beritajatim.comberitajatim.com
    Facebook Twitter Instagram
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    beritajatim.comberitajatim.com
    UNJUK KARYA
    webutama
    • Beranda
    • Cerita Pendek
    • Puisi
    • Resensi Buku
    • Info Sastra
    • Visual
    • UKM
    • Karena Sastra untuk Semua
      • Kontak
      • Unjuk Karya
      • Web Utama
    beritajatim.comberitajatim.com
    Home»Puisi»Para Wajah Pribumi
    Puisi

    Para Wajah Pribumi

    By Muhammad Ridwan28 Maret 2021
    Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Email WhatsApp

    Sendiri menerima satu nasib
    Sembunyi dari pandangan hidup
    Penerima takdir sendiri banyak menyembunyikan
    Nasib tersendiri bagi-bagi sunyi

    Saya termasuk penyuka sunyi
    Sembunyi berteman para pelupa daratan
    Melibatkan tenda-tenda darurat untuk berkemas
    Tak sembunyi untuk kepekatan
    Wajah polos senyum tulus bersembunyi

    Dimana membeli biar tak sunyi
    Dengan dibeli biar kau berkata aku ada
    Terlanjur sunyi sembunyi dari sunyi
    Lari takut dikejar tubuhnya
    Badan yang terbuat dari komponen ingatan

    Sembunyi mencari sunyi
    Kesunyian punya lesung sendiri
    Sunyi duduk di hitam adukan kopiku
    Selintas banyak burung bertengger
    Bulu sayapnya satu paruhnya sembunyi
    Kopiku air putih seperti air mineral

    Sidoarjo, 12 Maret 2020


    Relung Dumilah

    Sebuah lorong tak tembus ada besar pelita
    Dia pemberi apapun atas segala
    Pimpin ubun lewati bulat dunia
    Tugasmu akal demikian bukti sang maha
    Kita berkendara melewati lubang jarum
    Dari lubuk relung sarang penyamun

    Kepada semua hati sesungguhnya hanya satu
    Suatu hubungan melebur dari ada puncaknya tiada
    Bercumbu lebih penting dari adik manis yang datang menggoda

    Getaran gelombang lapisan terasa lembut
    mengayun dengan busana indah enak dipandang
    Diamlah lelaki setengah baya
    Melangkah terjinjit tanpa suara

    Memasuki laku lalu saya dan Dia menghentikanku
    Sampai depan pintu tak jadi mengetuk
    Selepas ketiadaanku pentingkah lagi aku menulis
    lantas saya ini kasih dan sayang

    Ing dalem sawiji kekasih berbisik jelas sejelas beduk dhuhur jam dua belas
    seterang siang mentari berada diatas kepala

    Melihat adalah ujian sangat berat
    Saya adalah Dia yang berpura-pura
    Dan senyum menghiasi waktu
    Ketika ingat ini adalah rotasi lelucon
    Ketenangan bukan sunyi ataupun sendiri dia bersifat tak terhitung namun senyawa

    ini hanya contoh sebuah kalimat
    kau bisa mengubah jadi tempatmu.

    Trenggalek, 20 november 2019


    Kepada Gugurnya Kecemasan

    — Segurat catatan di ketiak. Tugas-tugas melambat dari bulu ke hulu. Seseorang mengira dirinya korek api atau kemandirian yang hampir habis. Ketinggian udara, air laut dan roda tak mau pulang, karena pulau-pulau memanggilnya. Mengeluh atas masalah dianggap dosa. Menjadi kau akan sulit, menebus masa depan demi kenangan. Lalu orang atas seseorang menjadi prakiraan cuaca. Salah akan dirinya

    — Tetes gerimis menetaskan anak-anak riang.
    Genggam nadi tanganku sebanyak itulah dia menyebutmu (hitung denyutnya), putri dari kuda-kuda hitam dan cokelat. Mereka ingin sekali tuli, sebab pisau-pisau dari syairmu selalu menyayat. Mengelabui kaki dari salah alamat. Sebentar, aku mau menikmati kopi. Rasa itu mengental bernada namun tak bersuara. Sebentar, aku ingin menghadirkanmu di jendela belakang rumah.
    Saya ingin diperdengarkan tapi belum berselera untuk dihujam.

    — Kembali ke Yogya sebagai halaman di luar buku. Tabloid dan koran masih sanggama dalam pikiran. Tubuh yang berjalan di trotoar tugu tidak menghadirkan telinga: hasil dari pulau-pulau. Tembok gedung-gedung masih berdebu seperti anak yang dilahirkan dari rahim melankolis. Akhir januari gajian, ingin membeli seluruh gedung, warisan dari pulau-pulau. Menujumu banyak sejuta persimpangan, jalan naif yang tak jarang penipu numpang lewat. Ajarkan saya berlapang dada

    — Tangan kita melukis poster bioskop. Bersama namamu kosakata dari kedipan Tuhan, penonton terbanyak ditonton oleh badut-badut yang judulnya kita buat. Di belakang cerita kau hidup, tirai-tirai dan lampu terus direnovasi. Mengikuti kuis yang diundi setiap minggunya. Catatan hampir usai, usia ketiak dan kawan-kawan hampir mirip kebun yang tumbuh kamboja. Selamat datang hari lahir

    Sidoarjo, 2 Februari 2021


    Prapanca

    1. Di antara pilihan melihatmu lebih dewasa adalah jawaban.
    Aku tak punya keinginan lain selain melestarikan apa yang ada di dadamu menjadi keinginan bersama. Dapat dibaca tanpa harus berurutan (tidak ada yang mengajak), karena di depan setiap kata ada dirimu.
    Setelah aku kehilangan, apa yang telah tercuri oleh rimba kotaku. Tiba-tiba senyummu jadi tersangka paling utama

    2. Mendahului andai bukan berarti engkau harus berucap sabar.
    Dua langkah di belakangmu, bayangmu, busanamu. Mengunggu sepakat mengintip takdirku sendiri. Kecantikan jadi pembeku: telur yang awet, rempah-rempah hijau, dan air sejuk. Gadis itu lukisan belum diwarna pada keajaiban, setidaknya. Ada lelaki sebaya dirimu dalam diriku. Perkenalkan

    3. Dirimu yang lain datang bertanya padaku perihal ingin ditanyakan, ketika mimpi masih sibuk berayun di bola mata hitam besarmu.

    4. Keesokan hari pertama manusia baru dilahirkan, ia ingin hadir lebih nyata dari lukisan atau lebih anggun dari kecantikannya. Separuh bahasaku pudar, lampu kamar ikut menemani penerang jalan-jalan di sekitar Bandara Malikussaleh. Sebab lusa matahari muncul lebih lama sekitar 20 jam sehari, selama aku belum menamatkan bait-bait ini. Sebelum sakit tumbuh indah seperti cerita di novel Charles Dickens

    5. Tidak perlu menggunakan banyak kata. Di bait ke lima aku menaruh besar harapan

    Sidoarjo, 30 Januari 2021


    Lantai Kota

    Aku sepasang bahasa yang ditulis oleh jalan raya
    Lalu ditafsirkan berbagai agama suku budaya
    Aku tubuh kecil individu didorong dalam ranah kolektif
    Adalah mereka yang simpang siur dengan terjemahan konsumtif

    Aku kehilangan dunia pulang
    Telapak kaki mulai takut semua hal berbau rumah
    Mungkin atau pasti jadi taruhan seisi kota
    Secuil relevansi terbingkai semu dalam biografi (saya tidak mati)

    Sebagian dari mereka singgah
    Aku tak pernah ada
    Keluargaku pohon serta nyanyian burung
    Rantingnya gelitik kuping mengalihkan dari suara bising

    Saya sungai mampu menjamah tubuhmu
    Saya gunung dengan sejuk tiup sepoi rindangku

    Dengan sinarnya hitam menjadi hijau
    Aku adalah saya yang berpura-pura
    Aku tubuh kecil individu didorong dalam ranah kolektif
    Adalah mereka tetap simpang siur dengan terjemahan konsumtif

    Trenggalek, 9 Oktober 2019


    Kekasih Kecil

    Huruf-huruf kecil mulai berdatangan ke suatu tempat, dengan jumlah tak terhitung meminta menggambar wajah menjadi sajak di seuntai kertas. Di dalam kepalaku

    Maksud huruf ini sungguh sederhana, hanya ingin mengenangkan peristiwa: kepadaku yang pikun. Dari wajah tersusun puluhan sajak, di dalamnya terdapat rok panjang atau kemeja kusut sebab ulah tanganku.

    Di tuli kedua telingaku berdenging lirih isak bahagia, denyut detak langit birunya turun ke ubun-ubun. Wajah kecilku adalah bagian dari wajahmu yang agung

    Fakta noda lintasi norma tak lepas dari kehendakmu, aku pasrah demi nafasnya yang melalui hidungku.

    Sidoarjo, 1 April 2020


    Sedang Menulis Pesan….

    Mendekati sore yang kuingat hanya tegukan air pagi tadi, malam adalah makam peristirahatan menuju kekal, waktu dan gravitasi menumbuhkan rambut mengeringkan mulut lalu memejamkan mata.

    Pikiran menggerakkan tangan pikiran digerakkan Tuhan, sepantas apa aku meminta hak?
    Disini hamparan sangat menggoda
    Dunia mengajak berpikir bulat tanpa tepian, memindahkan gambar menyuarakan & melagukan sajak. (Lalu)
    Sembahyang biar badan sehat rejeki lancar,
    Ibadah menjadi senam atau simbol untung rugi. kemarin akan kembali pada hari ini

    Aku berani tak jadi apa-apa
    Hidup jauh tertulis sebelum laut berombak Pena Tuhan ada sebelum Malaikat bersayap
    Tiap menit ibuku melahirkan daya ingat di kepala yang tak pernah dia lahirkan,
    Mengingatkan bahwa semua yang kulihat adalah mimpi dengan segala pertanggung jawaban. Bangunlah sebelum disadarkan

    Keyakinan terlelap pulas dipundak Tuhan
    Kemesraan lebih mulia daripada ibadah, lalu ayat-ayat membicarakanku.
    “Keluarlah dari lingkaran apabila sudah menemukan cinta maka penderitaan dibakar menjadi taman indah.”
    Diantara adegan itu guru sebagian gurau.
    Aku serius menulis ini tapi aku tidak yakin bahwa aku yang menulisnya.

    Sidoarjo, 27 Juli 2020

    Karya : Muhammad Ridwan

    Lahir di Surabaya. Akif menulis puisi dan melukis. Beberapa kali ikut pameran lukisan. Saat ini menjadi salah satu anggota Tim Kreatif Festival Sastra Sidoarjo 2021.

    Share. Facebook Twitter LinkedIn Tumblr Email WhatsApp
    Previous ArticleSebuah Kisah Kecil tentang Naik, Terbang, dan Jatuh
    Next Article Mahacinta Bhisma Amba

    Karya Lainnya

    Kepada Sapardi

    25 April 2021

    Aku Tak Pernah Bermimpi Menjadi Zonasi

    14 Maret 2021

    Sebuah Ilham Tentang Pelangi di Daun Pisang

    7 Maret 2021

    Ranjangku Digerogoti Takdir

    28 Februari 2021

    Mendung

    14 Februari 2021

    Di Sudut Kota

    7 Februari 2021
    Karya Sastra Terbaru

    Rindu Mengalir di Potomac River

    24 Desember 2022

    30 September

    30 September 2022

    Separuh Hatiku dari Gang Dolly

    28 Agustus 2022

    Melawan Rindu

    23 Juli 2022

    Satu Buku, Dua Pandangan

    24 Mei 2022

    Gadis dalam Mural

    5 September 2021

    Ironi Transaksi Kematian

    1 Juli 2021

    Bangkitnya Kisah yang Tak Pernah Usai

    15 Mei 2021

    Kepada Sapardi

    25 April 2021

    Mahacinta Bhisma Amba

    25 April 2021
    Facebook Twitter Instagram YouTube
    • Beranda
    • Tentang Kami
    • Unjuk Karya
    • Arsip
    © 2023 Sastra Beritajatim.com | sastra untuk semua .

    Type above and press Enter to search. Press Esc to cancel.