Ki Mangir merasa bersalah. Sang istri masih menyalahkannya karena telah memberi ijin pada Jaka Baru untuk ikut sayembara. Terlebih ketika perempuan berusia 53 tahun itu tahu, bahwa anaknya akan menjadi orang terakhir yang akan terpenggal kepalanya, jika gagal memenangkan sayembara.
Sudah menjadi rahasia umum, kalau kadipaten Ngrawa yang tenggelam bertahun-tahun itu tidak akan pernah bisa kering, meski disumbat dan dimampatkan dengan cara apapun. Kadipaten itu akan tetap seperti namanya, menjadi rawa-rawa untuk selamanya.
Tapi pemimpin Bethak, wilayah yang ada di seberang kadipaten Ngrawa juga belum menyerah. Ia kembali mengadakan sayembara dan menyiapkan hadiah lebih besar bagi siapapun orang yang bisa menyumbat sumber air yang ada di tengah-tengah kadipaten Ngrawa itu.
“Mana mungkin bisa? Ngrawa itu akan tetap penuh air. Sayembara itu hanya akan memakan korban lagi. Anak kita mau kamu jadikan korban selanjutnya toh, Pak?” kata istri Ki Mangir sambil sesenggukan.
Ki Mangir jadi harap-harap cemas. Ia tidak menyangka bahwa keputusannya kali ini membuat istrinya muntab. Hal yang ia pikirkan waktu itu hanya terpaku pada hadiah yang disiapkan oleh pemimpin Bethak, tanah seluas 1,5 hektare dan dua lima ekor sapi, ditambah posisi strategis di pemerintahan.
Mendengar pengumuman soal banyaknya hadiah yang disediakan, Ki Mangir langsung pulang ke rumah dan mengiyakan permintaan Jaka Baru sebelumnya, yang ingin mencoba menyumbat aliran air di Ngrawa. Ki Mangir tidak mendengar ada konsekuensi atau hukuman yang harus diterima oleh mereka yang gagal.
“Sumber Agung itu tidak bisa dibendung, Le.”
“Tapi dalam mimpiku, aku satu-satunya orang yang bisa membendungnya, Bu.”
“Itu toh cuma mimpi. Jangan bahayakan nyawamu sendiri.”
***
Sejak awal digelarnya sayembara, tidak ada satu pun yang berhasil menyumbat sumber Agung itu. Orang-orang yang ikut dalam sayembara dan gagal hanya tinggal punya dua pilihan, menenggelamkan diri atau terpenggal.
“Aku sudah sangat putus asa.” Gerutu pemimpin Bethak.
“Saya adalah orang yang tepat.”
“Apa jaminannya kalau kau juga gagal?”
“Seperti sebelum-sebelumnya, sesuatu yang bisa menggantikan waktumu.”
Dengan begitu yakin, Jaka Baru mengambil slot terakhir dalam sayembara itu dan kepalanya akan jadi taruhan. Ia tahu dan sadar bahwa dirinya memang bukan Bandung Bondowoso yang dengan bala-balanya dapat membuat candi dalam waktu semalam. Ia sadar sebagai anak wong tani, satu-satunya hal yang ia punya adalah keyakinannya sendiri.
Sebelum hari yang disepakati itu tiba, Jaka Baru kembali pulang menemui ibu dan bapaknya. Tak didapatinya raut muka sumringah dari dua sepuhnya itu, kecuali sorot mata yang takut kehilangan.
Sebagai anak semata wayang dari Ki Mangir dan juga istri, jelas sudah alasan kenapa rasa khawatir itu dipupuk sedemikian rupa. Keputusan Ki Mangir yang tergesa-gesa memang membuat Jaka Baru tambah percaya diri, tapi sekaligus membuat istrinya kehilangan semangat untuk hidup. Satu-satunya hal yang ada dipikirannya hanya bayangan kehilangan Jaka Baru, kehilangan anak lanang-nya.
“Bukannya aku ndak yakin sama kemampuanmu. Gusti mesti nolong. Tapi pikirkan lagi, Ngger.” Sambut ibu dengan mengelus kepala Jaka Baru yang duduk di sampingnya.
“Sudah berkali-kali, Bu. Aku yakin dan atas restu bapak dan ibu.”
“Kamu tahu wong Bethak itu tidak pernah main-main. Semua yang ikut sayembara, berakhir di liang tanpa kepala, Le.”
“Kalaupun aku sampai ke liang, Bu. Kupastikan nanti tubuhku ini utuh. Mohon restu.”
Tidak ada yang bisa mengobati kekhawatiran istri Ki Mangir atas nasib anaknya nanti. Tapi ia sendiri merasa terlambat, tidak punya daya untuk memaksa Jaka Baru mengurungkan niat, apalagi membatalkan apa-apa yang sudah ia yakinkan pada pemimpin Bethak.
Hingga hari yang dikhawatirkan itu pun tiba. Waktu di mana Jaka Baru harus mengambil jatah sayembara slot terakhir. Persis seperti apa yang telah ia mimpikan, Jaka Baru membawa setumpuk ijuk dan segenggam lidi yang ia buat dari batang Enau. Doa-doa mulai dirapalkan dan berjalanlah lak-laki itu ke tengah sumber air di kadipaten Ngrawa.
Sumber Agung bergejolak menerima bau ijuk dan lidi yang dibawa oleh Jaka Baru. Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu kembali harap-harap cemas, tak terkecuali Ki Mangir dan istrinya. Selang sepersekian menit, Jaka Baru tinggal setengah badan, tanda ia telah hampir sampai pada sumber Agung. Seketika, ditancapkannya segenggam lidi mengitari sumber Agung dan dimampatkan sumber itu dengan buntalan ijuk Enau.
Tak ada yang diharapkan orang-orang dan pemimpin Bethak kecuali melihat air dari Ngrawa perlahan surut dan sumber Agung itu benar-benar mampat. Tak ada yang diharapkan istri Ki Mangir kecuali anaknya bisa kembali ke pinggiran dengan selamat. Lalu apa yang terjadi? Ia benar-benar tenggelam, bersamaan dengan keringnya Ngrawa, lanang kang dadi putulung Agung, menjadi satu-satunya yang berhasil menyumbat sumber Agung.
Karya : Rizka Hidayatul Umami
Lahir di Tulungagung, 28 Juni 1996. Menempuh Sekolah Pascasarjana di UIN Sunan Kalijaga dan sedang menyenangi sastra dan isu-isu perempuan dan anak.