Siang itu, semilir angin berbisik. Daun-daun saling bercumbu. Bunga-bunga Kamboja putih bertaburan di antara ratusan batu nisan. Aku bersama Banyu, menjelma hening. Kami duduk merendah di depan sebuah pusara.
Itu adalah pusara Ibu dari Banyu, anakku laki-laki satu-satunya. Ya, selama 4 tahun terakhir, aku adalah single father.
Mendiang istriku menghadap Sang Khalik lebih dulu akibat kanker payudara. Kami sempat terpukul kala itu. Terutama Banyu. Apalagi saat itu umurnya masih 9 tahun.
Untungnya, selama 3 tahun terakhir, Banyu semakin mengerti dan mandiri. Maklum, pekerjaanku sebagai jurnalis senior sekaligus editor di sebuah perusahaan media, memaksaku sering meninggalkan Banyu di rumah sendiri. Kami memang tinggal berdua, tidak ada pembantu.
Itulah alasan hampir setiap bulan, aku mengajak Banyu ke makam, sekadar melepaskan rindu kepada ibunya, yaitu istriku. Di depan pusara, kami berdoa kepada almarhumah. Dan tak lama, kami bergantian menaburkan bunga.
Setelah ritual ziarah selesai, kami pun berdiri dan beranjak pergi. Saat itu, komplek pemakaman sedang sepi peziarah. Hanya kami saja di situ.
Entah berapa langkah dari makam mendiang istriku, mataku tertuju kepada sosok perempuan berhijab masuk dari gapura makam. Wajahnya seperti familiar bagiku. Tapi entah siapa. Aku dan Banyu masih melangkah melewati nisan demi nisan menuju pintu keluar. Namun benakku seolah tak tenang.
“Nyu, tunggu ayah bentar,” kuhentikan langkahku saat di depan gapura pintu masuk makam.
“Ada apa, yah?” sahut Banyu yang turut menghentikan langkah.
“Gak papa. Tunggu bentar ya.”
Banyu pun menurut sambil mengeluarkan gadget dari saku celana lalu mengusap-usapnya. Sedangkan aku, kembali mengarahkan pandangan ke perempuan tadi.
Tak lebih dari 30 menit, perempuan berhijab itu yang semula duduk di atas makam, kini berdiri dan melangkah pergi. Tepatnya menuju ke arahku.
Aku yang sudah menunggunya, mencoba melepaskan tanya.
“Maaf, mbak. Permisi,” kataku.
Perempuan itu yang sempat menunduk, langsung menoleh. Matanya masih terlihat basah dan merah.
“Iya, mas,” jawabnya.
“Maaf, apa saya pernah kenal mbaknya, ya? Kok sepertinya saya pernah tahu mbaknya,” tanyaku.
Wajah perempuan itu pun langsung memerah.
“Sapa ya, mas,” tanyanya balik.
Kemudian, kami pun saling bertatapan. Tajam, terdiam seperti mengingat-ingat.
Tak berselang lama, otakku seperti browsing mencari sesuatu. Sebuah memori masa lalu.
“Mbak Cindy, bukan?” ungkapku.
Mendengar tanyaku, perempuan itu terhenyak. Telapak tangan kirinya menutup mulutnya, seolah menahan sesuatu. Lalu, tak lama air matanya meleleh.
*****
15 Tahun lalu
“oh you’re so sweet..
too sweet to forget..
memories of being, alone with you
it’s all in my dream..”
Sepenggal nada dering SMS di ponsel membangunkan aku dari tidur, meski waktu menunjukkan pukul 23.31 WIB. Sambil mengusap mata, aku melihat sebuah pesan pendek, “operasi KTP malam ini di Dolly”.
“Hem,..tugas lagi,” batinku. Ya, mau bagaimana lagi, aku adalah seorang reporter media online, yang memang mengedepankan respon laporan cepat. Mau tak mau, jaket blue jeans belel aku sambar, dan langsung meluncur menuju lokasi seperti dalam pesan pendek dari seorang teman.
*****
Di tengah hembusan angin malam, tak sampai 15 menit, kakiku telah berpijak pada dunia lain. Dunia yang biasanya hingar bingar justru pada jam-jam istirahat. Dunia yang dikenal orang sebagai dunia malam. Di sebuah gang yang bernama Dolly, yang menurutku bukan mirip sebuah gang, karena terlalu lebar untuk dinamai gang. Aku memparkir motor GL Pro-ku.
Sambil berkerumun dengan petugas berseragam cokelat, bau parfum merasuk ke dalam rongga. Suara gaduh musik remix, seakan menjadikan gang paling terkenal di Indonesia, bahkan Asia Tenggara itu, hidup di kala malam.
Sembari mengeluarkan sebuah ID card yang kukalungkan, aku mengikuti belasan petugas masuk ke dalam sebuah wisma yang terdapat belasan perempuan cantik, seksi dan menggoda. Aku membidikkan lensa kameraku pada seseorang. Tapi dia menunduk dan menolak, “mas, tolong jangan saya,” pintanya memelas.
Namun, aku tetap saja acuh. Aku tetap jeprat-jepret memotretnya yang sedang duduk di atas sofa merah dengan cahaya lampu yang terang.
Apalagi, obyek yang kupotret menarik. Seorang gadis yang bisa aku terjemahkan sekitar umur 21 tahunan dengan rambut hitam lurus sebahu, serta kulit kuning langsat.
Tapi tiba-tiba, aku tak kuasa ketika melihat setetes air mata meleleh dari obyek jepretanku. Aku berhenti memotret. “Kenapa?” tanyaku. Gadis itu tak menjawab, hanya terdiam sambil menunduk lebih dalam. Selepas itu, aku mengikuti rombongan petugas bergeser ke beberapa wisma lain.
Di tengah razia, aku melengkapi pekerjaanku dengan melakukan interview pimpinan razia gabungan berpangkat AKBP.
Dan setelah semua bahan laporan kurasa cukup, aku pun menumpang tempat di sebuah warung kopi kecil tak jauh dari wisma pertama yang dirazia. Sambil membuka mini laptop dan menancapkan modem, aku harus secepatnya kirim berita ke kantor.
“Mas, tolong. Fotoku tadi jangan diterbitkan,” suara lembut perempuan dari belakang membuatku terkejut dan menghentikan ketikan.
Selanjutnya, ia menyelipkan secarik kertas ke tanganku dan pergi. Ya, perempuan dengan rok super mini itu adalah obyek jepretanku tadi.
“Kembalilah ke wisma, cari aku. Free,” tulisan dalam secarik kertas warna merah.
“Apa maksudnya? Apa dia sedang…?? Aaaah…” pikiranku bergelayut kemana-mana.
“Uhuk….Uhuk….Uhuk….,” tiba-tiba batukku mengeras.
Tak ingin angin malam membunuhku, aku pun segera menyelesaikan laporan dan mengemasi laptop untuk bergegas pulang.
*****
“Gimana dok, hari ini?” tanyaku pada dokter Gunawan, dokter spesialis yang selama kurang dari tiga tahun terakhir merawatku. Ya, sejak tiga tahun lalu, kondisiku memang terus melemah sejak dokter Gunawan mengatakan aku terkena Sirosis Hati.
Itulah kenapa, hampir tiap tiga hari sekali, aku wajib ke ruang dokter Gunawan, sekedar untuk melihat perkembangan penyakitku yang disertai belasan macam obat dari berbagai jenis.
“Sabar ya, Yo,” ungkapan yang selalu sama dari dokter Gunawan di setiap pertemuan, yakni sabar.
“Hanya ini yang bisa membuatmu sedikit bertahan,” kata dokter Gunawan sambil memberikan secarik resep baru kepadaku.
*****
Seminggu lebih, aku absen ke ruangan dokter Gunawan. Itu yang membuatku terkulai lemas di balik ranjang. Batukku pun, kian menjadi. Untungnya, asuransi kesehatan, tunjangan, honor dan sumbangan ruangan kantor bekas distribusi koran yang sudah tidak terpakai, bisa aku manfaatkan bertahan hidup sejauh ini.
Nada SMS dan telpon dari ponselku yang mungkin sudah puluhan kali bergetar serta menjerit-jerit, tak membuatku bergegas mengambilnya. Seluruh badanku hampir lumpuh. Kelopak mata yang sebelumnya terang, sedikit demi sedikit meredup hingga akhirnya benar-benar gelap…
*****
Aku terbangun dan tidak mengingat apa yang telah terjadi. Yang jelas, selain selang infus yang menancap di tangan serta selang oksigen di hidung, aku melihat dokter Gunawan di depanku. “Akhirnya, kau telah sadar Rio. Bagus kalau begitu,” katanya.
“Kenapa saya bisa disini dok?” tanyaku heran.
“Kau dibawa teman-temanmu dalam kondisi pingsan di kamarmu tiga hari lalu. Pasti obat yang aku berikan tidak kau minum,” jawabnya.
“Apa gunanya obat itu dok, kalau pada akhirnya aku pasti akan mati juga,” sergahku.
“Hemm..Ada kabar bagus untukmu, Rio. Saya baru saja mendapatkan pendonor hati. Kita akan lakukan operasi untukmu. Untung kau sadar, sehingga bisa mendengar kabar ini,” jelas dokter Gunawan.
*****
“Terima kasih dok! Saya tidak tahu harus mengucapkan apa kepada dokter,” kataku setelah seminggu di ruang pemulihan pasca operasi. Ya, sepertinya operasi transplantasi hatiku berhasil dan lancar.
“Tidak perlu berterima kasih kepadaku, tapi berterima kasihlah kepada yang Kuasa dan pendonor hati yang sudah ikhlas memberikannya padamu.”
“Kalau boleh tahu, hati siapa yang ada di dalam dadaku ini dok?”
“Hem…Cangkokan hatimu berasal dari seorang gadis yang seharusnya untuk adiknya yang mengalami hal sama denganmu. Tapi sayang, adiknya tidak bisa kita selamatkan karena meninggal lebih dulu sebelum operasi, sehingga cangkokan hati itu ia hibahkan kepadamu.”
“Sekarang, ada dimana gadis itu dok?”
“Sudahlah, itu nanti saja. Sekarang yang terpenting, pikirkan kondisimu dulu biar benar-benar pulih. Pendonormu masih di Blok A, tidak usah khawatir. Dia tidak akan kemana-mana, karena jenazah adiknya juga masih di kamar jenazah,” kata dokter Gunawan.
*****
Senja mulai merona. Pikiranku masih terus bergelayut ingin tahu hati siapa yang ada di dadaku. Tak pantas jika aku tidak bertemu langsung dengannya, meski sekedar mengucapkan terima kasih.
Sebab itu, aku pun memutuskan menuju ke Blok A. Ruangan demi ruangan aku masuki meski masih mengenakan baju pasien.
“Sus, kamar pasien perempuan yang baru saja menjalani operasi sebelah mana?” tanyaku kepada seorang suster jaga.
“Ouw…Mbak Cindy? Lurus saja, dipojok nomor 7A,” jawabnya.
“Terima kasih, Sus,” timpalku.
Jadi, nama pemilik hati di dadaku ini adalah Cindy. Aku langsung menuju kamar yang dimaksud. Aku mengetuk pintu kamar. Tidak ada suara yang menjawab. Aku memutuskan untuk membuka dan masuk. Ada seorang dalam kamar itu. Dengan mata sembab, ia menerawang jauh di luar jendela.
“Hai…Jadi, namamu Cindy?” tanyaku membuatnya terkejut.
“Mas…?” jawabnya.
Ya, gadis itu ternyata adalah obyek foto yang aku ambil saat operasi di Dolly beberapa waktu lalu. “Aku Rio Permana. Jadi, kamu yang memberikan hatimu untukku?” tanyaku lagi.
“Mas tahu darimana?” sambil menatap jam dinding di sudut kamar.
“Dokter Gunawan yang kasih tahu.”
“Ah, sudahlah mas. Yang penting mas sudah sehat. Maaf mas, saya harus keluar. Saya mau mengurus jenazah adikku,” pamitnya.
“Aku turut berduka atas apa yang menimpa adikmu. Tapi, kau masih lemah. Jangan dipaksa,” ujarku.
Tapi, dia sudah bergegas dengan raut wajah yang masih sedikit pucat. Dia pun pergi meninggalkan aku sendirian. Aku tak sempat mengucapkan terima kasih.
*****
Satu bulan kemudian, dua gadis cantik di atas becak tak hentinya digoda pria bertato. Tawa diantara mereka rupanya membuat iri penumpang roda dua yang terus melirik ke arah perempuan berbaju hitam seksi di jalanan Gang Dolly.
Sementara itu, seorang gadis kecil berjilbab, terlihat berjalan lurus memeluk sebuah kitab suci ke arah masjid berkubah hijau. Adzan Isya telah datang yang ditimpali sayup-sayup suara house music. Sebuah pola bertolak belakang seperti dua sisi mata koin.
Aku menuju ke wisma tempat pertama kali aku melihat Cindy. Namun, kali ini aku tak melihatnya duduk berjejer di balik ruang yang terang dengan sofa panjang warna merah. Aku bertanya ke mucikari dan pengelola wisma. Ternyata, Cindy berhenti bekerja. Tidak ada yang tahu ia kemana. Begitu juga tempat tinggalnya.
*****
Kini setelah 15 tahun berlalu, Aku dan Cindy dipertemukan kembali. Wajahnya tak banyak berubah. Tapi dari apa yang ia kenakan saat ini, 180 derajat berbeda dari pertama kali aku melihatnya. Seluruh tubuhnya tertutup pakaian syari.
Jujur, dengan balutan hijab syari tanpa make up, hanya polesan lipstik tipis, aku sempat terpesona. Bahkan, wajahnya lebih bersih dan cantik. Anggun serta keibuan.
Lalu, aku pun mengucapkan terima kasih yang belum sempat kukatakan meskipun Cindy mengaku telah mengikhlaskan.
Kemudian, kami pun saling berkabar. Aku juga memperkenalkan anakku, Banyu, dan menceritakan kenapa ada di komplek makam. Begitu juga Cindy. Ia berziarah ke pusara adiknya, Claudia Ferrora, yang meninggal 15 tahun lalu sebelum menerima hasil pencangkokan hatinya.
Entah kenapa, dengan tutur kata yang kalem dan tenang, Cindy berani bercerita lebih dalam kepadaku tentang masa lalunya yang pahit.
Setelah melarikan diri dari Dolly, Cindy menjadi TKW di Arab Saudi. Cindy juga sempat dinikahi majikannya di Arab Saudi. Tapi, rumah tangganya hancur karena suaminya sering berbuat kasar dan bermain perempuan lain.
Akhirnya, ia memutuskan pulang ke Indonesia meski tanpa tujuan. Ya, Cindy sebatang kara. Ia tak punya sanak saudara. Sebelumnya, dia hanya hidup bersama adiknya, Claudia. Karena, kedua orang tuanya menelantarkan mereka setelah bercerai. Terpaksa, Cindy menjadi single parent bagi Claudia.
Lantaran tak memiliki siapapun, rasa sayang Cindy kepada adiknya, sangat luar biasa. Terlebih setelah Claudia yang hanya beda usia 4 tahun, mengalami sirosis hati. Demi adiknya, ia pun rela menggadaikan tubuhnya untuk biaya operasi.
Namun, kini Cindy mulai terlihat tegar meski sesekali matanya berkaca-kaca saat bercerita. Dan entah kenapa, aku yang memperhatikan ceritanya, sempat larut.
Tak terasa, hari mulai gelap. Aku pun meminta pamit kepada Cindy. Tapi sebelum pergi, kita sempat bertukar kontak whatsapp. Dan ternyata, Cindy tinggal tidak jauh dari lokasi komplek makam. Saat ini, dia membuka usaha cemilan dengan 10 karyawan yang dikirim ke Arab Saudi.
“Baiklah, aku pamit dulu. Kapan-kapan, aku akan main ke rumahmu,” kataku.
“Iya mas,” jawabnya.
Lalu, kami pun jalan berpisah.
*****
Perjalanan pulang dari makam, Banyu yang berada di sampingku saat mengemudi, bertanya. “Yah, ayah percaya takdir?”
Tiba-tiba aku terbelalak mendengar pertanyaan Banyu.
“Kenapa kamu tanya gitu?” balasku.
“Nggak papa,” timpalnya.
“Yah, apa Banyu pernah kenal ibu tadi?” tanya Banyu lagi.
“Ngga, kenapa emang?” sahutku.
“Rasanya, Banyu pengen meluk ibu tadi yah. Banyu inget Bunda,” ucap Banyu yang membuatku menoleh ke arahnya tiba-tiba.
Lalu, kami pun sama-sama terdiam.
Entah, aku tidak tahu apa yang dirasakan Banyu. Termasuk maksud pertanyaannya. Namun, andai saja dulu Cindy tidak menghilang, sempat terbersit dalam benakku untuk mengentas dan mempersuntingnya.
Memang, aku akan mendapat banyak gunjingan ketika mempersunting seorang Pekerja Seks Komersial. Tapi saat itu, aku menguatkan diriku bahwa ini bukan soal sakralnya selaput dara pada malam pertama, tapi soal hati. Ketulusan hati adalah ketulusan cinta yang luar biasa. Cindy memberi, tidak pernah berharap menerima.
Selain itu, bukankah setiap orang berhak untuk diberi kesempatan kedua atas masa lalunya, walau segelap gerhana sekalipun? Tanpa terkecuali Cindy, yang datang dari dunia malam.
Saat itu, aku berharap bisa membawakannya cahaya lilin di tengah gempita jalan buntu, yang sebenarnya tak pernah ingin ia lewati. Dan aku bukan hanya ingin menjadi penerang jalannya, tapi juga menjadi penerang atas hatiku sendiri. Tapi kini, justru hati Cindy yang menerangi hidupku. (*)
Penulis adalah jurnalis, pesepakbola gagal yang melow, tapi suka musik Rock dan Metal.