Kakiku melangkah telanjang
tubuhku sempoyongan sepanjang jalan
namun gunung-gunung dan perbukitan
memberiku sandaran untuk peraduan
dan luas laut selatan
menjadi muara tangis bagi perantauan.
Di langit warna-warni layang-layang
melambai-lambai menghiburku agar senang
sedang pepohonan nan rimbun dan rindang
merengkuh peluk diriku yang ketakutan
daun-daunnya bergesakan melantunkan
tembang-tembang tinggalan warisan yang menenangkan.
Meski begitu aku tetap ingin jawaban
dari pusat peradaban:
“Berjalanlah”
Lewat kicau burung di pagi hari
pelajaran dan hikmah tumpah dalam warung kopi
di sudut-sudut pedesaan
bekas kerajan-kerajaan.
(Tulungagung, 2019)
Terminal Gayatri
Aku sengaja keluar dini hari
ke arah terminal Gayatri
Sebelum bermimpi.
Aku tak sengaja melihat seorang bapak
sedang menahan kantuk di atas sepeda motor
di bagian depan kedua anaknya heran
memperhatikan jalanan yang bergerak
padahal tidak.
Mereka kudahului
“Duh, bukankah ini masih jam tidur”
Mereka menatapku tak biasa.
Melalui spion kulihat sang kakak
Berbisik pada telinga adiknya
“Ayo dik, kita lihat, siapa
yang lebih dulu sampai kota
kita atau dia atau takdirNya”
Di depanku lampu berwarna
Merah sedang tertawa.
(Tulungagung, 2020)
Perantau
I
Adalah seseorang yang tandang
Atas pencarian bagi pencapaian
Masa mendatang.
II
Adalah seseorang yang berjelaga ke ujung waktu
Dan ibu dianggapnya tempat pulang rindu
ayah dianggapnya sebagai ruang pengaduan
sedang keluarga ialah kota kelahiran.
III
Kelak aku dan kau
menjadi seperti mereka
yang diam di rumah menunggu anak-cucu
kembali, lalu merayakan senyum mereka.
(Tulungagung, 2020)
Kekuatan Dua Dewi
Di halaman buku-buku aku bertemu
dengan tokoh-tokoh yang bernasib sepertiku
memasak sepi, sunyi, dan sendiri
menjadi puisi.
Ada yang meracau, mengigau hingga marah-marah
Berbicara tentang; rindu, cinta, semuanya
Padahal mereka tahu seisi dunia fana.
Betapa selamat tinggalnya hidup ini
Yang tak bisa merasakan kopi hijau dan dua dewi
Sebagai bekal abadi menuju haribaan pagi.
(Tulungagung, 2020)
Suatu Pagi di Pinggir Pantai
Suatu pagi di pinggir pantai
Aku mendengar suara gemuruh yang tak biasa
melebihi debur ombak laut selatan
pada bibir karang, kekasih.
Kuperhatikan setiap perciknya
melemparkan seluruh kenangan kita.
Saat airnya ke permukaan ingatan
senyummu yang dulu kau berikan datang
menyiksaku lalu menghilang.
(Watu Limo, 2019)
Nelayan
Tuhan paham
kantung matamu selalu surut
akibat air di matamu sesalu pasang.
Tuhan mengerti
sepanjang hari ombak berdebur
kencang dalam dadamu yang berdebar-debar.
Dan Tuhan lebih tahu
kapan mimpimu berhenti berlayar
kemudia kau pulang dengan sekeranjang ikan
sebagai penyambung kehidupan.
(Tulungagung, 2020)
Ziarah Makam Mursyid
00.00
Jendela dan gerbang makam
tertutup malam, tak ada percakapan
sebagaimana ombak dengan pasir yang berdebur
sebagaimana dedaunan dengan angin malam yang berdesir
sebagaimana jarum jam dengan detik yang berdetak
Aku merasa tenang dan aman
sebab aku menjelma doa
yang menyentuh keyakinan
lalu sungkem melalui ijazah dan fatihah.
(Tulungagung, 2020)
Karya : Mohammad Thoriq Miftahuddin
Lahir di Jombang. Sedang nyantri dan menyelesaikan kuliah di salah satu perguruan tinggi kota Tulungagung, juga bergiat di komunitas sastra pesantren (KSP).