Betapa Umbaran Waluyo adalah pecandu berat lagu-lagu dangdut original maupun koplo. Terlebih lagi lagu spesial kegemarannya. Memori Daun Pisang. Yang pernah hit dilantunkan Solid AG dan Inne Cintya.
Tidak hanya itu lagu yang sudah didaur ulang pun disukainya. Seperti yang dinyanyikan Iwan feat Amelina maupun lagu yang disenandungkan Anna Lorizta duet dengan Uus. Tidak sebatas itu, lagu Memori Daun Pisang yang versi koplo dengan beberapa penyanyi juga dikoleksi. Galeri lagu yang fisik maupun soft di laptop atau dalam gadget sangat banyak jumlahnya. Hampir tiap hari dan tiap saat, audio di rumahnya memutar lagu tersebut. Bahkan diluar rumah sambil aktifitas di gudang selalu buka youtube lagu dangdut. Berkaraoke ria tanpa menghiraukan kondisi sekelilingnya.
Meski selalu menyanyi dengan lagu dangdut yang riang gembira. Bahkan disertai dengan joget dengan goyangan sederhana maupun enerjik. Namun sesungguhnya suasana hatinya sedang gelisah. Usahanya penggilingan gabah dan jual beli di gudangnya sedang lesu. Kalah dengan penggilingan keliling dengan mobilitas tinggi dan biaya lebih kompetitif. Kalau tidak segera berinovasi, kecemasan tersebut dirasa akan jadi kenyataan. Gudang penggilingan gabah miliknya akan segera gulung tikar.
Tidak sengaja kegelisahan tersebut menemukan momentumnya ketika berbincang lama dengan koleganya, Budi Hendrawan. Tengkulak palawija dan pengepul gabah yang sering keluar masuk tempat usahanya. Omong-omong serius menyangkut persaingan bisnis yang keras bahkan tidak sehat. Hingga hal-hal klenik yang irrasional.
“Memang tidak hanya kau yang sedang gamang terkait usaha di bidang pertanian. Orang lain dengan usaha sejenis juga merasakannya. Bagaimana lagi jaman telah berubah. Sistim jual beli juga mengalami pergeseran. Dulu orang sering langsung ke gudang atau toko. Tapi sekarang beli beras bisa lewat onlen,” ujar Budi Hendrawan siang itu seperti menguliahi yang empunya gudang penggilingan.
“Menurutku, rasanya bukan hal itu yang jadi penyebab utama lesunya usaha padi dan palawija. Tapi lebih karena pemerintah tidak membuatkan aturan yang adil. Lihat selep keliling yang tanpa kontribusi daerah dibiarkan keluar masuk kampung. Sementara usaha yang berijin dan bayar pajak tidak ada kebijakan yang melindungi,” sanggah Umbaran Waluyo sambil menikmati rokok dan kopi di depannya.
“Kalau masalah itu tak perlu dibahas lagi. Sejak dulu petani dan usaha kecil selalu dikalahkan. Yang dibela dengan pasal dan aturan selalu pebisnis kakap!” bantah tengkulak yang siang itu setor gabah menimpali rerasan.
“Lalu kita harus bagaimana? Protes dan demo selama ini juga sia-sia. Mereka-mereka semua tutup mata dan telinga.”
“Memang betul! Dan menurutku hal-hal tersebut tidak perlu dibahas lagi. Mending ngomong lain yang bisa mengubah nasib. Aku punya orang pintar yang bisa disambati mencari jalan merubah keberuntungan.”
“Maksudmu?!! ” mendengar kata ‘orang pintar’ dia langsung njenggelek kaget.
“Ada para normal yang bisa menggandakan uang.” bisik Hendrawan sambil mendekatkan mulutnya ke telinga lawan bicara.
Akhirnya Umbaran Waluyo tertarik. Budi Hendrawan memperkenalkannya dengan paranormal Abdul Ghofur di Kecamatan Sarirejo. Rumah di pojok desa yang masih sepi. Rumah kuno yang disampingnya berdiri musholla lawas yang tidak terawat. Dikelilingi bermacam pohon dan tetumbuhan. Menjadikan lingkungan sekitar terasa mistis dan seram.
Banyak cerita hiperbol bahkan ngayawara dikemukakan dukun yang masih muda tersebut. Mulai penyembuhan berbagai penyakit. Penglarisan berdagang. Perjodohan. Pemenangan pemilihan kepala daerah maupun kepala desa. Hingga penggandaan uang dengan nilai nominal milyaran rupiah.
Untuk meyakinkan para tamu yang berkepentingan dengannya, dukun tiban itu tidak hanya menyuguhkan cerita. Berbagai benda kuno yang dia punya juga dikeluarkan. Bermacam batu permata dihamparkan di atas meja. Lempengan kuningan. Uang kuno. Berbagai tumbak dan keris. Tidak lupa berbagai jenis burung didalam rumah juga dipamerkan.
Seperti kena gendam. Umbaran Waluyo penasaran. Tertarik dengan bualan sensasional dan jatuh cinta pada barang kuno tersebut. Dari rasa antusias itu sangat nampak kalau dia sudah terperangkap jurus tipudaya.
Maka di lain hari dia berkunjung sendiri tanpa diantar Hendrawan. Ngebet ingin melipatgandakan kekayaan. Salah satunya dengan menggandakan uang. Apapun jalan yang akan ditempuh dia sudah siap. Segala persyaratan sudah bersedia mewujudkannya.
“Saya tertarik dan berminat kerjasama dalam pelipatgandaan uang ini,” suara Waluyo pelan namun terdengar jelas.
“Jadi benar Pak Waluyo tertarik menggandakan uang?” pancing Abdul Ghofur dengan jurus awal.
Yang ditanya tidak menjawab. Cukup mengangguk. Sikap tersebut telah gamblang mewakili isi hatinya. Siap untuk menjalani ritual proses penggandaan uang yang diinginkannya.
“Tapi ini ada persyaratan yang harus dipenuhi. Agar upaya mendatangkan kekayaan berlimpah tersebut dikabulkan. Bagaimana? Setuju?” anggukan yang kedua tanda sepakat. Lagi-lagi tanpa harus diejawantahkan dengan kata-kata.
Lima batu berlian telah diserahkan. Dengan mahar 35 juta. Selain itu juga harus membeli burung gagak merah 7 juta. Gagak mata hitam 25 juta dan burung merak 6,5 juta. Semua sebagai persyaratan untuk menggandakan uang.
Apa yang diperintahkan dukun klenik tersebut semua dituruti. Semata-mata karena keburu kepengin penggandaan uang yang sedang dilakukannya berhasil.
Kebiasaan tidak lazim tersebut diketahui istrinya, Siti Solikhah. Beberapa kali ditanya jawabannya tidak memuaskan. Ketika diperingatkan tidak pernah dihiraukan. Bahkan naik pitam. Amarahnya membuncah.
“Orang ikhtiar kok dihalang-halangi ta, Bu. Harusnya didukung agar ada hasilnya?” sergahnya sepulang dari gudang.
“Itu bukan ikhtiar mencari rejeki, Pak. Tapi laku klenik yang tidak ada sangkut pautnya dengan usaha. Itu jelas penipuan yang menyesatkan,”
“Itu menurut kamu. Karena tidak pernah paham dunianya orang yang memiliki kemampuan ghaib. Bagi orang yang sudah mengerti liku-likunya dunia paranormal pasti memaklumi,” tukasnya dengan suara bergetar.
Istrinya terdiam. Merasa tiada gunanya menasehati suaminya. Karena sedang kerasukan gendam. Memilih mengalah demi kebaikan bersama. Sambil tak putus berdoa agar ada jalan terang yang menuntun suaminya.
Umbaran Waluyo sendiri sudah kerasukan klenik. Hidupnya selalu terbayang uang milyaran. Yang didapat secara instan. Dengan niat kuat menggandakan sejumlah uang. Hal tersebut sangat mengubah laku hidupnya. Kebiasaan memutar bahkan menyanyikan lagu dangdut Memori Daun Pisang, sudah tak dilakukan. Di gudang yang biasanya juga diperdengarkan lagu dangdut, tak terdengar lagi.
Sudah menunggu lama, penggandaan kekayaan tidak terealisasi. Ketika dikonfirmasi ke paranormal jawaban mbulet dan berliku. Tapi dia mencoba tetap bersabar. Hingga harus menuruti perintah dukunnya lagi. Setelah menerima glangsing berisi sesuatu. Tidak boleh dibuka jika belum ada perintah. Maharnya membangun mushalla agar menjadi jalan melancarkan ritual penggandaan. Uang yang harus diserahkan tidak sedikit. Segera mengirim 75 juta tidak boleh kurang.
Lazimnya orang kerasukan gendam. Diberi uang 100 euro disuruh menebus 9 juta juga tidak menolak. Padahal uang yang diserahkan palsu.
Demikian juga ketika dukun yang katanya dapat warisan ilmu dari almarhumah istrinya tersebut menyerahkan mata uang Brunei dengan sertifikatnya. Harus disiapkan uang 33 juta rupiah.
Meski ritual penggandaan kekayaan tersebut tidak menjadi kenyataan, Umbaran Waluyo masih saja percaya suatu ketika akan berhasil. Tidak pernah punya rasa bahwa dia telah tertipu.
Maka ketika paranormal awu-awu tadi menyerahkan semacam lempengan emas, pecut besi kuningan, cakar elang kuningan dan keris, hatinya semakin yakin. Barang-tersebut seolah memiliki daya magis baginya. Sehingga tak terasa telah dipermainkan dengan berbagai tipu daya.
Kecenderungan hatinya terhadap penggandaan kekayaanya lewat klenik telah menjadikan laku hidupnya berubah. Hingga aktivitas usaha penggilingan gabah yang selama ini menopang kebutuhan keluarga, sudah jarang diopeni. Hanya kadangkala, ketika pikiran dan hatinya sedang tidak tersita pada ritual abal-abal. Anaknya yang baru kuliah di Jogjakarta sering sambat karena jatah makan dan uang kuliahnya sering terlambat.
Ringkasnya hati dan pikirannya telah berubah haluan. Mengabaikan usaha dan tidak lagi perhatian pada keluarga. Lebih mengerahkan seluruh energinya hanya untuk kegiatan yang jelas-jelas klenik, takhayul dengan segala tipudaya.
Setelah menunggu ritual penggandaan uang. Berupa zak atau glangsing berisi sesuatu yang disimpan. Maka tiba saatnya 40 hari setelahnya. Misteri barang dalam glangsing yang konon katanya berubah menjadi uang telah diketahui. Alangkah terkejutnya Umbaran Waluyo setelah mengetahui isinya. Lembaran daun pisang kering berwarna kecoklatan ditali dengan utasan bambu.
Seketika matanya serasa gelap. Bumi langit berputar. Lagu memori daun pisang yang biasanya dinikmatinya berubah menjadi daun pisang kering yang berkelebat dalam angannya. Tiba-tiba terhuyung terjatuh tidak sadarkan diri.
Penulis : Nono Warnono
Penulis di Sanggar Pamarsudi Sastra Jawa Bojonegoro (PSJB. Sejak lama menulis dalam bahasa jawa.Bukunya Antologi Crikak “Kluwung” mendapat apresiasi Anugerah Rancage tahun 2014, dan buku kumpulan gurit berjudul “Kidung Langit” menerima Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Jawa Timur tahun2018. Buku kumpulan puisinyadalam bahasa Indonesia: “Nyanyian Bidadari” (2019), “Meruat Halaman Belakang”(2020), “Lelaki Dalam Rembulan”(2020).