Dua tahun penantian di beranda. Aku begitu senang menikmati suasana senja di sini. Semilir angin lembut serta matahari yang hampir tenggelam di ujung barat, dengan warnanya yang jingga seperti membakar langit. Bunga-bunga mekar di pekarangan rumah yang tak henti menebar wangi sepanjang hari. Aku masih saja setia merawat mereka, seperti aku merawat cinta kita.
Dan kursi goyang tua ini. Sebenarnya aku belum cukup tua untuk duduk di sini menikmati senja seorang diri. Seperti penolakanku saat pertama kau kenalkan aku pada benda ini. Barang aneh yang hanya digunakan oma dan opa yang kesepian menunggu berlalunya waktu. Bergoyang sepanjang hari seorang diri. Begitu dulu pemikiranku. Tapi kamu selalu memaksaku untuk mencoba memulai dan selanjutnya menikmati, bagaimana rasanya duduk di kursi ini.
Namun tetap saja aku tak pernah mau dan peduli. Dan akhirnya hanya kamu saja yang tak pernah berhenti melewati waktu menikmati senja di atas kursi tua ini. Kursi yang diberikan cuma-cuma oleh pemilik rumah lama, saat kita memutuskan untuk membeli saja rumah ini. Tempat dimana kita memulai segalanya, tepat sehari setelah mengucap janji suci.
Termasuk bunga-bunga itu. Begitu kau memutuskan untuk pindah dan menghuni rumah ini, begitu pula bunga-bunga itu sudah berada di situ. Mekar terus sepanjang waktu. Tak peduli meski musim hujan berlalu dan berganti dengan musim kemarau. Seperti cintaku padamu yang tak pernah lekang dimakan waktu. Meski kini aku tak pernah tahu dimana keberadaanmu, namun aku akan setia menunggu. Aku hanya tahu, suatu saat nanti kamu pasti akan kembali kesini untukku. Membawa cinta berbunga-bunga lagi seperti dulu saat kita pertama bertemu.
Ya, cinta berbunga-bunga, laksana bunga-bunga yang baru merekah seperti bunga-bunga itu. Aku masih akan tetap disini. Di beranda rumah ini. Membuka pintu lebar-lebar jika kau berniat untuk kembali. Setelah haus dahagamu terpenuhi, cepatlah kau pulang kembali.
Empat tahun penantian di beranda
Tadi sore aku sudah menyirami dan memberi pupuk bunga-bunga kita. Kusiangi pula rumput-rumput di sekitar mereka, agar tak mengganggu keindahannya. Hingga kau dapat menikmatinya jika pulang nanti. Aku tetap merawat mereka dengan baik. Baik sekali seperti aku menjaga cinta ini. Cepatlah pulang kasihku. Aku begitu merindukanmu. Aku benar-benar tak ingin duduk di sini menikmati senja berganti seorang diri. Diatas kursi goyang ini. Merasakan tua dan sepi sendiri. Tidak. Aku belum cukup tua. Sekali lagi tidak. Aku tak suka jika mereka mengatakan aku tua. Baru sepuluh tahun kita menikah ditambah empat tahun penantianku. Belum cukup tua bukan.
Lihatlah tubuhku yang masih indah dan kecantikanku yang masih terjaga. Kulitku pun belum keriput dimakan usia. Payudaraku masih menggantung dengan tepat ditempatnya tanpa perlu alat penyangga. Dan rambutku, ah, masih hitam-hitam saja. Mereka memang mengada-ada tiap kali mengucap aku telah tua. Mereka terlalu mengada-ngada. Setiap hari aku berhias diri untuk menantimu pulang kembali. Menambah gincu sedikit dan merapikan rambutku di depan cermin hadiah darimu. Kau masih ingatkan, ketika menghadiahiku cermin antik ini. Hasil buruanmu setelah kau berkelana dari suatu tempat jauh. Kau suka sekali berkelana kemana saja. Tapi aku tetap setia saja menunggumu di rumah kita. Menantimu pulang dengan segenap cinta. Pulanglah cepat suamiku. Sebelum matahari tenggelam berganti malam dan menyisakan perpisahan yang mendalam. Aku masih cukup cantik untuk menunggumu di sini. Di beranda ini dengan segenap cinta kasih.
Lima tahun penantian di beranda
Angin berhembus cukup kencang sore ini. Tapi jangan khawatir sayang, aku mengenakan mantel yang cukup hangat untuk menantimu di beranda ini. Aku sudah berhias diri dan menurutku akan cukup menarik hati jika kau melihatnya saat pulang nanti. Ah, lihatlah, pipiku yang memerah seperti buah strawberry. Pintu rumah juga sudah kubuka dengan lebar-lebar sekali. Apakah kau akan pulang malam ini? Aku tak peduli. Aku akan terus menanti kau kembali. Pulang ke rumah ini dan kita bisa bercinta lagi. Aku tak perlu tidur sendiri dan harus melewati malam-malam sepi. Sudah berapa malam kau pergi aku tak pernah menghitung lagi. Sudah banyak sekali.
Aku melirik ke dalam sesekali. Ku lihat disana Ibu duduk seorang diri seperti aku di beranda ini. Wajahnya begitu murung tampak sedih sekali. Ibu begitu menderita sejak kau pergi. Dia tak rela aku harus menunggumu terus-terusan begini di beranda di atas kursi goyang tua ini. Tak peduli hujan turun membasahi bumi. Tak peduli angin kencang menerpa tubuh ini. Bisa masuk angin nanti, begitu kata Ibu menasehati. Ah, aku tetap tak peduli. Yang penting aku akan tetap disini, menunggumu kembali. Aku sesekali melirik Ibu yang masih duduk sendiri. Menangis di sana tiada henti. Sudahlah Ibu tak perlu kau risau hati, aku akan baik-baik saja menunggu kekasih hatiku kembali.
Enam tahun penantian di beranda
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, bulan berganti tahun, tahun berputar cepat hingga hari ini. Tepat di hari ini. Sudah enam tahun aku menunggumu pulang tapi kau tak kunjung datang. Kemanakah gerangan pergimu, sayang. Sudah hampir habis kesabaranku. Sudah hampir naik ke ubun-ubun rasa amarahku. Sudah hampir sirna rasa cintaku. Tapi kau tak juga kunjung kembali. Belum puaskah kau di sana menguji nyali. Bercinta dengan seseorang lain yang lebih kau kehendaki. Tak tahu malu. Memangnya dia secantik apa. Apakah melebihi Dewi Shinta atau melebihi Nawang Wulan atau melebihi Greta Garbo atau bahkan melebihi Boneka Barbie si tokoh imajinasi. Aku sudah bosan dengan penantian ini.
Bunga-bunga itu juga sudah lama mati dan tak lagi kupelihara dengan sepenuh hati. Untuk apalagi aku menjaga cinta ini. Mungkin benar kata Ibu, aku sudah masuk angin tak terobati. Sudah parah sakit ini hingga menjalar mengganti seluruh cinta di dalam hati. Cintaku pelan-pelan mulai terhapus dan terganti seiring dengan berlalunya hari. Penantian berujung sepi. Kemana kau pergi berkelana kali ini. Masih cukupkah alasan untuk tak kembali. Atau barangkali kau tersesat dan lupa jalan untuk pulang ke rumah ini. Cinta memang buta. Cinta memang gila. Sudahlah, jangan-jangan kau memang lupa. Jangan-jangan kau tak ingat lagi jalan mana yang perlu kau lalui untuk sampai kesini. Atau aku perlu menantimu di ujung jalan itu. Sekedar untuk menunjukkan padamu disini rumah kita. Rumah kita yang penuh cinta. Tapi sepertinya itu belum perlu.
Tak peduli aku meski berapa lama lagi harus menunggu. Meski aku harus sendiri, kuputuskan saja akan tetap menantimu di beranda ini. Meski sudah mulai memutih rambutku, meski tak indah lagi tubuhku, meski sudah mati bunga-bunga itu, meski Ibu harus menangis setiap waktu, meski masuk angin parah menyerangku, dan meski musim akhirnya berganti salju. Aku akan tetap menunggumu di beranda ini. Diatas kursi goyang tua ini sendiri dan berharap kau akan kembali bersamaku lagi. Merajut hari dengan penuh cinta kasih di rumah ini. Bersamamu.
Sepuluh tahun penantian di beranda
Barangkali ini yang dinamakan cinta. Lengkap dengan atribut kesetiaan dan kesabaran atau bahkan ketololan. Menunggu sekian lama tanpa kepastian. Harus kemana lagi aku mencari kabar tentangmu, saat angin tak lagi bersedia membawakannya untukku. Angin sudah lelah. Beranda ini sudah lelah. Kursi ini sudah lelah. Senja sudah lelah. Akupun sudah mulai lelah. Sudah sepuluh tahun aku menanti disini.
Di beranda ini sendiri. Terus berharap bisa merajut mimpi seperti dulu lagi saat kau kembali. Tapi semuanya tetap saja jadi mimpi. Tak akan pernah bisa terjadi jika kau tak kembali. Aku sudah benar-benar lelah. Tubuh ini sudah lelah. Jiwa dan hati ini juga lelah. Apalagi cinta ini sudah sangat lelah. Sudah, sudahlah. Barangkali memang sudah saatnya aku menyudahi penantian tak berkesudahan ini. Lebih baik aku tak berdiam diri di sini. Barangkali aku bisa menemukanmu di suatu tempat. Entah dimana. Barangkali memang aku harus pergi, dan tidak hanya bermimpi kau kembali ke rumah ini. Atau barangkali kau kini sedang menungguku juga. Menungguku di suatu tempat dengan segenap cinta dan seikat bunga.
Ya, aku memang harus pergi mencarimu. Tapi jangan khawatir, meski aku pergi, aku akan tetap membuka pintu rumah ini lebar-lebar dan meninggalkan sepotong cinta di beranda rumah kita. Agar kelak jika kau kembali, kau masih akan menemukan cinta untukmu. Benar-benar masih ada cinta untukmu meski kini tinggal sepotong saja. Tahukah kamu mengapa cinta itu tinggal sepotong saja. Cinta itu semakin habis digerus waktu. Jika kamu kembali nanti, jagalah cinta itu. Jagalah baik-baik meski hanya tinggal sepotong saja.
***
Sore itu, saat angin berhembus lembut masuk melalui daun pintu dan terus saja masuk ke ruang tamu, dimana seorang Ibu tengah berbicara dengan putri semata wayangnya. Putri tersayang yang tinggal satu-satunya. Benar-benar hanya tinggal satu saja.
“Dia, masih saja di situ”
“Dia siapa? Bagaimana Ibu tahu ?”
“Ibu selalu tahu”
“Bagaimana caranya Ibu bisa tahu?”
“Pokoknya Ibu tahu”
“Masihkah dia bersedih seperti dulu, Ibu?”
“Dia akan selalu setia menunggu di situ. Seorang diri di beranda itu. Dengan segala rasa sepi seperti dulu saat dia pergi dan tak pernah kembali”.
Keduanya lantas terdiam…….
Suasana tiba-tiba saja hening. Hening sekali. Hanya sesekali terdengar gemeresak suara daun ditingkah angin di luar sana. Rupanya angin sudah berlalu dari ruang tamu. Angin sudah menjauh meninggalkan suasana hening dan sepi membeku. Nyelonong pergi tak tahu diri tanpa permisi. Hanya menyisakan pilu dan sesal di hati.
Barangkali angin pergi mencari kekasih hatinya yang sudah lama berkelana. Tak tahan diri rupanya dia menunggu dalam kesabaran saja. Barangkali kini dia pergi menyusuri kota dan setiap denyut kehidupannya. Menjelajah berkelana berarah kemanapun dia suka. Yang jelas bukan menunggu saja di beranda. Menunggu tanpa batas waktu dengan sepotong cinta. Menunggu dalam diam dan tanya apakah akan kembali kekasihku. Kembali dengan membawa cinta seperti dulu seperti ketika pertama kali bertemu.