Sore ini begitu cerah anak-anak bermain di jalanan perumahan yang lengang. Dua anakku yang masih balita sudah mandi dan wangi. Sore hari saatnya bagi mereka untuk melepas energi, Si sulung menaiki sepeda roda tiga disusul adiknya berlarian ke sana kemari. Di jalanan berpaving itu hampir semua anak-anak komplek bermain setiap sore saat cuaca cerah.
Tetanggaku bernama Sri Wahyuni. Dia temanku sejak SMA dia belum pernah menikah namun dia memiliki dua orang anak asuh. Satu di antaranya kuliah di Surabaya. Sri hidup sendiri dan memilih untuk memberhentikan pembantu sejak anak asuh yang kedua memilih SMP boarding school. Letak asramanya tak jauh dari tempat tinggal kami. Hanya berkisar tiga kilometer dari perumahan yang kita tinggali
Sudah tiga hari Sri tidak muncul untuk berangkat bekerja. Biasanya setiap pagi kami bertemu untuk saling bercengkerama di lapak tukang sayur. Dan di saat sore seperti ini jam biasa dia pulang. Anak-anakku selalu senang menyapanya. Sri temanku yang baik, dia juga ramah dengan anak-anak semua anak komplek mengenal dia.
Sore itu kulihat pengantar makanan meletakkan bungkusan, makanan itu dikaitkan di besi pintu gerbang rumah Sri. Aku menunggunya, aku penasaran, aku menunggunya keluar untuk mengambil bungkusan itu. Aku menunggu dia keluar sembari mengawasi tingkah anak-anakku.
Tak lama setelahnya Sri keluar dengan wajah lusuh dan pucat mengambil bungkusan yang terkait di atas pagar. Dia bermasker dan membenta anak-anakku yang mencoba mendekatinya. Anak sulungku mendorong-dorong pintu pagar yang terkunci hingga berderit derit.
“Stop jangan mendekat…!” teriak Sri lalu dia berlari ke dalam rumah. Dan melambaikan ponsel ke arahku. Seolah mengisyaratkan aku untuk membuka ponselku. Anakku menangis dan aku membawanya pulang.
Kudapati ponselku dan Sri mengirim pesan.
“aku positif covid19, maaf aku telah membentak anakmu, aku takut mereka mendekatiku, aku harus karantina di rumah untuk dua minggu ke depan. Maaf bila aku tidak mengatakan ini sebelumnya. Aku hanya tidak ingin merepotkan siapa pun. Aku baik-baik saja hanya sekedar kehilangan indra perasa”
Aku tersenyum melihatnya menulis pesan begitu detail. Dia masih Sri yang sama dengan Sri yang kukenal saat sekolah gadis tomboy. Dia hampir sekuat lelaki, dia tak pernah pacaran ataupun punya pacar. Dia masih lajang di saat aku memilih menikah dan punya anak dua. Dia memilih untuk mengasuh anak angkat dari kerabatnya. Dia selalu berkata.
“aku ingin anak angkatku mau merawatku saat aku mulai menua”
Dan aku terus saja mendesaknya untuk menikah, atau sekedar menyuruhnya berkenalan dengan lelaki. Siapa tahu ada yang menarik perhatiannya.
“Kenapa kau tak ingin menikah? Sekedar mengenal lelaki kau pun tak mau. Sesakit apa dirimu di masa lalu, hingga kau memilih untuk melajang hingga sejauh ini” Kataku padanya selalu.
Seperti biasa dia hanya membalas dengan senyum, lalu pergi. Aku berkawan dengannya lama sekali hampir lima belas tahun. Aku pun tak tahu bagaimana atau siapa lelaki yang membuatnya trauma hingga sejauh ini. Dia perempuan yang baik, dia penyayang anak-anak. Dulu saat dia memiliki anak asuh yang masih sangat kecil dia punya dua asisten rumah tangga. Untuk menjaga anak-anak saat dia pergi bekerja.
Lepas magrib anak-anak bersantai di depan TV dan putra sulung Sri bertamu ke rumah. Dia baru tahu hari ini jika Bude Sri kesayangannya jatuh sakit. Namun sayang Sri tidak membukakan pintu untuknya. Jadilah dia bertamu ke rumahku. Dia membawa buah tangan untuk anak-anak dan kami bercerita tentang banyak hal.
Lagi-lagi aku mengusik dengan bertanya.
“Kenapa Budemu tidak mau menikah?”
Putra sulungnya hanya tersenyum dia mulai mendekatiku dengan wajah serius. Kukira dia bosan dengan pertanyaanku yang selalu berkutat dengan lelaki.
“Tante, jika aku jujur tentang Bude Sri, apakah tante akan marah?”
Aku menjawab dengan senyum. Kami berteman hampir lima belas tahun. Sudah terbiasa dengan marah cekcok atau hal lain yang serupa. Malam itu putra sulung Sri bercerita tentang banyak hal, salah satunya adalah bahwa Sri adalah seorang lesbian. Dan perempuan yang dicintainya adalah aku. Dia bahagia melihatku bahagia. Kadang dia merasa aneh bahkan merasa frustrasi kenapa dia tak memiliki hasrat pada lelaki seperti perempuan lain. Hingga di titik dia menyadari bahwa dirinya terlahir sedemikian rupa.
Malam itu aku mengerti bahwa cinta tidak harus memiliki. Malam itu aku memahami bahwa dia bahagia melihatku bahagia. Mulai saat ini aku akan berhenti bertanya padanya soal menikah. Atau bertanya soal lelaki padanya….
Sidoarjo, 23 januari 2021
Karya : Filiya
Lahir dan tinggal di Sidoarjo. Ibu rumah tangga biasa yang suka membaca dan menulis. Alamat lengkap desa Sambibulu rt 5 rw 1 taman sidoarjo.