Ada bibir yang mengambang di langit. Orang-orang suka melihatnya saat terbit senja. Langit berwarna keemasan dan bibir itu seperti menagih janji untuk ditemani. Namun aku lebih suka melihat bibir itu saat langit cerah dan berwarna biru merata. Bibir itu akan terlihat merah merona seperti haus akan sentuhan.
Setiap harinya orang-orang berdatangan untuk mengambil foto bibir itu. Kadang dipakainya sebagai latar belakang waktu memotret diri sendiri. Kadang muda-mudi yang berpacaran memakainya sebagai simbol cinta. Kadang orang-orang menelitinya sebagai keanehan alam.
Munculnya tak jelas. Bibir itu tiba-tiba ada di sana suatu pagi. Semenjak itu, bibir itu tak pernah berpindah lagi. Berbeda dengan matahari, bibir itu tak pernah tenggelam, terus mengambang memamerkan pesonanya. Gadis-gadis memakai bibir itu sebagai simbol keindahan dan bibir idaman karena banyaknya orang yang terpesona olehnya. Tak jarang ada orang yang nekat mengoperasi bibirnya agar menyerupai bentuk bibir itu.
*
Sudah tiga bulan bibir itu mengambang. Tempat itu mulai digunjingkan untuk dijadikan wisata. Pemerintah kota semangat membahasnya. Tentu itu akan menjadi sumber pemasukan subur bagi kota.
Aku sendiri tidak tertarik untuk berkomentar. Pasalnya, bibir itu muncul setelah hilangnya kekasihku. Hilang. Benar-benar hilang.
Kekasihku adalah seorang pendatang. Dia merantau di kota ini untuk sekadar mencari pengalaman. Katanya, di kotaku, fasilitasnya lebih canggih untuk menjadi seorang ilmuwan. Dia berasal dari luar pulau yang masih memiliki tradisi kaku. Karena merasa tak cocok dengan pemikirannya yang sudah modern, dia memutuskan untuk mencari ilmu di luar tanah kelahirannya. Jadilah dia terdampar di kota ini.
Sebenarnya hubungan kami pun tidak sengaja. Kami sering bertemu saat beli pentol di warung. Rupanya, meskipun akrab dengan laboratorium dan ruang penelitian tumbuhan, dia cukup gemar dengan pentol, makanan yang sungguh merakyat. Dua tiga kali bertemu, kami saling sapa. Lantas mulai iseng, aku meledeknya.
“Mbak ini, cantik-cantik tapi doyan pentol.”
Dia tidak marah. Aku kagum. Justru dia membalas, “Mas ini, sudah gede juga masih doyan pentol.”
Kami berdua tertawa.
Lantas setelahnya, kami semakin sering bertemu. Semakin sering bercanda dalam bahasa pentol. Akhirnya, kami berkenalan ketika secara insting aku ingin mentraktirnya pentol satu porsi. Mungkin karena sungkan, atau karena merasa sudah akrab, dia pun mengundangku ke kontrakannya dan kami mengbrol di luar kontrakan. Rupanya pembicaraan kami tak melulu soal pentol. Dia begitu ramah dan supel. Dengan mudahnya kami saling membuka diri. Saat itu baru kutahu kalau dia seorang gadis perantauan. Kami berdua bertukar kontak dan melanjutkan obrolan dalam layar ganggam.
Kami berdua semakin akrab. Tanpa sadar, kami menjalin rasa. Hal itu mengantarkan kami pada komitmen untuk saling setia. Kami berdua semakin banyak menghabiskan waktu bersama. Kadang aku membawanya ke sebuah restoran ternama untuk sekadar menikmati hidangan pentol berkelas. Kami tertawa melihat pentol-pentol itu di sajikan dalam piring lebar dan hiasan cantik serta daun-daun selada dan wortel yang ditata apik. Untuk memakannya, telah disediakan tiga buah garpu dan empat pisau yang ditata rapi.
“Kamu tahu kenapa ada hal yang seperti ini?” tanya kekasihku.
“Entahlah. Menurutku ini merepotkan. Aku akan malu jika tak tahu tata krama makan dengan alat-alat ini.”
Kekasihku tertawa mendengar jawabanku. “Tentu saja ini karena pentol merupakan makanan yang merakyat. Menyentuh semua kalangan. Dari kelas atas sampai bawah, semua suka pentol. Tapi mustahil mereka membeli pentol di pinggir jalan atau di warung-warung kecil, kan? Bisa habis gengsi mereka.”
Aku mengangguk saja dan mengambil pentol dengan garpu sembarangan.
“Ukuran pentolnya juga beragam. Apa ini ada maksudnya?” tanyaku iseng.
Kekasihku tertawa. “Tentu semua ada maksudnya. Tapi kurasa kamu tak akan peduli dengan semua aturan itu.”
Aku tertawa. “Benar. Karena aku di sini untuk makan dan pacaran denganmu.”
Sebenarnya, bukan masalah pentol yang penting bagiku saat berada di tempat ini. Ada hal lain yang menarik minat dan rasa penasaranku. Aku ingin melihat kekasihku makan pentol di restoran ini. Aku ingin melihat gerak bibirnya—yang menurutku sempurna itu—saat memakan pentol di restoran berkelas semacam ini. Tentu saja sangat eksotis.
Aku pernah bilang padanya bahwa aku menyukai bentuk bibirnya yang indah. Namun dia menuduhku gombal. Aku pun tak lelah menyatakan kekagumanku itu padanya, sampai akhirnya aku memutuskan untuk mengagumi bibirnya secara diam-diam, karena dia risi saat aku mulai bicara tentang bibir.
Kurasa itu lebih baik, daripada kekasihku memakai masker saat bertemu denganku.
*
Hubungan kami sunguh lancar dan tak ada cekcok. Kami begitu cocok satu sama lain. Hal yang sering kami ributkan hanyalah soal siapa yang harus membayar pentol hari ini. Aku tak keberatan terus mentraktirnya, tetapi rupanya kekasihku juga ingin melakukan hal yang sama. Jadilah kami berdua sering ribut di depan penjual pentol. Namun itu bukanlah masalah serius.
Keteguhan hubungan kami sendiri dicoba ketika masa magang kekasihku habis dan dia harus kembali ke kampung halamannya. Aku mengantarkannya ke bandara dan kami berjanji untuk saling setia. Aku begitu percaya pada kekasihku dan aku sangat mengenal diriku, jadi kupastikan bahwa itu bukanlah janji yang berat.
Tentu saja sekepergian kekasihku, hari-hariku terasa sepi. Hal yang paling berat adalah ketika aku membeli pentol dan menyadari bahwa aku tak bersamanya lagi. Itu terasa begitu menyiksa. Aku hanya bisa mengiriminya video bahwa aku sedang membeli pentol di tempat biasa. Dia tertawa melihat itu. Senyumnya itu, sungguh membunuh. Senyum manisnya itu mampu membasuh dahaga rinduku sekaligus mengeduk rindu yang baru. Hariku seperti dilubangi terus menerus.
Kuputuskan untuk meminangnya.
*
Semenjak keputusanku untuk menyeriusi hubungan ini, kekasihku berubah. Dia menjadi lebih dingin dan tertutup. Obrolan kami pun beku. Aku seperti tak mengenalnya lagi.
“Apa kamu tak bisa lagi membicarakan hubungan ini?”
“Entahlah, Mas.”
“Kumohon. Aku butuh kesediaanmu untuk melanjutkan hubungan ini.”
“Tak bisa.”
“Apa maksudmu?” Aku semakin tak sabar.
“Aku tak siap bicara soal ini.”
“Kamu berubah semenjak aku berniat untuk meminangmu. Kenapa?”
“Aku tak siap.”
Aku terus meledak-ledak. Dan hal ini terus mengganggu hubungan kami. Setiap kali aku telepon, pasti obrolan kami tak pernah jauh dari hal itu. Hingga kemudian, terbukalah sebuah tabir.
“Ayah tak menyetujui hubungan kita. Dia tak ingin aku menikah dengan orang luar. Ayah ingin menjodohkanku dan aku tak mau. Belakangan ini juga ada seorang lelaki yang sering datang ke rumah untuk memintaku, tapi aku tak mau. Aku cuma mau denganmu, Mas.”
Aku merenung sejenak. “Lantas, apa yang bisa kulakukan? Biarkan aku datang ke rumahmu untuk memintamu baik-baik.”
“Ayah tak akan setuju.”
Kami berdua tak saling bicara selama tiga minggu. Dia tak mengirimiku pesan apa pun. Aku pun bingung jika harus membuka percakapan dari topik terakhir kami, karena rasanya sungguh berat.
Aku mulai membenci pentol dan tak lagi membelinya. Aku menghindari tempat-tempat yang mengingatkan kebersamaan kami. Namun ada racun yang lebih mematikan dari semua itu. Foto-fotonya yang masih kusimpan dalam ponselku. Aku tentu tak tega menghapusnya. Maka, setiap malam, mataku selalu disayat oleh tampilan foto-foto itu dikala aku merenung sendiri. Senyum manisnya, lekuk bibirnya, aku seperti dirajam perlahan.
Aku tak kuasa lagi menahan rindu. Tiga mingu saling membisu bukanlah hal baik untuk sebuah hubungan. Aku bahkan tak tahu apa sekarang dia menerima pinangan lelaki itu, atau justru menerima perjodohan dari ayahnya. Demi menjawab rasa penasaranku, aku telepon dia.
Suara dengng telepon merisaukanku. Aku semakin tak sabar. Dengunganku berakhir dengan suara wanita yang mengatakan bahwa orang yang kuhubungi sedang tak bisa menjawab. Aku tak menyerah dan terus meneleponnya. Dengungan demi dengungan aku hadapi. Akhirnya aku harus terluka saat menyadari bahwa kekasihku menolak panggilanku. Aku memastikan dengan memanggilnya sekali lagi. Dia langsung menolaknya. Kulakukan lagi dan dia menolaknya lagi. Aku depresi.
Hampir saja aku mengirimkan pesan makian dan penuh amarah padanya, serta meminta pertanggungjawabannya untuk peduli padaku karena aku masih kekasihnya. Namun saat aku mengetik kalimat kasar yang panjang itu, datang satu pesan darinya.
“Maaf, Mas. Aku sedang tak ingin bicara.”
Kuhapus semua pesanku. Kutanyakan baik-baik mengapa dia tak ingin bicara padaku. Setidaknya dia bisa menceritakan permasalahannya padaku. Aku hanya ingin tahu perkembangannya. Aku hanya khawatir dengan keadaannya.
“Ayah masih tak menyetujui hubungan kita. Aku masih tak ingin dijodohkan. Dan lelaki yang ngotot untuk meminangku itu kembali datang ke rumahku. Kami menolaknya dan dia murka. Lelaki itu mengancam akan memperkosaku dan mengguna-gunaku bila aku menolak untuk menikah dengannya. Aku takut.”
Aku terdiam cukup lama. “Apa yang bisa kulakukan untuk membantumu?”
“Tak ada. Mungkin ini yang terbaik, Mas. Aku takut diguna-guna dan menjadi gila. Sebaiknya aku menghilang dan menjelma sebagai sesuatu yang tak akan kau lupakan. Sesuatu yang akan membuatmu selalu ingat padaku hingga akhir hayat. Aku serius mencintaimu, Mas. Tapi aku tak mungkin menyakiti hati Ayah.”
Semenjak pesan itu dikirim, kontak kekasihku langsung hilang. Aku tak bisa menghubunginya lagi. Aku juga tak tahu dia ada di mana. Aku masih ragu untuk mendatanginya di rumahnya. Dia juga belum memberikan alamat rumahnya.
Malam itu, aku hampir tak bisa tidur dan terus terjaga hingga hampir fajar. Aku terlelap karena kelelahan dan terbangun oleh suara ramai di luar. Orang-orang berteriak kebingungan. Ada sepotong bibir yang mengambang di langit. Bibir yang menyerupai bibir kekasihku.
Karya : Zhull Azzura
Pencinta coklat dan ketenangan. Suka merenungkan masa lalu dan masa depan meski badannya ada di masa kini.