Di tengah kegelapan pesanggrahan Randuwatang, beberapa batang kayu Atiwa-tiwa jasad Raden Seta masih menyisakan api. Meski remang, pemandangan gelap itu bisa sedikit tertangkap oleh penglihatan manusia. Sesekali, nyala api nampak meliuk-liuk, manakala hembusan angin menerpa. Malam itu, angin hanya bertiup lembut. Membuat nyala perapian bergerak pelan. Menjadikan bayangan yang ditimbulkannya lebih jelas. Ada beberapa bayang-bayang tubuh manusia di sana. Berdiri berkeliling, mengitari api Pitra Yadnya senopati Pandawa: Raden Seta. Salah satu bayangan tubuh manusia itu, tak lain adalah pembunuh Raden Seta sendiri.
Tubuh Resi dari Talkanda yang sejatinya adalah pewaris takhta Astina itu bergetar hebat. Dadanya bergemuruh tiada henti manakala mengingat jalannya perang tadi siang. Perang hari ketiga yang berakhir dengan kematian Senopati Pandawa. Kematian oleh cundrik yang berasal dari Jungkat Widodari milik sang Resi.
“Tanganku telah berlumuran darah manusia-manusia yang memilih mati di jalan dharma. Entah karma apa yang kelak akan menimpaku. Sungguh, aku tidak pantas dikatakan mencapai derajat seorang Resi.”
Sejenak Bhisma membasuh kedua tangan dan kakinya. Ia bersihkan lumuran dosa yang menempel pada jiwanya. Lumuran yang berasal dari percikan darah Raden Seta.
Resi yang siang tadi menjadi Senopati Kurawa itu masih gemetaran. Ia gunakan kain wastra yang menyampir di pundaknya untuk menyeka keringat dingin yang mengucur di pelipis. Lalu, ia nyalakan dupa di atas prapen. Dalam sekejap, aroma wangi astanggi berkelindaran memenuhi udara.
Bisma mengambil duduk sedemikian rupa hingga tubuhnya membentuk posisi Siddhasana. Kedua telapak tangannya sempurna tertangkup dalam sikap Anjali Mudra. Bibirnya mendesis, melantun-langitkan puja mantra kepada Sang Maha Pengampun.
Hening. Hanya terdengar hembusan napasnya yang kian lama kian pelan. Kesadaran Bhisma turut pula hanyut, terbalut penyesalan mendalam yang membawanya masuk ke jagad suwung.
Bhisma berjalan tertatih-tatih menyusuri rimba yang gelap. Rimba yang dulu pernah dilaluinya ketika masih bernama Dewabrata. Rimba yang menjadi tempat tumbuhnya perasaan ia dengan seorang wanita Kasi bernama Amba.
***
Balai Manguntur Astina lengang. Hanya ada dua orang yang bertatap muka di sana. Dua orang yang nampak terlibat pembicaraan dengan suara pelan, nyaris samar-samar. Mereka tak lain adalah Maharaja Sentanu dan putra mahkotanya.
Dewabrata mengangkat sembah, “Demi bhaktiku kepada ramanda, juga demi keutuhan keluarga Maharaja Astina, hamba rela menyerahkan takhta ini kepada anak-anak Satyawati.”
“Pikirkan kembali ucapanmu, Dewabrata.”
Maharaja Sentanu menatap dalam-dalam wajah putranya. Untuk kedua kalinya, Dewabrata kembali menyembah.
“Hamba bersumpah; tidak akan menurunkan keturunan yang kelak menjadi pemicu perebutan takhta yang hamba tanggalkan ini. Hamba telah siap memilih jalan hidup sebagai Brahmacari. Hamba tidak akan menikahi wanita mana pun hingga akhir hayat.”
“Dewata akan menggantikan pengorbananmu dengan surga terindah, Putraku.”
“Hamba, Ramanda Prabu.”
Pembicaraan antara ayah dan anak itu diakhiri dengan sujud Dewabrata di depan kaki Maharaja Sentanu. Begitu juga sebaliknya, Sentanu mencium kening putranya dari istri pertamanya itu; Dewi Gangga yang telah moksa. Malam itu juga, Maharaja Sentanu mewariskan mantra Swacandamarana, sebuah doa puja jika dibacakan, maka ia bisa memilih hari kematiannya tiba.
Esok harinya, Raden Wicitrawirya, adik Dewabrata dari istri kedua ramandanya: Satyawati, dinobatkan sebagai putra mahkota. Kelak, Wicitrawirya yang akan menduduki singgasana Astina, menggantikan Maharaja Sentanu, mewarisi penobatan yang seharusnya diberikan kepada Dewabrata, yang justru kukuh memilih mundur demi keutuhan keluarga Astina.
Akan tetapi, masalah kemudian tmbul ketika tidak ada satu pun wanita yang mau dipersunting Wicitrawirya. Kelangsungan penerus takhta Astina terancam. Sedangkan anak lelaki Satyawati lainnya: Raden Citranggada, telah lama menghadap Sang Maha Suci.
Dewabrata gusar. Ia tak ingin saudara tirinya kelak lengser keprabon tanpa memiliki keturunan.
***
Puluhan kesatria telah datang ke alun-alun Kasi. Ratusan, bahkan ribuan pendatang lainnya juga berjubel di sana. Kesatria-kesatria itu datang dari berbagai penjuru kerajaan tetangga untuk mengadu nasib. Maharaja Kasi tengah mengadakan sayembara: siapa pun kesatria yang keluar sebagai pemenang adu olah kanuragan, berhak mendapatkan tiga putri kerajaan Kasi.
Ambika, Ambalika, dan Amba adalah tiga anak perempuan Maharaja Kasi yang disayembarakan. Entah apa yang ada dalam benak sang prabu, ia mengubah tradisi yang sudah turun temurun dilakukan pendahulunya: setiap putri Kasi akan diberikan kepada pangeran dari Astna. Tradisi itu tidak dilakukan oleh Maharaja Kasi manakala mendengar bahwa singgasana Astina tidak diduduki oleh pewaris yang syah.
Dewabrata sudah ikut menjejali alun-alun Kasi. Tekadnya sudah bulat, akan memboyong tiga putri Kasi untuk adik tirinya, Wicitrawirya.
Gegap gempita ribuan orang menyambut setiap adegan yang disuguhkan dari sebuah palagan di tengah alun-alun. Satu per satu kesatria yang mengikuti sayembara saling berjatuhan. Pada pengujung laga, tersisa seorang kesatria muda yang belum terkalahkan oleh para penantangnya.
Tak jauh dari panggung, tiga putri Kasi tampak gusar menunggu siapa kesatria yang akan menjadi pemenang, yang sudah tentu akan memboyong mereka dan menjadikan istri. Amba menundukkan pandangan, manakala kesatria yang kini berdiri tegap di tengah palagan itu menebar pandangan ke arahnya.
Sorak penonton kembali pecah, ketika seorang anak muda melompat ke tengah palagan. Ia berdiri hanya berjarak tiga langkah dari kesatria tanpa tandingan tadi.
“Oh, ternyata masih ada yang memiliki nyali untuk mencobaku. Siapa namamu, Anak Muda”
“Hamba Dewabrata, putra Gangga dari Astina.”
Dewabrata menangkupkan kedua telapak tangan dengan mengepal di depan dada. Simbol penghormatan kepada kesatria yang akan menjadi lawan tandingnya.
“Aku Maharaja Salwa, dengan senang hati akan mengajarimu bermain olah kanuragan.”
“Izinkan hamba memutar-balikkan ucapan paduka,” sanggah Dewabrata.
Syahdan, adu ketangkasan langsung terjadi antara Dewabrata dan Salwa. Di luar dugaan semua yang hadir, termasuk Ambika, Ambalika, dan Amba, hanya dengan beberapa gerakan saja, Maharaja Salwa tersungkur oleh terjangan Dewabrata.
“Maafkan hamba atas kelancangan ini.”
Dewabrata mengunci tubuh Maharaja Salwa yang mengacungkan tangan sebagai pengakuan kekalahan.
Ribuan orang bertepuk tangan ketika Maharaja Kasi mengumumkan pemenang sayembara adalah kesatria asal Astina: Dewabrata. Hari itu pula, ia berhak memboyong tiga putrinya; Ambika, Ambalika, dan Amba.
***
Terkejut Dewabrata manakala ia terjaga dari semadi, seorang wanita telah menungguinya di depan wandapa kediamannya. Wanita yang sehari sebelumnya ia boyong dari Kasi untuk dipersembahkan menjadi istri Raden Wicitrawirya.
“Amba?”
“Kasinggihan, Raden.”
“Apa yang terjadi?”
“Punten dalem sewu. Perkenankan hamba mengadu kepada Raden.”
“Oh Jagad Dewa Bhatara, teguhkan hamba dari tekad untuk tak bergeming dari sumpah hamba: tidak akan tertarik kepada lawan jenis. Sempurna memilih jalan hidup menjadi brahmacarin. Sungguh, wanita di hadapan hamba ini adalah ujian terhadap keteguhan sumpah hamba itu.”
Dada Dewabrata bergemuruh. Serta merta ia menundukkan pandangan. Perasaaannya berdesir manakala Amba menatapnya dengan mata membanjir.
“Katakan apa yang mengganjal di hatimu, Amba.”
“Nyuwun agunging pangaksama, Raden. Hamba ingin mengatakan yang sebenarnya perihal jati diri hamba. Jauh sebelum Ramanda Maharaja Kasi menggelar sayembara di alun-alun, sesungguhnya hamba sudah memiliki sandaran hati.”
Amba menyeka buliran air mata dengan ujung selendangnya. Lalu mengangkat sembah.
“Dengan kata lain; engkau tak kuasa menolak pemenang sayembara itu?” Dewabrata mencoba menerka-nerka kelanjutan pengakuan Amba. “Lalu, siapa kesatria yang sebenarnya telah beruntung memiliki hatimu, Amba?”
“Tak lain dan tak bukan adalah kesatria yang telah Raden kalahkan dalam sayembara itu: Maharaja Salwa!”
“Oh Dewa, Oh Bhatara. Ampunilah segala dosa hamba.” Dewabrata memejamkan mata, lalu menengadahkan sembah ke atas langit.
“Bersiaplah, Amba. Malam ini juga, akan kukembalikan engkau kepada Maharaja Salwa.”
“Duh, Raden. Entah dengan apa hamba harus membalas kebaikanmu?”
Langit Astina mendadak ditaburi jutaan bintang. Bulan yang tengah memasuki paruh Suklapaksa ampak mengapung di ujung barat cakrawala. Di depan gerbang purawaktra Astina, Dewabrata menuntun Amba menaiki sebuah kereta. Ia sendiri yang menjadi kusir. Sekejap kemudian, keduanya bergerak pelahan meninggalkan kotaraja bangsa Kuru itu.
Hari berganti minggu. Lalu ditimpa oleh pergantian bulan. Pencarian Amba dan Dewabrata terhadap keberadaan Maharaja Salwa sudah berjalan hampir lima wuku. Selama perjalanan itu, Dewabrata tidak membiarkan Amba menderita sedikitpun. Kala terik matahari menggampar kereta mereka, serta merta ia mencarikan pohon rindang untuk berteduh. Pun juga ketika dinginnya udara malam membungkam, tak canggung Dewabrata melepaskan bajunya untuk dijadikan selimut tubuh Amba.
Setegar-tegarnya hati wanita untuk mencoba bertahan dengan kekasihnya, ia akan menyerah juga jika di dalam kehidupannya hadir sosok pengayom. Sosok kesatria lain yang selama lima wuku telah memberikan bukan sekadar perlindungan, tetapi juga kerelaan untuk mengembalikan Amba kepada pemilik hatinya yang lama.
Begitulah, ketegaran Amba benar-benar runtuh manakala bertemu dengan Maharaja Salwa, namun justru kekasih lamanya itu menolak kehadirannya. Menurut Salwa, Amba sudah dimenangkan Dewabrata, tidak patut jika ia menikahinya.
Hancurlah perasaan Amba. Jauh-jauh ia menemui Salwa, namun harapan tidak sebanding lurus dengan kenyataan. Beruntung, Dewabrata tidak pernah bergeming untuk menguatkan hati Amba. Perlahan-lahan, bangunan rasa yang semula berdiri megah untuk Salwa, mulai rapuh oleh sikap Dewabrata yang sedemikian memerhatikannya.
Dalam perjalanan kembali ke kerajaan Kasi, perasaan Amba kian teracak-acak oleh sosok Dewabrata. Putra Gangga dari Astina itu telah sempurna menggantikan Salwa di lubuk hatinya.
Namun, kenyataan yang jauh lebih menyakitkan justru kembali menimpa Amba.
“Aku telah terikat oleh sumpahku, Amba.” Ucap Dewabrata lirih, manakala suatu tengah malam, ia pamit hendak kembali ke Astina setelah Amba sampai diantarkannya ke Kerajaan Kasi.
“Raden telah merebut hati hamba. Hamba mohon menetaplah di Kasi. Untukku, Raden.” Amba mengangkat sembah sembari duduk bersimpuh.
“Maafkan aku, Amba.”
“Hamba mencintaimu, Raden.”
Dewabrata tidak menghiraukan lagi pengharapan Amba. Ia bergegas meninggalkan Amba. Sampai di tengah alun-alun, Dewabrata tidak menoleh sekalipun. Namun akhirnya ia luruh juga manakala terdengar jeritan para cethi dan paricharaka yang berasal dari puri kaputren Kasi.
Kobaran api nampak berkelebatan di sana. Serta merta Dewabrata berteriak, “Amba!”
Di tengah lalapan api yang nyaris menghancurkan tubuhnya, Amba masih sempat berucap, “Kelak, aku akan datang menjemput di hari kematianmu, Raden.”
“Aku mencintaimu, Amba.”
Dewabrata menghela napas. Untuk sesaat, ia biarkan air mata membasahi pipinya.
***
Mata Bhisma tak bergeming dari sosok wanita yang memakai jubah perang. Wanita itu berdiri di barisan paling depan bala Pandawa. Bhisma melempar senyum. Tetapi wanita yang kini sudah merentangkan busur itu tak sedikitpun membalas senyumannya. Senopati wanita itu bahkan sudah menghunus sebilah anak panah. Sebilah senjata yang dipinjam dari suaminya, Raden Arjuna; Panah Kyai Sarotama.
“Amba, engkaukah itu?”
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir wanita yang ditanya. Bhisma menjatuhkan gandawa. Ia tanggalkan jubah perangnya satu per satu. Ia benar-benar telah pasrah dihantam anak panah musuhnya.
Mata senopati wanita itu berkaca-kaca. Pandangannya tertuju ke dada Bhisma yang telah menjatuhkan gandawa. Dalam sekejap, anak panah Kyai Sarotama melesat. Tepat menghantam dada sang resi.
Bhisma tak sempat mengelak. Iya, lebih tepatnya tidak mengelak. Bibir senopati Kurawa itu masih tetap tersenyum kepada Amba. Tiada sepatah kata rintihanpun yang keluar dari bibir Bhisma, ketika anak panah kedua, ketiga, dan ratusan lainnya menghujani tubuhnya.
Bisma jatuh dari kereta. Tubuhnya roboh dengan disangga ratusan anak panah yang tertancap. Sejenak ia berkelonjotan menahan rasa sakit. Percikan darahnya berhamburan mengguyur tanah Kuru Setra.
Perang Bharatayuda pada hari ini dihentikan, sebagai penghormatan kepada seorang kesatria besar.
Dari atas mega-mega, Amba yang baru saja melesat keluar dari tubuh Srikandi melambai-lambaikan tangan ke arah Bhisma. Ia tersenyum penuh kemenangan: menepati sumpah untuk menjemput Bhisma, menghadap kepada Sang Maha Tunggal.
Seluruh Kurawa dan Pandawa menangisi tubuh Bhisma. Senopati tua itu masih terkapar, namun belum mati. Bibirnya mendesis-desis mengucapkan puja mantra Swacandramarana pemberian mendiang ayahnya. Doa Bhisma dikabulkan. Ia baru akan mati setelah Bharatayuda berakhir.
Bhisma meminta dibuatkan penyangga kepala di tengah-tengah tegal Kuru Setra. Droyudhana memerintahkan adik-adiknya membawakan bantal berkain sutera, tetapi ditolaknya. Kemudian Arjuna menghunjamkan puluhan anak panah hingga menancap ke tanah. Kepala Bhisma pun terkulai di atasnya. Tiada bantal seindah anak panah untuk kesatria sebesar Bhisma. Sebuah kemuliaan bagi senopati perang yang memilih mati di jalan dharma.
Berhari-hari Bhisma berjuang melawan maut. Ia menolak ditunggu siapa pun. Karena sejatinya, sudah ada dua suksma yang tidak beranjak sejengkal pun dari sampingnya. Suksma dua wanita yang sangat dicintainya: ibunnya, Dewi Gangga, serta kekasih tak sampai di kehidupan silamnya, Dewi Amba. (*)
Karya : Heru Sang Amurwabumi
Pendiri Komunitas Pegiat Literasi Nganjuk, kini bermukim di Sidoarjo. Pernah duduk sebagai anggota redaksi Harian BERNAS. Cerpennya, “Mahapralaya Bubat”, mengantarnya terpilih sebagai penulis emerging Indonesia di Ubud Writers & Readers Festival 2019.
Catatan kaki:
- Atiwa-tiwa = Upacara kematian.
- Pitra yadnya = Penghormtan arwah.
- Siddhasana = Salah satu posisi dalam meditasi; dalam posisi duduk biasa, kaki kiri ditempatkan di bawah paha dan betis kanan.
- Anjali mudra = Sikap tangan dengan mengatupkan kedua belah telapak tangan di depan dada.