menatap tajam. Sekali lagi, pria itu terkesima. Tangan si perempuan terasa halus. Tentu saja, ini berbeda dengan perempuan lain yang mengandalkan hidup dari memulung sampah. Pria itu pun melepaskannya. Namun sentuhan beberapa detik itu cukup meninggalkan kejutan dalam tubuhnya, menyusup dalam aliran darahnya.
Pria itu mengikuti ke dapur, menangkap pinggang si perempuan dari belakang dan mencium rambutnya. Tak ada perlawanan yang berarti dari si perempuan. Tanpa kesulitan, pria itu menyeretnya dan menjatuhkannya ke kasur satu-satunya di tempat itu.
Pria itu tak perduli lagi pada apapun. Ia hanya ingin menyelesaikan tuntutan yang terus mendesaknya. Ia sudah sangat lapar. Si perempuan tahu itu. Percuma saja, ia mencoba melepaskan diri. Dua tamparan keras telah mendarat di wajahnya saat perempuan itu mencoba mendorong pria itu menjauh. Kini wajahnya terasa panas, kepalanya pening sekali. Ia tidak ingin berteriak. Ia tidak ingin tetangganya mendapatinya tak berdaya ditindih pria yang tak dikenalnya.
Ibunya seorang pelacur di sebuah lokalisasi. Ia sendiri telah menyerahkan tubuhnya pertama kali di usia 15 tahun dengan bayaran Rp 2 juta. Uang sebesar itu, puluhan tahun yang lalu, cukup untuk menambah masa kontrak rumah kecil yang didiami bersama ibunya.
Ia sempat menjadi istri simpanan salah satu pejabat ibukota. Namun karena gejolak politik, posisi “suaminya” terancam, sehingga ia dibuang di kota ini. Uang yang dipegangnya mulai menipis.
Perempuan itu tahu, ia telah menjadi sasaran empuk pria ini sejak ia memergokinya di tempat sampah tadi. Tetapi ia membutuhkan dua lembar uang yang disodorkan pria itu. Kini saat pria itu mengikutinya ke rumahnya, seolah sebuah skenario yang mudah ditebak jalan ceritanya. Ia tak ingin wajahnya makin babak belur, hingga dibiarkan saja pria itu melakukan apa yang diinginkan di atas tubuhnya.
Usai pria itu menuntaskan rasa laparnya, Dela bangkit dan membersihkan diri. Ia memeriksa pipinya yang bengkak. Ia tidak menangis. Ia tidak ingin perduli begitu dalam. Pria itu memperhatikannya dari balik bahu si perempuan. Diputarnya bahu perempuan itu, agar ia dapat melihat dengan jelas wajah yang memar itu.
“Astaga! Apa aku yang melakukannya, sshhh… Ah, aku sebenarnya tidak bermaksud memukulmu,” ucapnya lambat. Tangannya mencoba menyentuh memar itu perlahan. Tapi perempuan itu menjauhkan wajahnya.
Tiga lembar lagi uang seratus ribuan dikeluarkan dari dompetnya. Diletakkan di meja makan di hadapan perempuan itu, lalu pria itu melangkah keluar.
Ia terus berjalan, melewati gang sempit, kawasan kumuh sampah, hingga sampai di trotoar jalan besar. Ia memanggil taksi, lalu menjatuhkan tubuhnya ke jok belakang. Sebentar ia memejamkan mata. Ia memilih tidak memikirkan apapun. Mungkin karena saat ini ia tak lagi merasa lapar. Rasa laparnya telah terpuaskan, untuk malam ini. Meski masih ada perih yang tertinggal. Masih ada yang mengendap di dasar hatinya. Pikirannya kembali pada sosok perempuan yang masih juga dinantikannya.
Surabaya, 5 November 2019
Karya : Maria Endang Pergiwati
Maria Endang Pergiwati, lahir di Situbondo, menyelesaikan pendidikan S1 pada jurusan Sastra Indonesia Unair Surabaya. Semasa kuliah, sempat terlibat dalam aktivitas penulisan kreatif dan teater. Kini bekerja sebagai redaktur di sebuah media massa di Surabaya.