Senyumnya yang manis dan merah merekah membikin saya bersemangat menuntaskan piket jaga malam ini. Ia telah menunggu saya sejak dua jam yang lalu. Setelah itu saya membawanya berkitar di jalan-jalan kota yang mulai sepi dan tenang dari polusi suara. Pukul sebelas kami mengantre martabak manis tak jauh dari perempatan T. Berkali-kali ia menoleh ke saya, tersenyum sebentar, lalu kembali meneliti kerja si tukang martabak yang tinggal menaburkan toping di atas hamparan adonan yang bulat-matang.
Sekotak martabak manis dan harapan menikmatinya di udara malam yang nyaman ini seperti memaksa saya mempercepat laju sepeda motor. Pukul dua belas kurang beberapa strip, dan kami merasa diberkati dengan isi rumah yang baik-baik saja. Ia menyiapkan dua gelas susu hangat selagi saya menaruh diri di atas sofa sambil bernyanyi-nyanyi kecil. Tanpa aba-aba apapun kami lalu menyantap martabak yang masih menguarkan uap hangat dan bau susu kental manis. Potong demi potong mengisi perut saya, sementara ia hanya mengambil dua. Suara tegukan susu ke dalam kerongkongannya menyusul suara kunyahan dari mulut saya, ditambah satu dentang tanda memasuki jam duabelas.
Kami baik-baik saja, hanya sunyi dan dingin yang kemudian mengambil alih situasi yang seharusnya dapat menjadi hangat ini. Tak berapa lama saya lihat ia hanya berseliweran sambil membereskan gelas susu saya, membawa serta sisa martabak manis dalam kotak kardus, lalu menghilang ke dalam kamar tanpa menengok lagi pada saya. Aneh. Sungguh aneh. Dari sinar matanya yang semula hangat dan lembut itu saya dapat rasakan perubahan yang berubah di tiap detiknya. Dingin dan makin dingin. Hujan yang saya tunggu sejak mengantre martabak tadi belum juga turun, tapi dingin amat menusuk. Saya sempat membayangkan dapat bercinta dengannya sebelum keadaan berubah demikian muram, membikin gairah saya yang menggelegak jadi serupa kain kusut yang dijatuhkan ke tanah.
Saya hendak mendatangi kamar yang baru saja ia masuki, tapi sekujur tubuh saya memberat oleh suatu keengganan yang aneh, bahkan untuk sekadar mengetuk pintu dan mengucapkan selamat malam. Saya justru melangkah ke kamar mandi untuk kencing sambil sedapat mungkin melupakan kekalahan saya malam ini. Memang saya tak berdaya, bahkan sejak ia datang pada seminggu yang lalu, juga pada waktu-waktu sebelumnya. Perasaan yang menautkan saya padanya jadi perkara yang naik dan turun, kadang-kadang saja membabi buta demikian liarnya. Dan pada intinya saya amat menyayanginya dan terus menghasratinya dari waktu ke waktu.
Maka tak ada keberatan bagi saya membukakan pintu untuknya di suatu malam yang tiba-tiba dingin, tepatnya seminggu yang lalu. Ia datang seorang diri saja, hanya dengan tangan kosong, lalu menangis sejadi-jadinya di pelukan saya. Di detik itu saya merasa menemukan kembali bagian dari diri saya yang hilang. Setelah tigabelas tahun menghilang tanpa memberi kabar, ia datang lagi sebagai dirinya sendiri, maka saya bisa apa? Sudah tentu saya akan menerima ia tanpa mempersyaratkan apapun. Saya mengizinkannya tinggal di rumah saya berhari-hari, entah sampai kapan. Saya pun diam-diam mengurus surat kepindahannya yang semula berada di desa tetangga menjadi beralamat di tempat tinggal saya. Melelahkan memang, tapi itu lebih baik daripada saya mesti bolak-balik melapor ke rumah ketua RT, menyampaikan bahwa ia menginap di rumah saya, lagi dan lagi.
Saya dapat rasakan ketekutannya begitu tiba pertama kali di rumah saya. Ada teror yang menghantui sepasang matanya, juga sejumput kisah lain yang membikinnya merasa tak aman. Ia merasa dikejar-kejar dosa yang sejatinya tak pernah ia perbuat, juga para tetangga yang tiba-tiba memojokkannya di sudut paling gelap dari pergaulan sesama manusia. Pagi ke siang, ke sore, ke malam, wajah-wajah sengit menghendakinya segera angkat kaki tanpa perlu kembali. Jika ia memang tak pernah membikin dosa, mengapa ia mesti demikian takut? Saya mencoba mencari tahu, namun saya pun kena getah dari tetangga-tetangganya, sedangkan maksud saya baik belaka. Saya tak menyerah, saya datang lagi dan bertemu dengan seorang yang berbaik hati meladeni keingintahuan saya.
“Sudah cukup ia berada di sini, Tuan. Perempuan itu atau lelakinya kiranya sama saja.”, ucap seorang yang menyambut saya, tampaknya baru pulang mengais pakan ternak.
“Lelakinya?”
“Ya, Tuan. Lelakinya. Tuan belum tahu?”, ia mengawasi mata saya seusai meletakkan pakan ternak di seputaran kandang.
“Tentu saja saya belum tahu, Pak.”
“Lelakinya itu tukang bikin onar.”
“Bikin onar bagaimana maksud Anda, Pak?”
“Ah, ceritanya panjang. Tapi lelakinya itu sekarang tidak di rumah. Kalau saja dia mau kembali, kami akan bunuh dia, kami mau bikin tubuhnya hangus dijilat api.”, ancamnya penuh dendam.
“Dia sering bikin onar di sini, Pak?”
“Dia bikin onar di tempat lain. Tapi kami sebagai umat manusia tak tega membiarkan keonarannya. Jika Tuan pernah lihat berita di televisi, Tuan akan tahu betapa kebencian kami ini setimpal dengan keonaran yang dia dan teman-temannya bikin.”
Saya renungi beberapa bentar ucapan orang ini, namun saya belum juga dapat mengerti, apalagi menemukan titik terang. Pikiran saya buntu. Pak tua ini bicara makin banyak mengenai pembantaian-pembantaian, mengenai teror, mengenai persenjataan super canggih yang meluluhlantakkan hukum-hukum universal. Saya hanya manggut-manggut sebelum ia memanggil kembali kesadaran saya,
“Ngomong-ngomong Tuan ini dari mana?”
“Saya dari desa sebelah, Pak.”, jawab saya sekenanya.
“Ada hubungan apa Tuan dengan mereka?”
Pertanyaan itu tak dapat lekas saya jawab. Saya mesti berpikir untuk mengakhiri percakapan ini sebelum situasi berubah runyam. Saya buru-buru minta pamit dan menghampiri sepeda motor saya. Di sepanjang perjalanan saya terus teringat pada mereka. Saya mengenal mereka, tentu saja. Cerita cinta segitiga yang melibatkan kami semestinya sudah dilenyapkan dari ingatan saya, namun saya terkenang lagi, sebab mengingat kegetiran nyatanya lebih mudah.
Kala itu saya tak jadi menyatakan cinta saya pada Farhana gara-gara Riyadi mengolesi mata saya dengan sambal di meja kantin. Jam istirahat yang paling saya benci itu mesti saya lalui dengan bolak-balik ke kamar mandi, membasuh mata, dan beberapa kali mengumpat seorang diri. Panas dan pedih bukan main. Padahal saya telah persiapkan latihan tiga hari berturut-turut demi mengungkapkan perasaan pada cinta pertama saya itu. Saya mencintainya, Farhana itu, tapi pedihnya sambal menggagalkan semuanya. Mata saya bengkak, beberapa anak mengira saya menangis sambil berlagak menghibur dan menawari saya tisu. Baru pada keesokan harinya saya benar-benar menangis di lapangan bola seorang diri setelah mendapati Farhana bergandengan mesra dengan Riyadi. Keduanya resmi memulai hubungan baru sebagai pasangan kekasih. Aih, malang betul nasib saya! Hati saya betul-betul patah ketika itu, tapi saya adalah lelaki. Saya menunggu berbulan-bulan, bertahun-tahun, tanpa sekalipun mencari cinta baru, sebab saya terlanjur yakin bahwa Farhana adalah cinta pertama dan terakhir saya. Dungukah saya?
Atas kedunguan itu juga saya kemudian tahu bahwa saya hanya menunggu ketidakpastian. Farhana menikah dengan Riyadi di suatu musim kemarau yang indah dan hangat. Saya menerima surat undangan pernikahan mereka, namun atas dorongan hati yang berbelit-belit, saya putuskan tak datang. Saya meratapi dan mengasihani diri saya sendiri, membentur-benturkan kepala saya di dinding kamar dan terus menyerapah pada apa saja. Saya mulai marah pada apa saja, membenci apa saja, menyalahkan apa saja, sebab semua-mua terasa janggal. Saya sempat punya pikiran melakukan bunuh diri, menceburkan diri di sungai yang arusnya deras atau meminum racun serangga. Tapi saya urungkan, sebab bagaimanapun saya adalah lelaki.
Saya menempuh meditasi bertahun-tahun, melupakan Farhana, juga wajah menyebalkan Riyadi yang merebut cinta pertama saya. Tak ada pertanda apa pun yang menyeberang di antara meditasi-meditasi saya yang hening. Saya tak mau kelewat congkak dan mengambil syak wasangka, maka saya bermeditasi lagi di sela-sela waktu jeda dari bekerja di gudang penyedia bahan makanan. Pertanda yang saya nanti-nanti itu nyaris nihil, kecuali di sebuah malam yang tiba-tiba dingin, saat saya berada di rumah seorang diri. Ya, pertanda itu adalah kedatangan Farhana, tanpa Riyadi, dan ia hanya tahu menangis dan memeluk saya tanpa dapat saya tanyai perihal alasan kedatangannya. Ia tak bicara seminggu lamanya, hanya menyeduhkan susu hangat tiap pagi dan malam ketika saya pulang bekerja.
Dan hari ini, tanpa saya dapat duga, ia pun bicara. Bahagia bercampur haru mendesak-desak batin saya setelah tigabelas tahun tak mendengar suaranya,
“Bolehkah saya mengganggumu sebentar?”, tanyanya dengan suara berat nan lembut.
Saya mengangguk saja sembari berpura-pura mengelap peluh dan meminum susu bikinannya.
“Ia akan pulang dalam minggu-minggu ini.”, ucapnya.
“Lalu?”, tanya saya.
“Saya tak tahu apakah saya dapat menerimanya kembali.”
“Jadi kedatanganmu kemari hanya sebagai pelarian?”
“Tidak. Saya hanya tak kuat dengan ejekan tetangga. Saya juga tak tahan mendengar mereka menggunjingkan Abu Lubab.”
“Siapa Abu Lubab?”, tanya saya.
“Ia, sebelum berengkat ke Syria mengganti namanya menjadi Abu Lubab.”
Aneh betul, pikir saya, mereka belum punya anak, tapi Riyadi mengganti nama dengan nama depan “Abu” yang jamak dipakai untuk menyebut seorang ayah. Tapi saya tak mempermasalahkan itu. Saya justru lebih banyak berkutat intim dengan wajah sedih dan bingung Farhana yang kemerah-merahan.
“Apa kamu masih mencintainya?”, tanya saya.
“Entahlah.”
“Saya kira ia sudah tak punya kewarganegaraan lagi. Ia telah memutuskan menjadi gerilyawan secara sukarela.”
“Saya sudah mencegah ia, tapi ia tak menggubris permintaan saya.”, ucapnya sembari sesenggukan.
“Mengapa menangis? Seorang menteri sedang mengatur kepulangannya bersama enamratus enampuluh jihadis lain. Mereka, juga suamimu akan dikarantina di Pulau N. Ada lagi yang mengusulkan agar mantan jihadis-jihadis itu menduduki jabatan di badan usaha milik negara. Bukankah itu menyenangkan?”, saya berpura-pura menghibur.
“Itu hanya wacana. Orang-orang lebih banyak tak setuju dengan wacana itu.”
Saya tak dapat meneruskan. Saya hanya dapat memantau perkembangan kabar mengenai orang-orang sejenis Riyadi melalui berita televisi dan koran, namun tak memuaskan saya. Tiga hari kemudian kabar mengenai penolakan dan demonstrasi di tiap-tiap titik gedung pemerintahan membanjiri media sosial. Saya hanya menyaksikan dari jauh dan mengobrolkannya dengan teman sejawat di sela-sela istirahat.
Farhana masih berada di rumah saya, entah sampai kapan. Saya merasa ia kembali menutup diri pada saya, lebih banyak bungkam, dan sesekali saya dengar ia menangis di kamar. Lalu pada suatu malam tangisnya makin pilu kala seseorang yang tak saya kenal mengantarkan sebuah bingkisan yang berisi sebuah kepala—kepala manusia dengan helaian jenggot amat lebat. Saya kira itu kepala seorang jihadis. Ia menangis sambil memeluk saya erat-erat. Saya tak tahan dan buru-buru membanting kepala itu ke lantai. Saya tahu itu kepala siapa, pun dengan Farhana yang tak henti menjerit dan meraung-raung. Saya harap ini tak lebih dari mimpi.
15:21
23022020
Karya : Hari Niskala
Hari Niskala, dilahirkan di Kabupaten Tulungagung. Tak banyak kegiatan berarti yang dilakukan, sebab duapertiga hidupnya sering dihabiskan di warung kopi untuk mencelotehkan hal-hal yang masih dapat dijangkau oleh nalar manusia. Juga sebulan sekali mencoba peruntungan dengan menjadi pengamen di gubuk maya sederhana bernama Sadha. Sejak empat belas tahun yang lalu mencoba sepenuh hati menggemari tim sepakbola Liverpool dan di waktu yang lebih luang menjadi pengagum tim sepakbola Juventus. Buku Cerpennya yang telah terbit berjudul Vita Brevis Suwung Longa (2020).