Dari arah belakang, seekor walimana menerjang Komariah tak pelan. Burung yang jingga bulunya sesemarak amuk api itu mengira perempuan tak belia tersebut hanyalah sepotong kudapan. Ia tersentak. Satu tangannya lepas pegangan. Namun pasangannya, untung saja, masih dapat kukuh bertahan. Mencegahnya dari menjadi kepingan.
Takut, kaget, dan senang, si beranjak–menua–yang–tak–kenal–uma–sejak–muda itu tertawa hingga menderaikan air mata. Sembari mengacungkan tangannya yang bebas, ia berteriak pada makhluk yang rentang sayapnya sanggup menaungi tiga rumah, yang pekikannya tak hanya membuyarkan ayam–ayam, tetapi juga raja hutan dan ular–ular yang bertapa di dalam tanah itu.
”Ah, itu tak seberapa, Kawan! Aku tak akan jatuh karenamu! Cinta Komari meneguhkanku dari terjangan apa pun juga!”
Komariah membual, tentu saja. Tak pernah ada laki–laki dengan nama itu untuknya. Sama tahi anginnya dengan saat ia berkata, ”Aku tak apa–apa,” ketika temannya si Jalu menghilang, tak lama setelah abahnya menelantarkannya sendiri tanpa sandaran, dan kemudian, hampir seluruh mimpinya musnah tersapu takdir kejam.
Walau demikian, jelaslah ia sudah melampaui banyak hal hingga akhirnya berdiri di tangga menuju rembulan ini. Satu per satu menapaki anak tangganya yang entah berapa juta. Semua tak lain untuk memberi akhir bahagia sebagai kelengkapan dongeng cintanya bersama Komari, si pemilik singgasana hati yang terus–terusan menolaknya.
”Tentu saja kau bisa mempersuntingnya, Komariah,” ujar Bahadur seraya memilin–milin kumis, beberapa waktu lalu. Lelaki tua itu tengah bermurah hati menyemangati Komariah, satu dari sekian perempuan yang diam–diam disebutnya sebagai Para Pengantre; Komariah adalah yang tertua, dan yang termudah menjadi sasaran olok–oloknya. ”Tapi kau tahu,” sambungnya dengan penuh wibawa, ”membesarkan anak laki–laki itu tak murah.”
Teranglah bahwa si Bahadur minta mahar mahal. Ia memang abah yang tahu harga. Komariah, bersimbah asin air peluh yang dimaniskan rasa bangga, berhasil mempersembahkannya. Tapi Nurmala Hayati, saingan terberat sesama pengantri Komariah, anak perempuan seorang Laksamana Gagah, memberi Bahadur benda yang sama dalam jumlah ganda.
Komariah terbakar api, memerah bak tembaga sekujur muka. Ingin rasanya ia meninju baik Bahadur dan Nurmala. Tapi, sang bakal mertua hanya mengangkat kedua tangannya. ”Aku harus bagaimana, Komariah,” ujarnya, pura–pura bingung namun sebenarnya bahagia. ”Begini saja. Bagaimana jika kau membawa sesuatu yang lebih garib dan mulia? Sesuatu yang lebih menyanjung si seri Komari? Bagaimana, eh, Komariah nan bungah?”
Dan Komariah melakukannya. Hanya saja, Nurmala Hayati pun juga. Kali ini, Komariah sempat berpikir untuk menggorok saja leher si Nurmala, mewadahi darah yang mengucur dari lukanya yang menganga untuk dijadikan campuran kuah.
”Ah, Komariah. Betapa sayangnya,” ucap Bahadur, menggeleng–gelengkan kepala. ”Begini saja, kita tak perlulah jauh berbasa–basi, bagaimana jika kau ambil si widuri yang masyhur itu, eh, Komariah nan jeli?”
Tak ada yang tak pernah mendengar tentang permata itu. Benda tersebut adalah junjungan para pejuang cinta yang mengaku perkasa, sanggup melakukan apa pun demi terulurnya tangan, terbukanya hati kekasih mereka—terutama setelah melihat apa yang mereka bawa sebagai tanda mata.
Kau tak harus membelinya, benda itu tergeletak begitu saja seperti kerikil jalanan, tersedia cuma–cuma bagi semua orang. Pun, telah ada sebentuk tangga yang menancap kokoh di tanah, terus menjulang hingga tujuan. Kau hanya harus menyediakan beratus–ratus nyali cadangan untuk mengambilnya. Serta, jantung, paru–paru, tulang dan otot muda. Yang pertama, anggaplah Komariah cukup memilikinya. Yang kedua, maaf saja, bahkan sang pendekar itu sendiri tak begitu berani menjaminnya.
Namun bagaimanapun juga, hari ini ia melakukannya.
Ia memulainya saat petang bersiap menampilkan diri pada khalayak. Menaja dakian pertama dan kedua tidaklah susah. Pada kesekian ratuslah ia mulai payah. Masing–masing telapak kakinya seakan mengukir diri di setiap anak tangga. Enggan beranjak dari jenjang semula. Setiap kali ia mengangkatnya, ribuan duri menyengat dari tumit, menjalar kencang ke pinggang, ke tulang belakang, ke pangkal lehernya, menyeret keluar seluruh akar rambutnya. Napasnya memburu serupa longsor salju menyergap seluruh celah lembah dan jurang hingga selokan. Butiran keringat berkecambah di seluruh permukaan kulitnya, mendidih sendiri–sendiri di tungku masing–masing namun bersamaan. Terkadang air memang lebih panas dari api. Dan uap yang muncul darinya dengan mudah menyungkil cengkeraman Komariah, dan menyorong tubuhnya dengan rela terjatuh ke bawah sana. Jantung Komariah seakan terhenti. Segera, ia akan terlontar seperti kata–kata dari mulut para ringan lidah tanpa terbata–bata.
Namun tiba–tiba saja mereka bermunculan.
Awalnya hanya serupa asap, namun kemudian memadat dengan cepat. Beruang bermoncong madu memberi cakarnya yang kasar dan tajam untuk mencengkeram anak tangga, kucing berbulu bunga mitir memberi ekornya sebagai penyeimbang gerak langkah, kera–kera berpunggung galuh memberi jari–jari panjang mereka, kambing gunung bertanduk pualam memberi jari kaki yang terbungkus kuku yang dapat menangkap dan menahan celah tangga, ular bertaring buluh memberi sisik di bagian bawah tubuhnya untuk memperluas cengkeraman, tupai bergigi timah memberi pergelangan kaki belakang yang dapat diputar untuk menggantung badan, dan laba–laba berkaki rotan memberi tapak kaki berambut renik untuk menempel melekat. Hasilnya sungguhlah mengagumkan; ia tak lagi terombang–ambing diserbu angin bertubi–tubi. Sampai kemudian burung itu menandangi.
Sang walimana, bagaimana pun juga, bukanlah makhluk yang mudah menyerah. Bak badai terhadap ranting kering, sang burung kembali. Dan sekali ini, berhasil merampok copot genggaman tangan Komariah. Cakar kokoh berkuku hitam itu lalu mencengkeram badan kurusnya sekuat rantai besi.
Komariah memerintahkan seluruh bagian tubuhnya untuk menolak. Tangannya menerjang–nerjang. Kakinya menendang–nendang. Bahkan perutnya pun menggeliat–geliat garang. Namun sang walimana adalah tangguh bukan kepalang. Jamak saja, ia menarik Komariah, lalu membawanya terbang.
Udara dingin merentangkan tangan, merengkuh Komariah sepenuhnya. Petarung asmara itu menggigil gila. Namun ia menguatkan hati. Dilawannya kerasnya angin yang menampari muka dengan terus membuka mata, hingga ia bisa tetap tahu ke mana sang burung membawanya.
Mula–mula yang terlihat hanyalah sederetan rumah yang berdiri di selingkungan tangga. Berganti jalan–jalan raya yang mulai gelap, pucuk–pucuk pepohononan yang tenang dan akrab. Tak lama ia melihat Samsinur, perjaka tua yang, seperti kata orang–orang, selalu menaruh hati pada si malang Komariah. Ia tengah menuntun ibunya yang pikun masuk ke dalam rumah. Seakan mendapat semacam tengara, si pemuda tak muda itu menengadah, tertawa lebar lalu melambaikan tangannya pada perempuan pujaannya.
Berganti lagi, berganti lagi, hingga ia melihat rumah Komari.
Ia melihat Bahadur di beranda, sibuk menawar ternak semurah–murahnya. Mulutnya merapal angka–angka naik turun, naik turun, membuyarkan kesempatan lawan niaganya untuk benar–benar memahami ucapannya. Namun begitulah Bahadur. Begitulah ia berfungsi daya.
Lalu ia melihat Komari di kebun samping. Cemerlang bak malam dengan cahaya bintang dan bulan yang terus menyesaki. Namun sayang si pemuda tak sendiri. Ia duduk bersama—tunggu, siapa? Bukan, itu bukan Nurmala Hayati. Komariah tak mungkin tak mampu mengenali perempuan yang begitu dibencinya hingga ke seluruh bagian renik dirinya itu. Tangan Komari dan sang gadis saling beradu genggam. Mata saling mengunci tatapan. Bibir yang tak saling menahan diri untuk tetap berjauhan.
Namun Komariah tak bisa tetap bertanya–tanya. Termasuk, kenapa ia tak merasa marah atau terkhianati melihat Komari tak bersepi–sepi. Dan pemandangan itu tak lama berganti juga. Kini ia melihat Jalu, ayam jantannya yang memutuskan untuk berpetualang. Ia terlihat tua, namun gemuk dan senang di antara betina–betina yang banyak berkeliaran. ”Koooomariaaahhhh,” demikian kokok sang ayam, ”segeralah menjadi pejantan juga, Kawannnnn!”
Ini bukan pertama kalinya Jalu berseru demikian. Telah ratusan kali ayam itu melakukannya. ”Jantanlah, Komariah,” desak si Jalu. ”Jantanlah.”
”Kau tahu aku perempuan, Jalu,” jawab Komariah senantiasa. ”Bagaimana aku bisa melakukannya?”
”Ah, Komariah,” desah Jalu, ”kau mengerti benar maksudku bukan jantan yang itu.”
Tentu saja Komariah memahaminya. Jantan yang dimaksud Jalu bukan dalam makna yang sebenarnya. Jalu hanya ingin Komariah lebih tak perempuan guna mencapai keinginannya. Tak terlampau malu–malu dan takut, tak sering mundur dan kecut. Di dunia yang menghendaki kau menjadi sepemberani kaum lawan Hawa, jantanlah, Komariah! Jantanlah!
Ia juga melihat Nurmala, berdiri termenung menanapi lukisan lelaki pujaan mereka berdua. ”Ah, Komari,” desah sang pemudi penuh derita cinta. ”Siapa orangnya yang tak terpesona? Kemolekanmu adalah tempat bermuaranya keindahan lainnya. Apa pun akan kulakukan untukmu, Komari. Apa pun juga.”
Terakhir Komariah melihat dirinya sendiri di permukaan sungai yang berkilau diterpa cahaya rembulan. Bukan dalam wujud Komariah yang terantuk–antuk selayaknya mangsa yang harus pasrah, melainkan Komariah yang begitu mirip ayahnya saat duapuluhan, usia di mana panutan itu menghilang. Komariah yang, entah bagaimana, nampak lebih cakap dan cemerlang.
Apa yang kau cari, Komariah? ujar Komariah itu. Harimu memang tak lagi dini. Namun kau masih harus terus naik hingga menjelma purnama sidi. Pikirkanlah lagi, eh, Komariah, benarkah kau terburu waktu menikahi sang Komari? Lupakah kau akan mimpi yang kau bina sedari kanak–kanak, sebagai juragan, sebagai nakhoda kapal pelayaran, sebagai pelantun lagu penyerta lamunan yang dielu–elukan? Tidakkah kau merasa bahwa sekaranglah waktumu memulainya, sebelum kau benar–benar terlambat dan menyesalinya?
Komariah itu tiba–tiba menyurut larut, tepat ketika sang walimana menjatuhkan Komariah di atas hamparan air yang lembut menyambut. Ia merasa seperti terbang sekali lagi, hanya kali ini lebih aman, lebih tak semrawut. Lalu, dengan begitu saja kedua matanya terkatup.
Saat Komariah terjaga hari telah berganti rupa. Ia juga telah ada di atas tanah meski belum kering sepenuhnya. Seseorang menepuk pipinya lumayan keras seraya berkata, ”Bangun, Komariah! Bangunlah, wahai pembawa permata!”
Ia seketika mengenali sang pemilik suara. Benar saja, itu Bahadur. Ia bersama Komari yang memberi Komariah tatapan mata yang lantang berujar, ”Segera berikan padaku benda berkilau itu, Pengantri! Aku sudah tidak sabar menanti!”
Komariah bangkit, kemudian beranjak tanpa berkata apa–apa pada keduanya.
”Tunggu dulu, eh, Komariah!” teriak Bahadur. ”Di mana widuri bulannya, Komariah?” tanya Bahadur tergesa. ”Kau mendapatkannya untuk putraku ini, bukan?”
”Tidak,” ujar Komariah. ”Aku tidak mendapatkannya.”
”Berarti kita tidak bisa menikah!” seru Komari. Suaranya tertahan isak yang tidak bisa dipahami Komariah sebagai kecewa atau lega. Tapi Komariah tak peduli. Ia kembali melangkah tegak derana.
”Hendak ke mana kali ini, eh, Komariah?” kejar Bahadur. Sejujurnya ia tak percaya Komariah kembali bertangan hampa. Perempuan kering itu pasti menyembunyikan permatanya.
”Ke rumah Nurmala,” sahut Komariah. ”Ia harus naik tangga itu juga. Lalu dicengekeram unggas yang sama, agar,” ia menatap tajam ke arah Komari yang lehernya penuh cupang merah, ”ia juga tahu yang sebenarnya.”
”Dan kau sendiri? Apa yang akan kau lakukan selanjutnya? ” seru Bahadur yang masih tak percaya.
”Ah, aku hanya akan jadi ayam pejantan,” jawab Komariah seadanya. ”Atau mungkin, walimana.”
Karya : Metta Mevlana
Lahir dan tinggal di Surabaya, telah menulis dalam beberapa antologi, antara lain Hujan Tak Jadi Datang Malam Ini dan Labirin 25.